
Ukuran Font
Kecil Besar
14px
MEDAN (Waspada.id): Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan mengecam keras tindakan brutalitas aparat Kepolisian Daerah Sumatera Utara (Polda Sumut) dalam menangani aksi unjuk rasa di depan Gedung DPRD Sumut, Selasa (26/8).
LBH Medan menilai tindakan represif tersebut tidak hanya melanggar Hak Asasi Manusia (HAM), tetapi juga mencederai prinsip demokrasi.
Direktur LBH Medan, Irvan Saputra SH MH, mendesak agar Polda Sumut segera membebaskan massa aksi yang ditangkap secara sewenang-wenang.
“Tindakan penyiksaan dengan pemukulan hingga penginjakan wajah massa aksi adalah perbuatan brutal dan tidak manusiawi. Menyampaikan pendapat di muka umum merupakan hak konstitusional setiap warga negara sebagaimana dijamin UUD 1945, UU Nomor 9 Tahun 1998, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, hingga instrumen internasional seperti DUHAM dan ICCPR,” kata Irvan, Rabu (27/8).
Ia menegaskan, penanganan aksi unjuk rasa tidak boleh dilakukan dengan kekerasan. Negara harus menjamin kebebasan rakyat untuk bersuara, bukan membungkam dengan cara represif.
Menurut Irvan, aksi yang dimulai pukul 13.30 itu awalnya berlangsung damai. Ratusan massa yang terdiri dari mahasiswa, pelajar, dan masyarakat membawa 12 tuntutan pokok diantaranya penghapusan tunjangan mewah DPR, penyesuaian gaji DPR agar proporsional dengan UMK/UMP, pengesahan RUU Perampasan Aset dan RUU Anti-Korupsi, dan tuntutan lainnya.
Massa mendesak agar pimpinan DPRD Sumut menemui mereka untuk berdialog. Namun, hingga sore hari, tidak ada satupun pimpinan maupun anggota DPRD yang turun, termasuk Ketua DPRD Sumut Erni Ariyanti Sitorus.
Situasi memanas sekitar pukul 15.45, saat pagar gedung DPRD Sumut dirobohkan massa. Aparat kepolisian dan Brimob yang mengepung lokasi kemudian merespons dengan menembakkan water cannon dan gas air mata untuk membubarkan aksi.
“Kericuhan semakin parah ketika sejumlah oknum tidak dikenal yang menutupi wajahnya melempar batu, botol air minum, dan ranting kayu ke arah aparat. Situasi tersebut memicu bentrokan dan membuat massa terpecah,” ujarnya.
Menjelang pukul 18.00, aparat kembali menembakkan water cannon dan gas air mata. Massa dipukul mundur dengan paksa, disertai penangkapan terhadap puluhan peserta aksi.
LBH Medan mencatat, 39 orang ditangkap secara sewenang-wenang, bahkan beberapa mengalami penyiksaan, termasuk penginjakan wajah oleh aparat.
“Tindakan ini jelas bertentangan dengan amanat UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, yang mengharuskan polisi memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, bukan sebaliknya,” ujarnya.
Irvan menyebutkan, bahwa LBH Medan bersama KontraS Sumut dan keluarga massa aksi mendatangi Polda Sumut untuk melakukan pendampingan hukum sebagaimana dijamin KUHAP. Namun, upaya tersebut dihalang-halangi dengan alasan pendataan.
“Polda Sumut justru melakukan abuse of power dengan menghalangi hak penasihat hukum. Ini bentuk pelanggaran KUHAP sekaligus memperlihatkan penyalahgunaan kewenangan,” tegasnya.
Selain itu, kata dia, tindakan kepolisian juga dinilai melanggar Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip HAM dalam Tugas Kepolisian, serta Perkap Nomor 7 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pengamanan dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum.
“LBH Medan menilai penggunaan senjata laras panjang dalam pengamanan aksi juga tidak dibenarkan secara hukum,” ungkapnya.
Bukan hanya itu, LBH Medan juga menyesalkan ketidakhadiran Ketua DPRD Sumut beserta anggota dewan saat aksi berlangsung. Menurut LBH, sikap tersebut mencerminkan abainya lembaga legislatif terhadap aspirasi rakyat.
“DPRD seharusnya hadir, mendengar, dan menindaklanjuti tuntutan massa. Absennya para wakil rakyat justru memperburuk keadaan dan melemahkan fungsi representasi DPRD,” pungkasnya.(id19)
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.