Kaum ini mencintai hanya untuk membunuh. Menikah untuk mewarisi. Tersenyum untuk menabur racun.
Dalam dunia kriminal internasional, istilah Black Widow dikenal sebagai julukan bagi perempuan pembunuh berdarah dingin yang menjebak korbannya lewat hubungan asmara atau keluarga, lalu mengantarkan mereka ke kubur demi premi asuransi. Nama ini bukan metafora kosong. Ia diambil dari perilaku laba-laba betina Latrodectus mactans, yang membunuh pejantan usai kawin. Cinta yang dikemas maut, nafsu yang dibungkus polis.
Scroll Untuk Lanjut Membaca
IKLAN
Kini, metafora kelam itu hadir nyata di depan mata kita. Bukan di Amerika, tapi dari hamparan sunyi perkebunan sawit di Deli Serdang, Sumatera Utara. Sosoknya bernama Juwita. Perannya: bibi. Namun jejaknya mengerikan. Dalam kurun satu dekade, lima kematian mengekor di belakangnya. Kata Pengacara Mardi Sijabat, semua berjalin dengan benang merah identik: hubungan darah, polis asuransi jiwa, dan klaim bernilai miliaran. Kini, semua mata tertuju pada kematian terbaru: Ripin, 23 tahun, keponakan kandung Juwita.
23 April 2025, Ripin dijemput oleh bibinya. Sejak itu, ia tak pernah kembali. Tiga hari kemudian, jasadnya ditemukan membiru dan membeku di dasar parit kawasan Emplasmen Kualanamu. Bukan kecelakaan, sebab tak ada rem, tak ada saksi, tak ada laporan polisi. Tapi ada satu hal mencurigakan: pesanan mobil jenazah yang mendahului ambulans. Di belakangnya, asuransi senilai Rp8,5 miliar menanti untuk dicairkan.
Ripin ternyata terdaftar dalam tiga polis asuransi. Semua dikelola oleh Juwita. Jika kematiannya dikategorikan sebagai kecelakaan, nilai klaim otomatis berlipat ganda. Pola ini bukan baru. Ayah Ripin, pamannya, sepupu—semuanya meninggal secara “mendadak”. Dalam setiap kasus, Juwita terlibat dalam pengurusan asuransi. “Uang klaim asuransi Rp 2 miliar habis, buku dan ATM-nya dipegang Bibi Juwita, bahkan ada yang dikirim ke rekening anaknya,” ungkap Rudi, abang kandung Ripin, mengenang kematian Joni—kakak mereka—yang juga diselimuti motif ekonomi serupa.
Ini bukan musibah biasa. Ini skenario terukur rapi yang menyaru sebagai takdir. Bahkan Rudi sendiri, yang kini masih hidup, telah didaftarkan Juwita ke dalam polis asuransi jiwa. Jika kematian Ripin tak terungkap, maka Rudi bisa menjadi target berikutnya—disayangi, dimanja, diajak bersenang-senang, lalu “dikirim” ke kuburan.
Sayangnya, hukum masih tertidur. Dua bulan berlalu, gelar perkara belum digelar. Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) hanya jadi penghias meja. Padahal, dua bukti utama sudah ada: hasil autopsi yang mengindikasikan kekerasan, dan keterangan bahwa Juwita adalah orang terakhir yang menjemput Ripin hidup-hidup. Bahkan, pada pagi ketika jenazah ditemukan, putra Juwita, Kelvin, turut berada di lokasi. Tapi alih-alih ditahan, barang bukti penting seperti kartu SIM justru dikembalikan ke pihak terduga pelaku.
Di negeri ini, terkadang yang paling beku bukan jasad korban, melainkan keberanian penegak hukum.
Di Amerika, nama-nama seperti Velma Barfield atau Helen Golay dicatat sebagai femme fatale pembunuh suami demi warisan. Di Jepang, ada Chisako Kakehi. Mereka tampil religius, penuh kasih, bahkan karismatik. Tapi semua itu hanyalah topeng dari niat dingin yang terencana. Mereka mencintai untuk membunuh, menikah untuk mewarisi, dan tersenyum untuk menyembunyikan racun.
Kini pola itu muncul di tanah kita. Lebih halus, lebih tersembunyi, dibungkus dalam kamuflase kekeluargaan. Tapi skemanya tetap identik: kasih yang ditabur, kepercayaan yang dirawat, lalu kematian yang dituai.
Jika Amerika punya Velma, maka Sumatera Utara kini berpotensi melahirkan versinya sendiri: Juwita, si Black Widow dari Emplasmen Kualanamu. Ia mungkin tak memakai arsenik, tapi punya alat yang sama mematikan: keluarga, asuransi, dan sistem hukum yang mudah “ditidurkan”. Lima nyawa telah hilang. Publik diam. Aparat masih mendengkur.
Namun kini, laporan telah dilayangkan ke DPR RI, Kapolri, Kompolnas, dan Kemenko Polhukam. Desakan datang dari aktivis, pengacara, dan legislator. Tuntutannya jelas: gelar perkara, tetapkan tersangka, bongkar jaringan ini hingga ke akar-akarnya, dan hukum pelakunya.
Ripin memang telah mati. Tapi keadilan tak boleh ikut dikubur bersamanya. Ini bukan hanya soal drama kriminal keluarga—ini adalah alert sosial. Sebuah peringatan keras bahwa cinta bisa berubah menjadi senjata, dan hukum bisa dibungkam oleh angka-angka dalam rekening.
Jika kita tak segera bertindak, sejarah akan mencatat: kita pernah membiarkan seorang Black Widow berkeliaran di negeri ini—tanpa ganjaran, tanpa perlawanan. Dialah Juwita. Perempuan paruh baya yang menjelma racun bersenyum manis. Di tanah berlumur darah Ripin: Emplasmen Kualanamu!
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.