Keadilan Akses Ekonomi Ketahanan Pangan

7 hours ago 3

Oleh Yanhar Jamaluddin *  & Syafrial Pasha **

“Di negeri yang subur, ironi terbesar adalah: petani menanam padi, tapi tak mampu menyantap nasi. Maka krisis pangan harus dibaca bukan hanya dari sisi teknokratis, tapi juga sebagai kegagalan struktural dalam menjunjung nilai-nilai budaya”.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Akses Ekonomi: Faktor Keberlanjutan Pangan Ketahanan dan keberlanjutan pangan telah lama menjadi agenda strategis nasional. Namun dalam praktiknya, kebijakan pangan di Indonesia kerap masih berkutat pada logika produksi: berapa luas lahan yang ditanami, berapa ton gabah yang dihasilkan, atau seberapa tinggi produktivitas per-hektar. 

Narasi ini tidak keliru, namun menjadi pincang jika mengabaikan satu aspek mendasar: akses ekonomi rumah tangga terhadap pangan. Di sinilah letak persoalan yang sering tidak terlihat—ketersediaan pangan bukan jaminan tercapainya ketahanan pangan, apalagi keberlanjutan.

Keadilan akses ekonomi merupakan fondasi penting bagi sistem pangan yang tangguh. Bila rakyat, terutama petani kecil dan masyarakat marginal, tidak memiliki daya beli atau kendali atas pangan yang mereka hasilkan, maka ketahanan pangan berubah menjadi slogan tanpa isi.

Dalam konteks masyarakat berbasis budaya seperti Melayu, persoalan ini menjadi semakin kompleks. Akses terhadap pangan tidak sekadar soal ekonomi, tetapi terkait erat dengan struktur sosial, warisan adat, dan relasi kekuasaan lokal. 

Di sinilah kampus dan organisasi kemasyarakatan, seperti UMA, atau Ikatan Sarjana Melayu Indonesia (ISMI) dll memiliki ruang peran yang strategis—bukan hanya sebagai forum akademik, tetapi sebagai Social Change Inisiator.

Wajah Buram Akses Ekonomi Petani

Berdasarkan kajian empiris di wilayah pertanian pesisir timur Sumatera Utara seperti Kecamatan Pantai Labu, Deli Serdang, menunjukkan betapa para petani kecil berada dalam tekanan struktural yang berlapis. 

Biaya produksi terus meroket—sewa lahan, pupuk, pestisida, hingga upah buruh—sementara harga jual hasil panen stagnan karena dominasi tengkulak dan pasar yang tidak adil. Ironisnya, banyak petani menjual seluruh hasil panen untuk melunasi utang, lalu membeli kembali beras dengan harga lebih mahal beberapa bulan kemudian. 

Mereka yang menanam padi tak selalu dapat menikmatinya secara layak. Akses terhadap pangan menjadi semu, bukan karena kelangkaan, tetapi karena tergerusnya kemampuan ekonomi.

Lebih menyedihkan, lembaga ekonomi lokal seperti koperasi tani, kelompok wanita tani, atau lembaga keuangan mikro banyak yang tidak aktif. Beberapa hanya hadir sebagai pelengkap administratif proyek bantuan pemerintah. Dalam kondisi ini, rumah tangga petani sangat rentan terhadap gejolak krisis—entah karena musim, pasar, atau kebijakan.

Membaca Akar Realitas

Untuk memahami persoalan ini secara lebih menyeluruh, diperlukan pendekatan yang berpihak kepada realitas akar rumput. Salah satunya adalah Household Economy Approach (HEA). HEA memposisikan rumah tangga sebagai unit analisis utama dalam menilai ketahanan pangan. 

Bukan sekadar melihat angka produksi nasional atau fluktuasi harga pasar, pendekatan ini menyelami bagaimana rumah tangga miskin mengelola penghasilan (Financial management), pengeluaran, risiko, dan strategi bertahan.

Strategi ini bisa berupa menjual aset, berutang, mengurangi konsumsi, bekerja tambahan, atau bahkan migrasi sementara. Semua ini adalah bentuk adaptasi terhadap ketimpangan struktural seperti akses terhadap tanah, modal, informasi, dan perlindungan sosial yang tidak merata.

HEA juga menyoroti pentingnya jaringan sosial: kelompok tani, koperasi, tokoh adat, dan solidaritas komunitas. Kelompok-kelompok ini adalah benteng terakhir yang menjaga ketahanan rumah tangga. 

Sebaliknya, rumah tangga yang terisolasi dari jejaring sosial cenderung jatuh dalam kemiskinan kronis. Sebagai alat analisis dan advokasi, HEA membantu merancang program dan kebijakan yang lebih adil, kontekstual, dan berpihak pada kelompok rentan—terutama dalam konteks krisis pangan, perubahan iklim, dan tekanan ekonomi global.

Intelektual, Kultural, dan Transformatif

Dalam konteks ini, ISMI hadir sebagai himpunan para cendikia Melayu dan organisasi kultural-intelektual yang memiliki tanggung jawab sosial. Berakar pada nilai-nilai budaya Melayu, ISMI memikul misi untuk memperjuangkan keadilan ekonomi, kemandirian komunitas, dan martabat sosial masyarakat adat, melalui: 

Pertama, produksi pengetahuan kritis berbasis lokal ISMI dapat mendorong riset-riset berbasis HEA untuk memetakan kerentanan rumah tangga petani, nelayan, dan pelaku ekonomi lokal. 

Pengetahuan ini akan menjadi dasar advokasi kebijakan pangan di tingkat daerah dan nasional.

Kedua, penguatan kelembagaan ekonomi lokal Koperasi, BUM-Desa, dan kelompok tani di wilayah Melayu seringkali stagnan.

ISMI dapat menurunkan tim pendampingan, pelatihan manajemen, serta fasilitasi jejaring pasar. Peran ini sangat penting untuk membangun kembali kekuatan ekonomi berbasis komunitas (grassroot).

Ketiga, aktor transformasi kebijakan Banyak kebijakan daerah tidak berpihak pada petani kecil, karena tidak ada suara alternatif yang terorganisir. ISMI bisa menjadi penyusun naskah akademik untuk Perda, menggelar forum konsultasi publik, dan menjembatani pemangku kepentingan lintas sektor—pangan, budaya, dan ekonomi.

Keadilan dalam Budaya Melayu

Nilai-nilai budaya Melayu meletakkan keadilan sebagai pilar utama membentuk peradaban. Dalam adat Melayu, keseimbangan antara manusia, alam, dan Tuhan adalah prinsip hidup (Tennas Effendi). 

Maka ketika akses terhadap pangan menjadi tidak adil, itu bukan sekadar masalah ekonomi, tetapi keruntuhan nilai. Menurut Sen (1981), kelaparan seringkali bukan disebabkan oleh kurangnya ketersediaan pangan, tetapi oleh kegagalan hak akses terhadap pangan yang disebabkan oleh kemiskinan, pengangguran, atau ketidakadilan distribusi. 

Pangan bukan hanya kebutuhan biologis, tapi simbol kehormatan. Dalam budaya Melayu, makanan adalah wujud ikatan sosial, penghormatan tamu, dan tanda keberkahan. Oleh sebab itu, krisis pangan harus dibaca bukan hanya dari sisi teknokratis, tapi juga sebagai kegagalan struktural dalam menjunjung nilai-nilai budaya.

Dengan pendekatan budaya, ISMI memiliki kekuatan moral dan sosial untuk menghidupkan kembali semangat gotong royong, solidaritas lokal, dan kearifan ekonomi komunitas—yang selama ini terpinggirkan oleh logika pasar bebas dan modernisasi teknologi yang tidak berpijak pada realitas lokal. 

Strategi Aksi: Dari Ide ke Gerakan 

Agar peran strategis ISMI benar-benar terwujud dalam keberlanjutan pangan, diperlukan aksi nyata:

1. Mendirikan Pusat Kajian Ketahanan Pangan Komunitas; Bekerjasama dengan perguruan tinggi, pemerintah daerah, dan mitra pembangunan. Fokus: HEA, pemetaan wilayah rentan, dan model ekonomi alternatif yang berbasis komunitas. 

2. Membangun Program Aksi Lapangan; Seperti Sekolah Lapang Petani, klinik ekonomi desa, dan laboratorium kelembagaan secara kolaboratif.

3. Kaderisasi Sarjana Pengabdi; Membina generasi muda Melayu sebagai intelektualorganik: bukan sekadar teknokrat, tapi pemimpin perubahan sosial.

4. Mengembangkan Platform Digital ISMI untuk Ketahanan Pangan; Sebuah ekosistem digital yang memuat data kerentanan, kisah petani, kebijakan daerah, dan jejaring pasar. Sebagai alat advokasi dan pengorganisasian. 

5. Mengembangkan Paddy Saving Model; untuk antisipasi terhadap goncangan di dalam ekonomi pangan rumah tangga 

Penutup

Ketahanan dan keberlanjutan pangan tidak dapat dipisahkan dari keadilan akses ekonomi. Dan keadilan tak mungkin hadir tanpa keberpihakan. Akses yang adil menjadi indikator utama: apakah pangan benar-benar sampai ke tangan rakyat, atau hanya menjadi angka statistik.

ISMI memiliki tanggung jawab sosial dan moral memperjuangkan akses ekonomi yang adil bagi masyarakat Melayu—khususnya petani, nelayan, dan pelaku ekonomi lokal. Ini bukan sekadar isu ketahanan pangan, melainkan soal martabat, identitas, dan masa depan peradaban Melayu.

Maka saat negara sibuk menghitung tonase cadangan beras, ISMI harus bertanya lebih dalam: Apakah petani kita cukup makan? 

Apakah rumah tangga Melayu hidup dengan tenang?

Apakah pangan yang ditanam sampai ke meja makan mereka sendiri?

Jika jawabannya belum, berarti perjuangan ISMI belum selesai. Maka ISMI harus terus bergerak dari desa, dari ladang, dan dari hati rakyat menuju Indonesia Tangguh Berdaulat. (* Ketua Pusat Kajian MAP-UMA dan Sekjen PB. Ikatan Sarjana Melayu Indonesia, dan ** Etnografer Sumatera Utara)

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |