
Ukuran Font
Kecil Besar
14px
Ini soal etika paling sederhana. Negara berhak menjaga pintu. Pers berhak mengetuknya.
Hong Kong menemukan cara baru menyapu ruang redaksi: bukan borgol, melainkan stempel basah. Rebecca Choong Wilkins, koresponden Bloomberg yang hamil delapan bulan, diminta angkat koper tanpa alasan. Yang pergi bukan cuma sosok jurnalis; yang ikut pulang adalah setumpuk kepercayaan publik. Kota global, katanya. Tapi pintu imigrasi lebih cekatan menyaring pertanyaan ketimbang virus.
Ini bukan kasus tunggal yang tersesat. Tahun lalu Haze Fan tersandung izin. Pada 2024, Louise Delmotte dipersilakan keluar Hongkong tanpa penjelasan. Foreign Correspondents’ Club geleng-geleng, Komite Perlindungan Jurnalis mencatat, dan kantor imigrasi tetap mengunyah pasal dengan mulut tertutup. Sejak Undang-Undang Keamanan Nasional, kebebasan pers melorot seperti grafik saham buruk: angka turun, alasan kabur. Polanya rapi, ritmenya konsisten.
Metodenya nyaris elegan. Tidak perlu razia. Cukup menolak perpanjangan. Visa dijadikan pintu putar: wartawan masuk dengan kartu pers, keluar dengan koper. Hukuman tanpa vonis, sensor tanpa pasal. Efeknya terasa: narasumber ciut, redaksi memilih kata dengan “penjepit jemuran”, bakat-bakat terbaik cari kota yang lebih sehat hawanya. Sensor kini bekerja nirkabel; sinyalnya lemah lembut, hasilnya telak.
Padahal Hong Kong menjual diri sebagai pusat keuangan. Investor senang laporan keuangan yang jujur. Mereka juga butuh laporan media yang bebas. Pasar modal tidak suka udara pengap. Informasi yang dikurung membuat harga berlari zigzag. Tak ada yang mau menaruh uang di ruang yang lampunya dipadamkan petugas. Kejelasan data adalah oksigen; pintu visa yang ketat seperti selang yang dicubit.
Dunia sudah menunjukkan lakon serupa. Beijing mencabut kredensial belasan jurnalis Amerika. Israel menutup operasi Al Jazeera atas nama keamanan. Di banyak tempat, “kedaulatan” berubah menjadi karpet ajaib: apa pun bisa disapu di bawahnya. Hong Kong memilih versi yang lebih sopan. Tidak mengusir terang-terangan, hanya mengatur napas melalui visa. Di brosur pariwisata, ini disebut ketertiban; di kamus demokrasi, ini disebut penyempitan.
Alasannya selalu manis: hukum ditegakkan, prosedur diikuti. Namun hukum yang sehat membutuhkan akal sehat. Jika alasan penolakan dirahasiakan, prosedur berubah jadi labirin. Kita dilarang bertanya, diminta percaya. Itu bukan hukum; itu teater dengan lampu studio selalu menyala, penontonnya harus tepuk tangan sesuai cue.
Mari bicara ongkos. Kebijakan seperti ini menagih biaya reputasi. Talenta media hengkang, lembaga internasional waspada, kampus-kampus enggan bekerja sama. Kota yang dulu dikenang sebagai simpul pertukaran informasi berubah menjadi bandara transit untuk ide-ide yang dideportasi. Di balai kota, mungkin grafik pariwisata tetap menanjak. Di kepala banyak orang, grafik kepercayaan jatuh. Kota bisa bertahan dari krisis keuangan; lebih sulit bertahan dari krisis kejujuran.
Solusinya tidak serumit menulis novel. Pertama, buka jendela. Hadirkan alasan tertulis dalam setiap penolakan visa, dengan standar yang terukur serta hak banding yang jelas dan berpagar waktu. Kedua, komunitas bisnis harus berhenti bersiul pura-pura tuli. Kepercayaan investor tidak lahir dari pesta gala, melainkan dari informasi yang bisa diperdebatkan tanpa takut dicabut kartu tamunya. Ketiga, redaksi internasional perlu rencana B: rotasi cepat, bantuan hukum, dan kalkulator risiko yang memasukkan imigrasi sebagai variabel tetap dalam setiap keputusan liputan.
Akhirnya, ini soal etika paling sederhana. Negara berhak menjaga pintu. Pers berhak mengetuknya. Publik berhak tahu siapa yang berdiri di balik pintu itu dan mengapa. Ketika visa dipakai sebagai saringan berita, yang tersaring bukan kebohongan, melainkan hak warga. Kita diminta menelan kabut, menyebutnya udara segar. Itu bukan oksigen; itu asap pekat dari mesin kekuasaan besar.
Sikap kita harus jelas: kembalikan akal sehat ke meja imigrasi, kembalikan jurnalis ke meja kerja. Kebebasan pers bukan hadiah ulang tahun negara. Ia syarat minimum agar kekuasaan tetap bisa disuruh menjelaskan apa yang dia buat untuk rakyat.
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.