Terpikat Premi Jahat

9 hours ago 4
Editorial

Terpikat Premi Jahat

Ukuran Font

Kecil Besar

14px

Di negeri ini, terkadang nyawa lebih murah dari premi asuransi.

Bayangkan sekarang: keponakan Anda ditemukan tak bernyawa di parit. Membiru, membeku, diam selamanya. Dua hari sebelumnya, ia dijemput bibinya sendiri. Mobilnya jelas, lokasinya terpetakan, dan “rekayasa” alibi Sang Bibi soal tabrak lari, roboh. Tapi dua bulan berselang, penyidik Polresta Deli Serdang masih belum mampu menyebut satu nama tersangka.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Selamat datang di Polresta Deli Serdang, tempat di mana proses hukum berjalan lebih lambat dari rumor di warung kopi. Terbangnya satu nyawa—Ripin alias Achien, 23 tahun—berubah hanya menjadi selembar dokumen laporan polisi yang kini mulai menguning di meja penyidik.

Sudah dua bulan lebih, tanpa penetapan tersangka. Pengacara berang, berkirim kawat ke Kapoldasu, Kapolri dan Komisi-III DPR-RI, Senin 7 Juli 2025. Bukan karena minim bukti, melainkan mungkin karena terlalu banyak yang harus “diselamatkan” dari sorotan. Polresta seperti aktor dalam sandiwara hitam-putih: TKP terang, motif terdeteksi, pelaku terduga ada, tapi ketegasan tak kunjung tiba.

Kematian Ripin bukan hanya kasus kriminal. Ia adalah cermin retak penegakan hukum kita. Ketika asuransi jiwa menjadi jalan tol menuju kuburan, dan lembaga yang seharusnya menegakkan keadilan justru menggelarnya dalam rapat panjang beraroma formalitas.

Motif finansial dalam pembunuhan bukan hal baru. Dunia mencatat nama Betty Neumar, wanita lanjut usia asal AS yang suaminya meninggal satu per satu; semuanya diasuransikan. Butuh waktu puluhan tahun hingga hukum bisa menyentuhnya. Di Indonesia, barangkali pelaku cukup menunggu dua bulan hingga jejak hilang dan kasus menguap dalam kabut birokrasi.

Lihat pula Ryan Jombang, pembunuh berantai yang beraksi demi keuntungan pribadi. Bedanya, polisi saat itu tidak menunggu gelar perkara datang dari langit.

Ironinya, kematian Ripin terjadi di era serba digital—CCTV, GPS, jejak transaksi. Tapi Polresta Deli Serdang seperti lebih percaya pada wangsit malam Jumat daripada teknologi forensik.

Dalam kasus ini, kata pengacara korban Mardi Sijabat, lima anggota keluarga Juwita—terduga pelaku—meninggal tak wajar dalam 10 tahun terakhir. Semuanya terikat asuransi. Dan klaimnya cair. Buku dan ATM dipegang Sang Bibi. Uang miliaran rupiah seketika bergeser antarrekening karena kendali tetap di tangan orang yang sama. Ini bukan kebetulan. Ini pola.

Tapi kita seolah berharap terlalu banyak dari penyidik yang justru seperti sibuk mengatur gelar perkara layaknya resepsi adat: menanti bulan baik, menyusun seserahan, lalu hilang dalam keheningan.

Padahal, keadilan tak butuh rias wajah agar tampak lebih feminim atau maskulin. Ia hanya butuh keberanian.

Jika hukum adalah panglima, maka di Deli Serdang, panglimanya sedang cuti. Atau lebih buruk; disandera.

Dan bila kita masih percaya bahwa nyawa manusia berharga, maka Mabes Polri wajib turun tangan. Bukan cuma untuk menyelamatkan satu kasus Ripin saja, tapi mengembalikan marwah keadilan yang sedang digadaikan.

Bila kematian Ripin hanya berujung pada prosedur yang dikubur, maka esok lusa, kita semua bisa jadi target asuransi berikutnya.

Dan bila saat itu tiba, sejarah tak hanya mencatat siapa pembunuhnya, tapi juga siapa yang memilih diam karena terpikat premi “jahat” miliaran rupiah; di depan mata, tanpa perlu bertaruh nyawa!

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |