Seng Guan: Petarung dari Kandang Ayam Petelur

6 hours ago 5

Salah satu rahasia kekokohan bisnis mereka terletak pada kontrol penuh terhadap rantai produksi.

Tak ada gemerlap istana kaca. Tak ada gerbang mewah. Hanya deretan kandang bertingkat dari kayu yang sudah mulai renta, dinding semen ruang sortir telur yang tak dicat, tak beraturan, dan bau khas peternakan yang menyergap hidung dari kejauhan.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Namun di balik kesederhanaan itu, tersembunyi sebuah kisah luar biasa: seorang anak peternak yang menjelma jadi petarung tangguh di arena bisnis ayam petelur. Bertahan melawan krisis ekonomi, lonjakan harga pakan, wabah penyakit unggas, hingga gejolak pasar, demi satu tujuan: menjaga warisan keluarga dan masa depan ribuan butir kehidupan.

Lorong masuk menuju peternakan keluarga Seng Guan ini nyaris tak memberi petunjuk bahwa di baliknya berdetak mesin produksi telur raksasa. Bangunan yang berdiri di sana tak lebih dari rumah sederhana dengan gudang bercat hijau yang sudah pudar, dan sebagian dinding-dindingnya yang dibiarkan telanjang tanpa cat.

Di sisi kanan, melewati gudang pakan ayam, teronggok dua mobil putih—satu minibus dan satu sedan—di garasi terbuka yang sebagian tirainya telah terkoyak dimakan waktu. Tapi dari tempat inilah, lebih dari 42 ribu butir telur dipanen setiap hari, berasal dari sekitar 60 ribu ekor ayam petelur yang tersebar di 40 kandang, yaitu di Denai Kuala dan Sidodadi Ramunia. Luas area peternakan keduanya masing-masing sekitar 3 hektare.

Seng Guan di gudang pakan ayam miliknya di Dusun Tani A Desa Sidodadi Ramunia, Kecamatan Beringin, Deliserdang.

Yang membuat kisah ini kian istimewa adalah metode beternak yang dijalankan. Kandang-kandang itu bukan hasil rekayasa teknologi modern, melainkan dibangun dari kayu dan papan, bertingkat dua hingga tiga, dengan lantai jeruji besi kecil yang memungkinkan kotoran jatuh langsung ke tanah. Sistem ventilasi alami menjadi andalan, meniadakan ketergantungan pada teknologi mahal, namun tetap memastikan sirkulasi udara yang sehat.

“Saya lahir dan besar di antara suara ayam dan debu pakan,” kata Seng Guan, 51 tahun, tersenyum ringan saat berbincang dengan Waspada.id Minggu (6/7).

Lahir dari pasangan Tandi Sumarto dan Sumiwati, pria humble yang akrab disapa ‘Guan’ ini menyerap ilmu beternak sejak usia kanak-kanak. Masa kecilnya—hingga usia 9 tahun—dihabiskan di Desa Denai Kuala, Pantai Labu. Ia menyaksikan langsung bagaimana satu bisnis sederhana bisa menjadi tulang punggung keluarga dan penyambung hidup puluhan pekerja.

Setelah menamatkan pendidikan di STM Galang dan Universitas Darmawangsa Medan, Guan kembali ke “akar”. Ia tak tergoda gemerlap lampu kota. Ia pulang, menyatu dengan tanah kelahiran, dan memperluas usaha warisan menjadi sistem produksi mandiri yang terintegrasi.

Namun, bisnis ini bukan tanpa badai. “Krisis moneter 1998 masih bisa dilalui. Tapi Covid-19 itu benar-benar nyaris mematikan,” kenangnya. Harga pakan naik drastis, daya beli masyarakat anjlok, dan arus distribusi nyaris terputus. Di tengah kekacauan itu, banyak peternak kolaps. Tapi keluarga Seng Guan memilih bertahan, “menggigit” pelana dalam diam, memotong pengeluaran, dan mengandalkan efisiensi manajemen sebagai tameng dari kehancuran.

Salah satu rahasia kekokohan bisnis mereka terletak pada kontrol penuh terhadap rantai produksi, terutama pengelolaan pakan, yang menyumbang hingga 75% dari total biaya produksi. Guan memformulasikan sendiri kebutuhan pakan—mengolah bahan baku, meracik nutrisi, dan mendistribusikannya ke kandang-kandang mereka. Efisiensi itu tak hanya menyelamatkan bisnis dari ancaman kelangkaan, tapi juga mengunci biaya operasional agar tetap kompetitif.

Ruang sortir telur.

Harga jual telur memang fluktuatif, tergantung ukuran dan kondisi pasar. “Kami lepas ke pengepul mulai dari Rp1.100 untuk ukuran kecil hingga Rp1.400 untuk yang besar,” ujar Guan. Bila dihitung kasar, pendapatan kotor bulanan dari seluruh kandang lumayan jumbo, namun Guan tak mau menyebutkan angka pasti. “Ya lumayanlah, cukup untuk keluarga, anak-anak sekolah, dan berbagi ke orang tua yang mewariskan usaha ini,” katanya merendah.

Namun bukan hanya soal angka. Beternak ayam petelur adalah sains sekaligus seni. Produksi optimal terjadi pada usia ayam 26–30 minggu, ketika tingkat bertelur bisa mencapai 90–95%, sementara fase produksi aktif berlangsung dari usia 18 hingga 80 minggu. Setelah itu, ayam-ayam yang menurun produktivitasnya diklasifikasikan sebagai afkiran, dijual untuk menutup sebagian biaya operasional. Rasio antara jumlah pakan dan produksi telur pun dihitung melalui Feed Conversion Ratio (FCR), indikator efisiensi yang menjadi barometer utama dalam industri ini—semakin rendah FCR, semakin baik manajemennya.

Guan juga memastikan seluruh ayam mendapat vaksinasi rutin untuk mencegah penyakit menular seperti Newcastle Disease, Infectious Bronchitis, Gumboro, hingga Avian Influenza, yang bisa melumpuhkan produksi dalam hitungan hari.

Kini, setiap hari puluhan pengepul dari berbagai daerah di Deli Serdang berdatangan ke kandang milik Guan dan adiknya, Gunawan. Seluruh proses dijalankan dengan kedisiplinan—hening, teratur, nyaris tanpa suara. Namun dari senyap itulah tumbuh denyut ekonomi nyata. Lebih dari 50 pekerja tetap dan harian menggantungkan nafkah dari dua lokasi peternakan ini.

Bagi Guan, tantangan terbesar justru ada pada sumber daya manusia. “Mendapatkan pekerja yang tekun dan benar-benar menjiwai dengan hati, itu yang paling sulit. Kalau asal-asalan, ayam pun stres dan tak mau bertelur,” katanya. Tak heran bila ia dikenal tak mudah berganti tangan kepercayaan, bahkan ikut turun tangan saat proses penting seperti vaksinasi atau sortir afkiran.

Di balik usahanya yang besar, Guan tetap hidup sederhana. Bersama istrinya, Siu Wi, dan tiga anak—dua di bangku kuliah, satu di sekolah dasar—ia tetap tinggal di lingkungan peternakan. Saat Iduladha, mereka menyumbang kambing untuk warga sekitar, membagikan telur gratis ke tetangga, dan aktif membina relasi sosial di desa.

Di era ketika bisnis sering diukur dari valuasi startup dan injeksi modal asing, Seng Guan menunjukkan bahwa ketekunan, efisiensi, dan cinta pada tanah kelahiran adalah fondasi yang jauh lebih tangguh. Ia bukan hanya peternak—ia adalah penjaga tradisi, penggerak ekonomi mikro, dan simbol ketahanan pangan dalam wujud paling nyata.

Bersama Sri Wahyuni Nukman, Ketua Forda UKM Sumut.

Dan di antara lantai kayu, jeruji besi kecil, dan aroma khas pakan, lahir sebuah kisah tentang bagaimana mimpi sederhana bisa “menetas”, jika dirawat dengan ketulusan dan disiplin. “Dari telur-telur ini lah keluarga kami hidup dan tumbuh,” kata Ketua Forda UKM Deli Serdang itu sambil menatap ke arah kandang, tempat di mana perjuangan, pengorbanan, dan harapan ditulis ulang setiap pagi. | RAMADAN MS

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |