
Ukuran Font
Kecil Besar
14px
Oleh Toba Sastrawan Manik
Para pengambil keputusan dari level menteri hingga level guru harus mulai untuk menyederhanakan pendidikan sebagaimana mestinya
Scroll Untuk Lanjut Membaca
IKLAN
Pendidikan kita saat ini dirasuki oleh narsistik luar biasa. Narsistik atau narsisme yang ditandai dengan kristalisasi dan hegemoni lokalisme, partikularisme, dan relativisme (Hollander, 2002). Hal ini mengafirmasi dan memvalidasi sikap/perilaku untuk mendapatkan pengakuan atas keakuan secara individual.
Hal ini senada dengan pendapat Denton dan Voth (2017), narsis ditandai oleh beberapa ciri, yakni egois, sombong dan percaya diri, menilai lebih dari orang lain, merasa lebih berhak, terobsesi atas kepentingan sendiri, sikap empati yang rendah, tujuan hidup berpusat pada uang, ketenaran, dan pencitraan, tujuan hidup yang kurang realistis, pengakuan harga diri yang lebih tinggi, dan mudah menyalahkan orang lain.
Disadari atau tidak, narsistik/narsisme menguat dan menggejala di dunia pendidikan kita. Level organisasional/vertikal atau formal, elit pengambil keputusan/kebijakan pendidikan mengejar validasi dan pengakuan dengan otak-atik kebijakan. Ganti menteri ganti kurikulum lebih didasari kepentingan politik personal branding untuk mendapatkan pengakuan dan dikenang. Memanfaatkan momentum posisi strategis, kebijakan-kebijakan baru diambil dalam waktu cepat tanpa ada kajian dan pendalaman masalah.
Intinya kebijakan yang diambil belum berbasis kebijakan. Semua lebih didasarkan pertimbangan emosional dan personal alih-alih kebijakan yang rasional, logis, dan terstruktur dan terukur. Kebijakan pengiriman siswa nakal ke barak, instruksi penghapusan PR dan ada wacana sekolah lima hari yang diambil beberapa kepala daerah lebih bernuansa narsistik ketimbang esensial dan fundamental. Semua mengerucut pada personalisasi dan penguatan personafikasi sang kepala daerah. Apa dasarnya dan kajiannya sangat sulit diakses secara digital. Tiba-tiba muncul dan viral.
Di level bawah atau horizontal, dunia sekolah atau kampus juga diterpa narsistik luar biasa. Dari level TK hingga SMA saat ini main “wisuda-wisudaan”. Apa esensinya? Tidak ada selain daripada hasrat mendapatkan validasi keberhasilan, kesuksesan, dan bisa dipajang di media sosial.
Perhatikanlah bagaimana proses perayaan kelulusan akhir-akhir ini sangat jauh dari manifestasi keberhasilan pendidikan sesungguhnya. Mengundang DJ, karokean bahkan ada wisuda laiknya wisuda perguruan tinggi. Terakhir publik menyaksikan debat seorang anak remaja dengan seorang kepala daerah yang kukuh dengan perayaan kelulusan walaupun dengan biaya mahal dan tidak sesuai dengan kondisi keluarga. Apalagi kalau bukan demi narsis.
Demikian juga guru. Saat ini banyak guru menjadikan proses belajar-mengajar sebagai konten. Alih-alih menciptakan proses belajar yang kreatif, guru kekinian senang mengumbar proses di kelas dan dipoles menjadi konten supaya viral. Hal ini tidak menafikan masih banyak guru yang teguh dan tekun dalam proses pembelajaran kreatif dan interaktif.
Pendidikan kita harus dibenahi secara substansial dan fundamental. Khittah pendidikan sebagai upaya memanusiakan manusia perlu ditegakkan kembali. Para pengambil keputusan dari level menteri hingga level guru harus mulai untuk menyederhanakan pendidikan sebagaimana mestinya. Sederhana dalam arti tujuan yang tulus dan ikhlas semata mencerdaskan pikiran dan memperhalus perasaan sehingga menjadi manusia berguna dan berkarya.
Dalam tujuan ini, semestinya kebijakan dan proses pendidikan tidak sulit dan simpel. Hal yang membuat rumit adalah egoisme dan kehausan validasi secara personal dalam semua level dunia pendidikan yang menjadi dasar pengambilan keputusan. Karena itu, menjadi pengambil kebijakan pendidikan dan pendidik tidak semudah yang dibayangkan. Hal yang pasti ialah pengambil kebijakan dan pendidik adalah orang yang terdidik secara mental dan personal. Afirmasinya, orang yang paham dengan dunia pendidikan. Narsistik dalam level tertentu dianggap bagian dari kelainan mental dan personal.
Filosofi pendidikan dan keguruan kita mesti dihidupkan kembali. Tidak ada bangsa yang maju tanpa pendidikan yang maju. Karena itu, pendidikan adalah arena yang semestinya dijadikan ruang pertunjukan politik atau sirkus yang hanya menghadirkan kebijakan yang menghibur dan populis namun jauh dari esensi pendidikan itu sendiri.
Pengambilan kebijakan atau keputusan dalam dunia pendidikan tidak seperti sulap. Adakadabra langsung ambil keputusan lalu viral. Perlu kehati-hatian dan kematangan karena menyangkut aspek kognitif, psikomotorik, dan keterampilan siswa sebagai generasi penerus bangsa jangka panjang. Pertaruhan masa depan generasi bangsa dan nasib negara sebuah negeri ada pada pendidikan. Sekali lagi, semestinya pendidikan tidak arena main-main khususnya politik.
Penulis adalah Dosen Pendidikan Pancasila Dan Kewarganegaraan Politeknik Teknologi Kimia Industri Kementerian Perindustrian RI.
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.