Oleh Tgk. Helmi Abu Bakar El-Langkawi
Meski tantangan modernitas kian mendominasi, nilai-nilai keislaman yang luhur harus senantiasa menjadi pedoman. Perayaan Idul Fitri harus dilihat sebagai waktu untuk merenungi makna keberadaan, bukan sekadar ajang menampilkan kehidupan yang mewah di media sosial
Scroll Untuk Lanjut Membaca
IKLAN
Idul Fitri sejak lama dikenal sebagai hari kemenangan yang melambangkan kembalinya setiap insan kepada fitrah, yaitu keadaan asli yang suci dan bebas dari dosa. Tradisi keislaman mengajarkan bahwa hari raya ini tidak hanya menandai berakhirnya bulan Ramadhan, melainkan juga merupakan momentum untuk membersihkan hati, mengevaluasi diri, dan mempererat tali persaudaraan.
Di balik kesederhanaan ritual yang telah diwariskan secara turun-temurun terdapat pesan mendalam untuk mengembalikan keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat. Namun, perkembangan zaman membawa arus disrupsi sosial yang kian terasa di tengah masyarakat.
Era globalisasi dan digitalisasi telah merubah cara pandang umat terhadap perayaan Idul Fitri. Di masa lalu, momen Lebaran diisi dengan kebersamaan, kunjungan antar keluarga, dan tradisi saling memaafkan yang khusyuk. Kini, kehadiran teknologi informasi dan media sosial menghadirkan nuansa modernitas yang tak lepas dari budaya konsumtif serta pencitraan diri.
Tampilan visual mewah, dekorasi berkelas, dan busana baru sering kali menjadi tolok ukur utama yang mengukur “kesuksesan” perayaan. Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah nilai-nilai asli keislaman masih dijunjung tinggi atau telah tersisihkan oleh keinginan untuk tampil modern dan eksibisionis?
Disrupsi Sosial & Perubahan Tradisi Keagamaan
Di era digital, interaksi sosial kian bergeser dari tatap muka ke ranah virtual. Pertemuan yang dulunya sarana untuk saling bermaafan dan mempererat ikatan kekeluargaan kini berganti dengan obrolan daring yang cenderung singkat dan tidak mendalam. Disrupsi sosial ini mengakibatkan pergeseran paradigma dalam perayaan Idul Fitri, di mana tampilan lahiriah mulai mendominasi makna spiritual. Informasi keagamaan yang sebelumnya disampaikan secara langsung melalui ceramah di masjid atau majelis taklim, kini sering tersaring dalam bentuk konten-konten ringan di media digital yang mudah dikonsumsi namun kurang menggugah hati.
Kehadiran media sosial memang membawa banyak manfaat, seperti tersedianya berbagai kajian dan ceramah keagamaan secara online. Namun, di balik manfaat tersebut terdapat risiko tersendornya pesan keagamaan ke dalam ranah sensasionalisme. Banyak konten yang lebih menekankan pada penampilan estetika, keseruan acara, dan gaya hidup mewah, sehingga nilai-nilai toleransi, kasih sayang, dan keikhlasan seringkali terabaikan. Alhasil, ibadah yang seharusnya sarat dengan kedalaman spiritual berubah menjadi ritual formal yang diwarnai oleh budaya konsumtif.
Seiring dengan perubahan zaman, muncul pula kecenderungan untuk mengukur identitas keagamaan melalui tampilan lahiriah. Banyak komunitas mulai mengaitkan Idul Fitri dengan pesta mewah, pamer busana baru, dan dekorasi rumah yang mencolok. Ironisnya, nilai kesederhanaan yang seharusnya menjadi landasan perayaan kini tergeser oleh tuntutan untuk menunjukkan kemewahan. Paradigma ini tidak hanya mempengaruhi cara pandang generasi muda terhadap hari raya, tetapi juga melemahkan fondasi keimanan yang telah lama dijunjung tinggi.
Pergeseran ini tidak terjadi secara tiba-tiba. Pengaruh globalisasi dan perkembangan teknologi informasi membawa arus informasi tanpa batas yang menuntut setiap individu untuk selalu tampil “update” dan “in”. Dalam konteks ini, perayaan Idul Fitri pun harus bersaing dengan berbagai gaya hidup modern yang digemari oleh masyarakat urban. Media sosial menjadi arena kompetisi dalam menampilkan kehidupan yang sempurna, di mana setiap momen keagamaan harus didokumentasikan secara estetis dan dipublikasikan ke khalayak ramai.
Transformasi Identitas Idul Fitri
Disrupsi sosial yang terjadi tidak lepas dari tantangan serius terhadap praktik keagamaan. Misalnya, perayaan Idul Fitri yang seharusnya mengandung nuansa kebersamaan dan pengampunan, kini sering kali hanya menampilkan kemewahan dan gaya hidup yang berlebihan.
Dalam tradisi Islam, esensi keagamaan selalu menekankan pentingnya keikhlasan dalam beribadah. Rasulullah SAW bersabda bahwa amal yang paling utama adalah yang dilakukan tanpa mengharapkan pujian atau pengakuan dari sesama manusia. Nilai keikhlasan inilah yang kian tersisihkan di tengah arus disrupsi sosial. Budaya pamer di media sosial mengaburkan makna sejati perayaan, sehingga masyarakat cenderung lebih fokus pada penampilan luar daripada upaya pembaruan batin.
Lebih jauh lagi, disrupsi sosial juga mempengaruhi cara masyarakat dalam membangun relasi. Tradisi silaturahmi yang dahulu menjadi jembatan penguat ikatan kekeluargaan kini bergeser ke interaksi digital yang lebih instan namun dangkal. Kontak personal yang erat dan penuh kehangatan mulai tergantikan oleh pesan-pesan singkat yang dikirim melalui aplikasi perpesanan. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa nilai-nilai keimanan, seperti kasih sayang dan tolong-menolong, bisa hilang karena terlalu terfokus pada dunia maya.
Di tengah tantangan yang ada, masih terdapat harapan untuk mengembalikan esensi keagamaan dalam perayaan Idul Fitri. Upaya ini harus dimulai dari diri sendiri dengan melakukan introspeksi mendalam dan evaluasi diri secara menyeluruh.
Langkah pertama yang bisa ditempuh adalah dengan mengurangi ketergantungan pada media sosial dalam momen-momen keagamaan. Meskipun teknologi informasi dapat digunakan untuk menyebarkan pesan kebaikan, kita harus bijak dalam memilih apa yang layak untuk dibagikan. Refleksi diri dan muhasabah seharusnya menjadi agenda utama dalam perayaan Idul Fitri, bukan sekadar ajang pamer kemewahan atau gaya hidup. Kembali ke fitrah berarti menyadari bahwa keberkahan hari raya bukan terletak pada tampilan lahiriah, melainkan pada ketulusan hati dan keikhlasan dalam beribadah.
Para tokoh agama diharapkan dapat memberikan teladan melalui keterlibatan langsung dalam kegiatan kemanusiaan seperti pembagian sembako, penggalangan dana untuk korban bencana, dan aksi-aksi sosial lainnya. Tindakan nyata ini dapat menguatkan pesan bahwa keimanan tidak hanya berupa ritual ibadah, tetapi juga tercermin dalam perbuatan nyata untuk kesejahteraan bersama.Selain itu, pemanfaatan media sosial secara bijak dapat menjadi sarana untuk menyebarkan pesan-pesan kebaikan.
Identitas Idul Fitri sebagai hari kemenangan dan momentum penyucian hati harus tetap dijaga di tengah arus disrupsi sosial. Meski tantangan modernitas kian mendominasi, nilai-nilai keislaman yang luhur harus senantiasa menjadi pedoman. Perayaan Idul Fitri harus dilihat sebagai waktu untuk merenungi makna keberadaan, bukan sekadar ajang menampilkan kehidupan yang mewah di media sosial.
Kita harus ingat bahwa kemajuan teknologi dan modernitas tidak semestinya menjadi musuh keimanan. Sebaliknya, dengan pemahaman yang benar dan penggunaan yang bijak, teknologi dapat menjadi alat untuk mempererat tali persaudaraan, meningkatkan literasi keagamaan, dan menyebarkan pesan kebaikan. Tantangan disrupsi sosial yang kita hadapi merupakan panggilan untuk lebih kritis dalam menyaring informasi serta mempertahankan esensi nilai-nilai spiritual yang telah diwariskan oleh para pendahulu.
Akhirnya, harapan terbesar agar semangat Idul Fitri terus mengalir dalam kehidupan sehari-hari, bukan hanya pada hari raya saja. Setiap momen harus menjadi pengingat untuk terus berbenah diri, memperbaiki hubungan dengan sesama, dan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Dengan demikian, umat Islam dapat menghadapi tantangan zaman tanpa kehilangan jati diri keimanan yang sejati, yakni hidup dalam keseimbangan antara Dunia dan Akhirat. Wallāhu Muwaffiq Aqwamith Ila. Aqwamith Thariq.
Dosen UNISAI Samalanga, Alumni MUDI Samalanga serta Mantan Ketua Ansor Pijay, Kandidat Doktor UIN Ar-raniry Banda Aceh
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.