Jakarta, CNBC Indonesia - Kabar mengejutkan datang dari industri ban nasional. Produsen ban Michelin di Cikarang, PT Multistrada Arah Sarana Tbk, dilaporkan baru saja mengumumkan PHK terhadap 280 karyawannya, menyoroti tekanan berat akibat dinamika permintaan pasar.
Langkah efisiensi drastis ini menjadi cerminan tantangan makroekonomi yang juga harus dihadapi emiten ban lainnya. Di tengah era suku bunga tinggi dan volatilitas kurs, tiga emiten utama di bursa PT Gajah Tunggal Tbk (GJTL), Goodyear Indonesia Tbk (GDYR), dan PT King Tire Indonesia Tbk (TYRE) justru mengambil langkah strategis yang saling kontras.
Pasar justru terlihat memberikan bobot lebih pada langkah strategis emiten dalam mengelola neraca keuangannya, terutama dalam hal manajemen utang dan belanja modal (CAPEX).
Dari data yang diolah, PT King Tire Indonesia Tbk (TYRE) menjadi satu-satunya yang berhasil mencatatkan pertumbuhan penjualan dan laba bersih di kuartal kedua. Sementara itu, dua raksasa lainnya, GJTL dan GDYR, mencatatkan kontraksi kinerja di kuartal ketiga.
Biaya Tenaga Kerja dan Beban Pensiun: Dua Sisi Biaya Karyawan
Analisis biaya karyawan tidak cukup hanya melihat biaya upah di lantai pabrik. Gambaran yang lebih utuh muncul saat membedah laporan keuangan dan fokus pada COGS dan liabilitas imbalan pasca kerja (beban pensiun dan pesangon) yang tercatat di neraca.
Dari sisi Opex, lonjakan +25,9% pada biaya upah TYRE mengkonfirmasi strategi agresif untuk menggenjot produksi, sejalan dengan kenaikan penjualan dan CAPEX mereka. Sebaliknya, biaya upah GJTL yang flat (+0,99%) dan GDYR (+2,4%) menunjukkan cost control yang ketat di lantai pabrik untuk menahan penurunan laba.
Namun, gambaran yang lebih dalam datang dari liabilitas pasca kerja. Pos paling signifikan terlihat di neraca GJTL, yang mencatat liabilitas imbalan pasca kerja jangka panjang sebesar Rp 1,75 triliun. Ini adalah cadangan dana pensiun dan pesangon yang sangat besar yang harus dikelola perusahaan, yang secara spesifik merujuk pada kepatuhan terhadap UU Cipta Kerja.
Kinerja Saham vs. Resolusi Strategis
Kondisi makroekonomi Indonesia, terutama suku bunga acuan yang tinggi untuk menjaga stabilitas Rupiah, menjadi tantangan utama bagi emiten padat modal seperti industri ban. Respon mereka terhadap risiko ini tampaknya menjadi faktor utama yang dinilai investor, melebihi kinerja laba-rugi sesaat.
Data posisi neraca dan kas di bawah ini menjadi krusial untuk memahami langkah strategis yang diambil setiap perusahaan, yang sangat mempengaruhi sentimen pasar terhadap saham mereka.
Manuver Raksasa De-Risking Kurs Dibalas Keraguan Pasar
Kinerja saham GJTL tertekan, sejalan dengan penurunan laba bersih 20,1% (YoY). Namun, cerita terbesar GJTL ada di neracanya. Perusahaan berhasil mengeksekusi resolusi strategis yang sangat penting: menghilangkan risiko kurs Dolar AS.
Laporan keuangan mengkonfirmasi bahwa perusahaan telah melakukan pembayaran lebih awal atas "Senior Secured Notes due 2026" mereka yang bernilai total US$ 175 Juta. Utang dalam mata uang US$ ini lunas dibayar pada 10 Januari 2025.
Langkah de-risking ini didanai oleh fasilitas Kredit Sindikasi baru senilai total Rp 4,4 triliun. Pinjaman baru dalam Rupiah ini tidak hanya untuk membayar utang lama (Tranche II Rp 2,8 T), tetapi juga untuk mendanai ekspansi pabrik ban Truck Bus Radial (Tranche I Rp 1,6 T).
Tekanan pada neraca GJTL tidak hanya datang dari utang. Laporan keuangan juga mengungkap adanya liabilitas imbalan pasca kerja (pensiun & pesangon) jangka panjang yang sangat besar, mencapai Rp 1,75 triliun.
Beban cadangan 'bom waktu' demografis ini menjadi faktor manajemen risiko jangka panjang yang krusial bagi perusahaan, di luar fokus utang US$-nya. Kinerja saham YTD yang anjlok -6,70% mengindikasikan bahwa investor saat ini lebih cemas terhadap kombinasi peningkatan utang baru di era suku bunga tinggi dan liabilitas pensiun yang masif.
Rapor Merah, Tapi Disayang Pasar Berkat 'Bersih-bersih'
GDYR adalah sebuah anomali. Di saat fundamentalnya mencatatkan kinerja terburuk-laba bersih anjlok -37,4% (YoY) harga sahamnya justru melesat.
Pasar jelas tidak melihat laporan laba rugi GDYR. Fokus investor tertuju pada neracanya. Merespon kondisi ekonomi yang sulit, GDYR mengambil langkah defensif total. Catatan atas laporan keuangan mengungkapkan bahwa perusahaan telah melunasi seluruh utang bank jangka pendeknya per 26 Agustus 2025.
Langkah bebenah ini membuat total liabilitas perusahaan turun drastis dari US$64,8 juta (Des 2024) menjadi US$50,8 juta (Sep 2025). Kinerja saham YTD yang positif +9,90% adalah apresiasi pasar terhadap de-risking neraca ini.
Tumbuh Solid, Tapi Investor 'Wait and See'
TYRE menjadi satu-satunya emiten yang bertumbuh, baik dari sisi penjualan (+13,0%) maupun laba bersih (+11,8%) per Q2 2025.
Resolusi strategis TYRE adalah tancap gas. Seperti tecermin dari lonjakan biaya upah, perusahaan sedang menggenjot produksi. Lebih penting lagi, perusahaan mengambil pertaruhan besar pada pertumbuhan (bet on growth) melalui belanja modal (CAPEX) yang agresif.
Laporan arus kas menunjukkan adanya "Pembayaran untuk perolehan aset tetap" yang signifikan sebesar Rp 66,5 miliar. Langkah ekspansi ini, bagaimanapun, memakan korban yaitu posisi kas perusahaan. Kas dan Setara Kas TYRE anjlok dari Rp 54,6 miliar (Des 2024) menjadi hanya Rp 14,7 miliar (Jun 2025).
Kinerja saham YTD yang flat (-2,34%) mencerminkan sikap wait and see investor. Pasar menyukai cerita pertumbuhan yang tecermin di laba rugi, namun khawatir dengan risiko arus kas jangka pendek akibat "bakar uang" untuk CAPEX.
-
Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(gls/gls)

6 hours ago
2

















































