Ukuran Font
Kecil Besar
14px
Oleh Dr. Bukhari, M.H., CM
Belakangan ini publik seperti sudah kebal membaca berita Operasi Tangkap Tangan gubernur, kepala dinas yang dibekuk saat transaksi, ada pejabat kementerian, ada pula oknum penegak hukum.
Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN
Semuanya berlangsung cepat dan dramatis, nyaris menjadi tontonan harian. Namun di balik hebohnya pemberitaan, ada pertanyaan yang jauh lebih serius: mengapa pejabat tetap saja berani korupsi di tengah risiko ditangkap yang begitu tinggi? Jawabannya justru terletak pada satu kata yang sering diucapkan tetapi jarang dihidupkan: integritas.
OTT memang efektif dari sisi pembuktian. Secara hukum, mekanisme ini adalah jalan pintas untuk mengamankan barang bukti dan pelaku secara langsung. Tetapi kita juga harus jujur mengakui bahwa semakin sering OTT terjadi, semakin tampak pula lemahnya pengawasan internal di berbagai lembaga. Negara melalui aparat penegak hukum terpaksa turun tangan karena instansi yang seharusnya menjaga kebersihan rumahnya sendiri gagal menghalangi praktik korupsi sejak awal. OTT, dalam banyak kasus, adalah sirene bahaya yang menandakan ada yang salah di hulu.
Sementara itu, integritas yang seharusnya menjadi fondasi moral setiap pejabat sering kali dikalahkan oleh budaya setor, gaya hidup yang tidak sebanding dengan penghasilan, tekanan biaya politik, hingga lingkungan kerja yang permisif terhadap penyimpangan. Banyak pelaku korupsi sebelumnya dikenal sebagai sosok santun dan dermawan. Namun ketika ruang korupsi dibiarkan terbuka, niat baik pun bisa berubah arah. Di sinilah jurang antara sumpah jabatan dan praktik lapangan terasa paling lebar.
Secara hukum, Indonesia sebenarnya memiliki perangkat yang sangat lengkap untuk mencegah korupsi. Pakta integritas, kode etik, disiplin ASN, hingga sistem pelaporan pelanggaran semuanya sudah tersedia. Tetapi hukum tidak bergerak bila hanya menjadi pajangan. Ketika aturan hanya dianggap formalitas, maka penindakan seperti OTT akan terus berputar seperti lingkaran setan: pejabat ditangkap, muncul pengganti, lalu bertahun-tahun kemudian pengganti itu mengulangi kesalahan yang sama. Ini bukan lagi masalah individu, melainkan masalah sistem yang gagal menumbuhkan budaya integritas.
Secara empiris, korupsi bertahan bukan karena pelakunya semata-mata berniat jahat, tetapi karena ruangnya selalu tersedia. Birokrasi yang rumit, kewenangan besar tanpa kontrol, celah dalam pengadaan barang dan jasa, serta budaya publik yang memaafkan korupsi kecil membuat praktik ini tumbuh subur. Bahkan lebih ironis lagi, sebagian pelaku korupsi masih dihormati di masyarakat. Tidak sedikit dari mereka yang dianggap orang baik karena sering membantu acara desa atau menyumbang kegiatan sosial. Selama sanksi sosial tidak hadir, sanksi hukum akan selalu terasa setengah hati.
OTT dan integritas sebenarnya bukan dua hal yang saling berhadapan. Keduanya diperlukan, tetapi porsinya berbeda. OTT adalah penegakan darurat, sementara integritas adalah pencegahan yang sesungguhnya. Ketika integritas tumbuh dalam diri pejabat, OTT tidak lagi diperlukan. Tetapi selama integritas hanya menjadi slogan, OTT akan terus menjadi headline.
Pada akhirnya, pemberantasan korupsi tidak dimenangkan di ruang sidang. Pertarungan terpenting justru terjadi di ruang hati setiap pemegang jabatan. Negara bisa menangkap tangan melalui OTT, tetapi kejujuran hanya bisa dijaga oleh integritas. Dan ketika integritas hidup, korupsi mati, bahkan sebelum niatnya muncul.
Penulis adalah Konsultan hukum dan Mediator PMN LBH Qadhi Malikul Adil
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.






















































