MEDAN (Waspada.id): Tim Inventarisasi Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah II menyelenggarakan program revitalisasi Selendang Manduaro di Kabupaten Tapanuli Tengah, pekan lalu.
Dimana revitalisasi ini dirancang dalam tiga rangkaian kegiatan utama, yakni inventarisasi pengayaan motif, pelatihan teknik dasar sulam Selendang Manduaro, dan pameran selendang Manduaro hasil revitalisasi masyarakat.
Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN
Kepala BPK Wilayah II, Sukronedi, yang diwakili Jauhar Abdillah, saat pembukaan Pelatihan Teknik Dasar Sulam Selendang Manduaro menjelaskan, intervensi yang dilakukan oleh BPK Wilayah II hanya sebatas untuk meresusitasi Selendang Manduaro. Selebihnya, tergantung dari para pelaku budaya dan masyarakat pendukungnya.
Acara pelatihan dilaksanakan selama tiga hari 12-15 November 2025 tersebut diikuti oleh para perempuan etnik pesisir di Desa Pasar Sorkam, serta dihadiri para stakeholder, tokoh adat dan tokoh masyarakat, masyarakat setempat.
Kemudian, Kepala Desa Pasar Sorkam, Lurah Binasi, Dinas Koperasi dan UMKM Tapanulia Tengah, Dinas Pendidikan yang diwakili Kabid Kebudayaan Tapanuli Tengah, serta perwakilan Muspika yang terdiri dari unsur Kepolisan, TNI, dan Pemerintahan Kecamatan.
Hadir juga sebagai narasumber Nurdin Ahmad Tanjung; Sejarah dan NIlai Budaya Selendang Manduaro bagi Masyarakat Pesisir, serta Muhriati Situmeang (Umak Haftsa); Pengenalan Alat, Bahan, dan Teknik Dasar Sulam Selendang Manduaro.
Selama tiga hari tersebut, para peserta berlatih intensif menggunakan peralatan secara tatap muka. Setelah pelatihan tatap muka, peserta melanjutkan proses penyulaman Manduaro di rumah masing-masing selama dua minggu berikutnya hingga selesai.
Pelaksanaan kegiatan pelatihan ini berlandaskan pada prinsip pemberdayaan masyarakat (community development), yang menempatkan masyarakat sebagai subjek utama dalam menjaga, mengembangkan, dan mewariskan kembali Selendang Manduaro.
Prinsip ini diterapkan melalui keterlibatan aktif para perajin, tokoh adat, serta generasi muda dalam seluruh tahapan kegiatan, mulai dari identifikasi kebutuhan, proses pelatihan, hingga produksi karya.
Pendekatan pemberdayaan memastikan bahwa pengetahuan dan keterampilan mengenai teknik sulam Manduaro tidak hanya dihidupkan kembali, tetapi juga dikuatkan secara berkelanjutan melalui transfer pengetahuan antargenerasi.
Objek Pemajuan Kebudayaan
Pelaksanaan pelatihan tersebut didasarkan dari Selendang Manduaro yang merupakan salah satu objek pemajuan kebudayaan masyarakat etnik Pesisir di Kabupaten Tapanuli Tengah.
Selendang ini biasanya dikenakan oleh kaum perempuan dalam berbagai ritus yang berkaitan dengan daur hidup, seperti upacara kelahiran anak, prosesi meminang, pernikahan, tujuh bulanan, hingga pada momen ketika mereka dipanggil kembali oleh sang pencipta.
Walaupun penggunaannya tetap berlangsung hingga saat ini, namun proses pembuatannya telah berhenti sejak lama. Sehingga, selama lebih dari tiga dekade masyarakat Pesisir di Tapanuli Tengah hanya mengandalkan selendang warisan—selendang milik ibu atau nenek mereka—untuk dipakai dalam momen-momen tersebut.
Pada Agustus 2025 lalu, Tim Inventarisasi BPK Wilayah II yang terdiri dari Dharma Kelana Putra (Pamong Budaya Ahli Muda), Ahmed Fernanda Desky (Prodi Sosiologi Agama UIN Sumut), Widiyanto (Pegiat Pendidikan), Nurdin Ahmad Tanjung (Sejarawan Tapanuli Tengah), menemukan bahwa hanya ada satu perajin lagi yang masih mempraktikkan sulam di Tapanuli Tengah, yakni Ibu Muhriati Situmeang (Rumah Sulam Umak Haftsa) di Desa Pasar Sorkam.
Namun mereka hanya memproduksi kerajinan sulam benang emas, bukan selendang manduaro. Mereka tidak lagi memproduksi selendang manduarobukan disebabkan oleh hilangnya minat masyarakat, melainkan karena bahan utama pembuatan selendang, terutama benang kelingkan (yang di Tapanuli Tengah disebut kalengkang), beserta jarum khususnya, tidak lagi tersedia di Indonesia. Tetapi, pengetahuan tentang cara pembuatannya masih tersimpan dengan rapi dalam memori kaum perempuan masyarakat pesisir.
Inventarisasi tersebut lantas menghasilkan rekomendasi bahwa selendang manduaro perlu direvitalisasi menggunakan langkah-langkah yang terukur, khususnya dari sisi teknik pembuatan, penyediaan sumber daya pendukung (bahan dan peralatan khusus seperti benang, jarum) pembaharuan peralatan (meja pemidangan), serta peningkatan brand awareness dengan perubahan logo dan citra merek terhadap Selendang Manduaro sebagai identitas budaya masyarakat etnik Pesisir di Kabupaten Tapanuli Tengah.
Tahap Inventarisasi Pengayaan Motif dilakukan oleh tim peneliti pada 2-15 November 2025. Inventarisasi Pengayaan Motif ini nantinya akan menghasilkan produk berupa buku motif Selendang Manduaro berdasarkan pengetahuan Ibu Muriati Situmeang, dokumentasi selendang lama, temuan selendang manduaro yang ada di lapangan, serta adaptasi motif dari nisan yang ada di Barus dan Sorkam.
Kedua, pelatihan teknik dasar sulam Manduaro yang dilaksanakan di Rumah Sulam Umak Haftsa, Desa Pasar Sorkam, Kecamatan Sorkam Barat, Kabupaten Tapanuli Tengah.
Rangkaian terakhir kegiatan adalah pameran sebagai bentuk diseminasi hasil revitalisasi kepada publik. Pameran menampilkan karya-karya selendang hasil sulaman para peserta serta dokumen visual proses pelatihan.
Kegiatan ini juga memperkenalkan kembali keberadaan Selendang Manduaro kepada masyarakat luas dan pemangku kepentingan, serta mendorong lahirnya kesadaran baru mengenai nilai budaya dan potensi pengembangannya sebagai produk kreatif daerah.
Setelah pameran selesai, seluruh karya dan dokumentasi akan dibawa ke Kantor Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah II untuk ditampilkan sebagai bagian dari galeri budaya yang memamerkan Objek Pemajuan Kebudayaan dan Objek Diduga Cagar Budaya dari Sumatera Utara.
Ada beberapa catatan menarik dalam pelatihan yang diselenggarakan di Rumah Sulam Umak Haftsa, salah satunya adalah Ketika Tim BPK Wilayah II kembali berkunjung sembari membawa beberapa ikat sampel benang kelingkan, para penyulam antusias ingin menyaksikan benang tersebut. Suasana seketika dipenuhi rasa haru.
Benang berkilau itu seolah membangkitkan kembali ingatan‐ingatan lama memori tentang masa ketika para perempuan masih tekun menyulam Manduaro, sebelum akhirnya keterampilan itu perlahan berhenti dipraktikkan pada tahun 1990-an.
Rasa haru diungkapkan oleh salah seorang pelaku tradisi “Sudah lama kami tak membuat ini. Begitu kulihat benangnya, kucari jarum mamakku tapi sudah hilang entah ke mana”. Bahkan Bapak Takdir Piliang, suami Ibu Muriati Situmeang, mengatakan “Sejak aku nikah, belum pernah aku lihat dia menyulam pakai benang ini”.
Kesan lain yang muncul adalah, kegiatan awalnya ini hanya menargetkan 20 orang penyulam baru, namun antusiasme masyarakat begitu tinggi sehingga ada lebih dari 30 penyulam yang mendaftar dan terpaksa diikutsertakan dalam kegiatan. 16 orang diantara mereka adalah para pelajar dan mahasiswa berusia di bawah 21 tahun.
Artinya, secara tidak langsung program revitalisasi ini juga menyentuh fungsi regenerasi kepada generasi muda yang terdiri dari kaum milenial dan Gen Z. Melihat proses yang terjadi dalam rangkaian kegiatan ini, Kepala BPK Wilayah II optimis bahwa Selendang Manduaro bisa hidup kembali dan berkembang di tengah masyarakat. (id16)
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.




















































