
Ukuran Font
Kecil Besar
14px
Jika gedung kejaksaan dibangun di atas persekongkolan, yang runtuh bukan bangunannya, tapi kepercayaan rakyat.
Di negeri ini, aroma busuk korupsi sudah seperti udara—mengendap di ruang rapat, menyusup dalam setiap lembar dokumen, dan terpacak di balik senyum pejabat yang bicara soal pembangunan. Tapi sesekali, bau itu begitu menyengat hingga tak bisa lagi ditutupi parfum kata-kata manis. Seperti yang kini terkuak di Sumatera Utara.
Scroll Untuk Lanjut Membaca
IKLAN
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Wilayah I Medan sedang mengusut skandal tender pembangunan Gedung Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara senilai Rp96,3 miliar. Angkanya besar, tetapi yang lebih mengkhawatirkan adalah pola yang terulang: persekongkolan, manipulasi administratif, dan pengendalian dari balik layar; praktik korupsi yang kian canggih, bersembunyi dalam sistem yang seolah legal.
Laporan Transparansi Tender Indonesia (TTI) menjadi batu loncatan penting. Penawaran yang terlalu dekat dengan Harga Perkiraan Sendiri (99,39%), diskualifikasi massal atas alasan yang janggal, dan sinyal kuat bahwa ada pemain bayangan mengatur siapa yang harus menang dan siapa yang harus tersingkir. Jika ini bukan konspirasi tender, lalu apa?
Yang lebih mencengangkan, semua kejanggalan ini terjadi tak lama setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menciduk Topan, pejabat penting di lingkungan Pemerintah Provinsi Sumut. OTT itu tak berdiri sendiri. Ia seperti ujung benang kusut yang, bila ditarik pelan-pelan, akan menyibak seluruh jaringan—dan muaranya tak jauh dari kursi Gubernur Sumatera Utara yang kini diduduki Bobby Nasution.
Apakah Bobby tahu?
Publik tentu layak bertanya. Sebab dalam sistem pemerintahan yang terstruktur, proyek strategis bernilai besar seperti ini mustahil lolos tanpa sepengetahuan kepala daerah. Apalagi, posisi Kepala Dinas PUPR sebagai kuasa pengguna anggaran berada langsung di bawah koordinasi gubernur. Maka jika Topan bisa main sendiri, artinya ada kelalaian fatal. Tapi jika ia menjalankan perintah, itu jauh lebih gawat.
Kita tidak bicara asumsi. Kita bicara pola. OTT oleh KPK, investigasi oleh KPPU, dan kesaksian TTI—semuanya membentuk narasi besar tentang bagaimana anggaran daerah dijadikan ladang basah, dikerjakan lewat sandiwara tender yang hanya berpura-pura kompetitif.
Dalam situasi ini, sikap Bobby akan menjadi tolok ukur. Jika ia memilih diam, maka ia sedang membiarkan tikus berpesta di lumbung rakyat. Tapi jika ia bersuara dan membuka pintu penyelidikan independen, Sumut mungkin punya harapan baru. Karena yang sedang diuji bukan hanya moral seorang gubernur, melainkan nyali seorang pemimpin.
Dan kepada kita semua—masyarakat sipil, media, LSM, dan aparat hukum—peristiwa ini adalah alarm. Kita sedang melihat bangunan keadilan yang dibangun di atas fondasi retak. Dan jika kita tak bersuara, jangan heran bila satu per satu institusi ambruk, persis seperti gedung yang dibangun lewat tender haram.
Saat sebuah gedung kejaksaan—simbol supremasi hukum—dibangun dengan fondasi persekongkolan, maka yang runtuh bukan hanya bangunannya tapi kepercayaan rakyat pada negara.
Sumatera Utara jangan sampai berubah jadi panggung sandiwara besar, di mana korupsi jadi naskah utama dan hukum cuma jadi pemain figuran. Rakyat sudah cukup disuguhi drama murahan. Saatnya sorot lampu diarahkan ke aktor yang sebenarnya. Tapi maaf, kali ini bukan sorot lampu pocong—melainkan sorot lampu KPK.
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.