Oleh Farid Wajdi
Dalam ruang kelas yang baru saja ditinggalkan riu suara siswa, seorang guru menata kembali lembar kerja di mejanya. Papan tulis masih menyisakan coretan rumus maupun nilai-nilai karakter yang ditanamkan sepanjang pelajaran.
Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN
Akan tetapi, ketenangan itu sering tertutup oleh kegelisahan yang semakin akrab di dunia pendidikan: kekhawatiran terhadap laporan hukum, tekanan wali murid, serta ketidakpastian ketika tindakan mendidik justru berubah menjadi perkara yang menyudutkan.
Beberapa tahun terakhir, dunia pendidikan Indonesia berkali-kali diguncang kasus guru yang harus berhadapan dengan aparat karena menjalankan tugas pembinaan. Di sebuah sekolah, teguran kepada siswa yang merokok justru berujung pelaporan ke polisi (ISIF, 2024).
Dalam kasus lain, guru honorer harus mendekam di penjara setelah memberikan hukuman yang bersifat edukatif kepada anak seorang polisi (RMOL, 2024).
Ada pula dua guru di Luwu Utara yang diseret dalam proses hukum sebelum akhirnya dipulihkan namanya melalui keputusan Presiden (DetikNews, 2025).
Deretan peristiwa ini mencerminkan betapa rapuh posisi guru ketika menjalankan peran sebagai pembentuk karakter.
Mengapa Guru Rentan Menjadi Korban?
Profesi guru memikul beban multidimensi. Guru dituntut mengajar, membimbing, membentuk karakter, menjaga etika siswa, dan pada saat yang sama harus memenuhi ekspektasi orang tua, sekolah, serta masyarakat.
Tugas mendisiplinkan siswa sering menjadi bagian paling krusial sekaligus paling berisiko. Dalam banyak kasus, teguran atau tindakan pembinaan dipelintir menjadi kekerasan fisik atau intimidasi, lalu berlanjut ke ruang hukum.
Guru juga kerap bekerja dalam kondisi profesional yang tidak seimbang. Banyak guru honorer atau guru kontrak tidak memperoleh perlindungan maksimal.
Ketika konflik dengan wali murid terjadi, posisi tawar mereka sangat kecil karena tidak memiliki akses pendampingan hukum yang memadai.
Selain itu, kecenderungan masyarakat untuk langsung membawa persoalan ke ranah hukum tanpa melalui dialog pendidikan memperburuk situasi.
Sejumlah laporan menunjukkan peningkatan kasus guru yang langsung dipolisikan tanpa proses mediasi sekolah terlebih dahulu.
Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi, pernah menekankan perlunya pendekatan humanis karena semakin banyak guru berhadapan dengan hukum akibat laporan spontan wali murid (Kominfo Jatim, 2024).
Fenomena ini memperlihatkan hubungan pendidikan yang tidak lagi ditopang kepercayaan, melainkan kecurigaan.
Regulasi yang telah mengatur hak perlindungan guru masih belum diterapkan secara optimal.
UU Nomor 14 Tahun 2005 telah mengatur jaminan perlindungan hukum dan keselamatan kerja bagi guru. Namun banyak guru mengaku tidak mengetahui bagaimana mekanisme perlindungan itu bekerja. Ada celah besar antara norma hukum dan realitas lapangan.
Pentingnya Perlindungan Guru
Perlindungan profesi guru tidak hanya menyangkut keamanan individu, tetapi menyentuh inti mutu pendidikan nasional.
Guru yang bekerja dalam ketakutan cenderung bersikap pasif dan memilih tidak menegur siswa meski perilakunya melanggar norma. Ketika pola ini terus berlangsung, pendidikan karakter melemah dan sekolah kehilangan otoritas moral.
Keadilan bagi profesi guru juga menjadi kunci menjaga martabat pekerjaan yang selama ini menjadi tulang punggung peradaban bangsa.
Banyak negara menempatkan guru sebagai profesi terhormat dengan perlindungan ketat. Jepang, Korea Selatan, dan Finlandia menjadi contoh kuat bagaimana kepercayaan publik dan perlindungan negara mengangkat wibawa pendidikan.
Sebaliknya, bila guru dibiarkan terombang-ambing menghadapi laporan hukum yang impulsif, profesi ini akan semakin ditinggalkan oleh generasi muda.
Efek jangka panjangnya dapat merusak stabilitas sosial. Pendidikan yang damai dan berwibawa menjadi pondasi peradaban.
Jika guru kehilangan otoritas dan rasa aman, generasi muda akan tumbuh tanpa rambu, tanpa pembimbing yang berani menegakkan nilai. Negara yang gagal melindungi gurunya sedang menyiapkan masa depan yang goyah.
Langkah Strategis
Perlindungan profesi guru perlu dipahami sebagai ekosistem menyeluruh. Solusi tidak cukup diserahkan kepada sekolah atau individu guru, tetapi memerlukan desain kelembagaan yang kokoh.
Organisasi profesi guru dapat menjadi garda terdepan dalam memberikan bantuan hukum, advokasi, serta pendampingan psikologis.
Banyak kasus menunjukkan guru didampingi setelah kasusnya berkembang besar. Idealnya pendampingan hadir sejak awal, sehingga proses hukum tidak terus mengalir tanpa batas.
Sekolah juga perlu membangun budaya komunikasi yang terbuka. Dialog antara guru dan wali murid mesti menjadi tradisi, bukan pengecualian. Ketika orang tua dan sekolah berbagi pemahaman moral, tindakan pembinaan tidak lagi mudah disalahartikan.
Penyamaan persepsi tentang tata tertib, disiplin, serta nilai-nilai pendidikan menjadi syarat mutlak untuk mencegah gesekan.
Pedoman disiplin sekolah harus tertulis, jelas, dan disepakati bersama. Guru yang mengambil tindakan berdasarkan pedoman tersebut memiliki dasar kuat yang dapat dipertanggungjawabkan.
Langkah ini membantu menghindari munculnya anggapan guru bertindak semaunya.
Pemerintah perlu memastikan jaminan hukum yang nyata. Akses bantuan hukum bagi guru perlu difasilitasi oleh pemerintah daerah, khususnya bagi guru honorer. Pendekatan restoratif menjadi opsi penting dalam menyelesaikan konflik pendidikan.
Para ahli menyatakan hukum pidana tidak seharusnya menjadi jalan pertama dalam mengatasi perselisihan antara guru dan siswa atau orang tua (LombokPost, 2025).
Gagasan ini menempatkan pendidikan sebagai lingkungan pembelajaran, bukan medan kriminal. Selain itu, peran masyarakat juga sangat penting.
Masyarakat perlu melihat guru sebagai mitra, bukan lawan. Menciptakan generasi berkarakter membutuhkan keberanian dan ketegasan. Tanpa dukungan masyarakat, fungsi guru akan tereduksi menjadi sekadar penyampai materi, bukan pembimbing moral.
Profesi guru memikul misi peradaban, bukan pekerjaan administratif semata. Setiap kalimat yang diajarkan, setiap teguran yang diberikan, setiap nilai yang ditanamkan, menjadi bagian dari mozaik masa depan bangsa.
Guru bertugas membentuk manusia, sementara hukum dan masyarakat mesti memastikan tugas itu berlangsung dalam rasa aman dan penghormatan.
Melindungi guru berarti melindungi anak-anak bangsa. Menjaga wibawa guru berarti menjaga kewibawaan pendidikan. Memberikan perlindungan profesi guru berarti menegakkan pandangan bahwa negeri ini masih percaya pada ilmu, karakter, dan masa depan yang dibangun melalui sekolah. Saat guru menjadi sasaran laporan, ancaman, atau pencemaran nama baik, saat itu pula pendidikan sedang digerogoti dari dalam.
Perlindungan profesi guru bukan wacana tambahan, melainkan kebutuhan mendesak. Pendidikan yang kuat berawal dari guru yang terlindungi. Ketika guru berdiri dengan yakin, generasi yang dibimbingnya akan melangkah dengan lebih teguh.
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.




















































