Oleh Zulkarnain Lubis
…ketika sebuah perguruan tinggi ternama meluluskan seorang petinggi negara dengan masa studi di luar logika dan belakangan terbukti melanggar etika, namun sanksinya hanya sekedar diperbaiki disertasinya
Scroll Untuk Lanjut Membaca
IKLAN
Pernyataan “atur sajalah, anda yang berkuasa“ adalah ungkapan frustasi atau putus asa seseorang terhadap orang yang memiliki kekuasaan atau otoritas lebih tinggi darinya. Pernyataan ini dimaknai juga bahwa seseorang tersebut tidak sependapat atau tidak setuju dengan ucapan, rencana, gagasan, atau program yang akan dilaksanakan oleh pemilik kekuasaan tersebut.
Ungkapan ini juga diartikan wujud ketidakberdayaan menghambat atau menunda rencana pemilik kekuasaan yang dianggapnya tidak tepat, menyalah, menyimpang, merugikan, atau malah membahayakan. Sikap ini juga bernada pesimis atau mungkin apatis terhadap apa yang terjadi pada sebuah negeri akibat kebijakan, ucapan, perbuatan, tindakan, program pejabatnya yang dianggap “aneh“, “nyeleneh“, “konyol“, “serampangan“, “sembrono“ sehingga membuat terperangah dan tertegun karena merasa tidak berdaya dan tidak bisa berbuat apa-apa.
Betapa tidak, ketika mereka menyuruh jangan makan pedas saat harga cabe mahal, yang juga bisa dianalogkan tidak perlu tinggal di rumah kalau harga rumah mahal, jangan sakit jika harga obat mahal, jangan sekolah jika biaya sekolah mahal, jangan berpakaian ketika harga pakaian meningkat, dan jangan mati kalau biaya penguburan meningkat. Kita juga tersentak dan kaget ketika kita mendengar kata “efisiensi“ tercetus keluar dari petinggi negeri, pemerintah malah boros dan “buang-buang duit“ dalam kegiatan yang dianggap kurang bermanfaat secara substansial.
Saat berteriak “efisiensi“, pejabat jor-joran mengangkat staf khusus, staf ahli, juru bicarayang jumlah dan gaji yang membelalakkan mata–khususnya bagi orang yang untuk menutupi kebutuhan sehari-hari saja mesti berpeluh dan bertungkus lumus bahkan mempertaruhkan nyawanya. Aksi ini juga terkesan asal-asalan, apalagi orang-orang yang diangkat kurang memiliki kapasitas dan kompetensi sesuai bidang yang menjadi tugas pokok dan fungsinya. Penunjukan staf yang berafiliasi sebuah partai untuk mengisi jabatan di Kementerian Kehutanan sempat menjadi polemik dan menjadi contoh. Gajinya lumayan besar dan jumlahnya banyak seakan menunjukkan bahwa jargon efisiensi tidak sungguh-sungguh dijalankan. Aksi pengangkatan berbagai sebutan di luar struktur ini juga seakan meniru gendutnya kabinet yang dapat disimpulkan hanya untuk bagi-bagi kekuasaan.
Ketika kata “efisiensi“ dilontarkan, tapi uang bermiliar rupiah dihamburkan untuk kegiatan yang semestinya tidak perlu. Seperti kumpul-kumpul para kepala daerah dengan judul “retret“ menghabiskan biaya sangat besar dan tidak sebanding manfaat yang didapat. Apalagi sumber pendanaan sempat simpang siur. Ada lagi perilaku yang tidak menunjukkan tekat efisiensi, petinggi rapat di hotel mewah, padahal punya gedung dan ruang sendiri. Anehnya rapatnya dilakukan diam-diam seakan menghindar dari publikasi, diadakan di malam hari pula.
Entah apa yang akan terjadi terhadap bangsa ini, ketika mereka berbuat sekehendak hati, ada upaya mengembalikan dwifungsi TNI yang dulu disebut dengan dwifungsi ABRI. Padahal isu inilah yang menjadi salah satu hasil reformasi yang diperjuangkan dan dimotori oleh mahasiswa dan aktivis pro demokrasi. Dengan sigapnya para anggota DPR melalui langkah cepat segera menyetujui revisi RUU TNI meskipun menyisakan korban para pendemo yang merusaha menggagalkannya karena jika akhirnya RUU ini disetujui, dianggap akan menciderai demokrasi, menimbulkan diskriminasi, berpeluang adanya dominasi, dan ditakutkan melemahnya hukum sebagai supremasi.
Entah apa di benak para petinggi negeri, ketika diberitakan ada sertifikat penguasaan untuk laut, ada sertifikat penguasaan untuk hutan, dan mungkin saja nanti akan ada lagi “sertifikat untuk udara“. Tersiarnya sertifikat ini seiring terbongkarnya pemagaran laut yang sungguh jauh di luar nalar dan sudah berlangsung bertahun-tahun pula. Mereka justru saling “buang badan“ dan “cuci tangan“, seakan tidak malu dan tidak punya nurani. Kasusnya kini menguap, entah sudah sampai dimana.
Juga kasus minyak goreng dan beras yang dijual tidak sesuai takaran. Penyimpangan ini seakan melengkapi kasus kebijakan keliru petinggi sehingga gas bersubsidi susah didapat, bahkan menimbulkan korban meninggal dunia akibat berjuang mendapatkan tabung gas. Ironinya pejabatnya masih sanggup menjadikan penderitaan rakyat sebagai candaan dengan “cengegesan”. Sungguh merupakan indikasi rendahnya empati, rendahnya kecerdasan emosional apalagi kecerdasan spiritual yang dimiliki.
Terhadap berbagai kejadian ini, patut dipastikan kenapa bisa demikian, apakah karena kelalaian atau karena kurangnya kemampuan mengendalikan, atau sengaja dibiarkan penyimpangan berlangsung, atau malah mereka ikut terlibat dalam penyimpangan yang dilakukan. Namun, “apa mau dikata”, mereka yang berkuasa, mereka bebas melakukan apa yang diinginkannya, sesuai seleranya, sesua kehendaknya, sesuai apa maunya, “atur sajalah, anda yang berkuasa”. Rakyat juga tak berdaya dan tak bisa berkata apa-apa, ketika tersiar berita ada oknum tentara membunuh polisi yang mungkin karena berebut lahan judi, begitu juga ketika membaca berita ada oknum kapolres mencabuli anak di bawah umur bahkan merekam dan mengirimkan video pencabulannya yang konon katanya untuk dijadikan tontonan komersial.
Memang banyaknya pejabat yang berbuat sesuka hati, terkait erat dengan hilangnya rasa, etika, dan logika. Itulah yang terjadi ketika sebuah perguruan tinggi ternama meluluskan seorang petinggi negara dengan masa studi di luar logika dan belakangan terbukti melanggar etika, namun sanksinya hanya sekedar diperbaiki disertasinya. Tak terbayangkan jika mahasiswa biasa yang mengalaminya, bisa jadi akan kena sanksi skorsing, pencabutan gelar, atau malah akan menjurus ke sanksi pidana. Mestinya, meskipun sedang berkuasa, para penguasa tidak boleh hanya sekedar mengikuti naluri semata, di samping nalar, mestinya mereka harus menghadirkan etika dan nurani dalam bertindak, baik untuk kepentingan pribadinya maupun menyangkut nasib rakyat yang dipimpinnya. Jadi sangat disayangkan ketika mereka terkesan sesuka hati membuat aturan dan memberi pernyataan yang terkesan janggal dan “nyeleneh”, termasuk dana haji yang dikatakan tidak disengaja diinvestasikan serta pengangkatan pegawai negeri yang lulus dibuat maju mundur dan bagi yang sudah sempat mundur dari tempat kerja sebelumnya disuruh kembali kerja ke tempat yang lama.
Ada lagi seorang Wamen yang asal njablak menjamin tidak ada pemutusan hubungan kerja (PHK) untuk kasus Sritex namun faktanya PHK berlangsung dan sang Wamen tak bisa berbuat apa-apa. Banyak kalangan juga mempertanyakan ada apa di balik pembentukan Danantara, ada apa pula dengan program makanan bergizi gratis yang penuh dengan intrik-intrik dan ditengarai sarat dengan kepentingan sehingga sering dikatakan makan bergizi gratis tapi hakekatnya tidak gratis, sering juga disebut bergizi tapi kurang gizi, apalagi sebelumnya sempat dihebohkan dengan kosa kata “susu ikan”, menu belalang, dan urgensi dari program makan bergizi gratis tersebut yang banyak dipertanyakan dibanding hal lain yang dianggap lebih penting diprioritaskan, terutama sektor pendidikan yang menjadi fondasi utama dalam melahirkan sumberdaya manusia bermutu.
Banyak pula di antara mereka yang kurang memiliki modal kuat untuk mengemban tugasnya, miskin kompetensi, kurang prestasi, lemah kapasitas, dan rendah kualitas, sehingga pencitraan menjadi modal utama. Pencitraan mengalahkan akal sehat dan logika, bisa menutupi fakta dan bisa mengalihkan realita. Seburuk apapun perilaku, separah apapun kinerja, serendah apapun prestasi, sehancur apapun reputasi, semuanya dapat dibungkus dan dipoles dengan citra yang membuat seseorang menjadi seolah-olah baik, benar, bagus, hebat, pintar, jago, berprestasi, punya integritas, punya kualitas, dan punya kapabilitas.
Citra positif ini diciptakan dan direkayasa melalui para influencers dan buzzers yang bisa jadi sukarela tapi mungkin saja berbayar dengan berita-berita hoax dan blow up berita yang meng-up grate citra majikannya ataupun men-down grate citra “lawan” majikannya. Jadi wajar sajalah jika para buzzers dan influencers ini lebih berharga dan lebih laris dari pada intelektual, cendekiawan, dan para pendukung akal sehat. Tidak mengherankan juga para buzzers dan influencers lebih mendapat tempat dalam menduduki jabatan daripada mereka yang menggunakan rasionalitas, cendekiawan, dan intelektual. Ini adalah kondisi dimana akal sehat kalah dengan akal bulus, kewarasan kalah dengan kegilaan, dan susila kalah dengan asusila, dan moral kalah dengan amoral.
Kita berharap ke depannya agar para pemimpin tidak terlalu percaya diri, tidak memonopoli kebenaran dan tidak merasa paling benar. Kita berharap para pemimpin tidak lagi menjadikan suara rakyat seakan tanpa makna dan menganggap tidak bernilai apa-apa. Semoga para pemimpin kita tidak lagi menganggap rakyat tetap bodoh meskipun sebaliknya para pemimpin inilah yang justru akan menunjukkan kebodohan mereka. Kita berharap para pemimpin tidak lagi menunjukkan arogansi dengan pernyataan-pernyataan tidak terpuji, tidak layak, dan tidak pantas keluar dari petinggi negeri. Tidak muncul lagi ungkapan seperti “ndasmu“ serta ungkapan sebelumnya yang terkesan “nyeleneh” dari sang pemimpin seperti istilah “omon-omon“ serta umpatan-umpatan lain yang senada dengan itu.
Memang ketika memimpin tanpa hati nurani, yang dipentingkan hanya diri sendiri, yang dilakukan hanya mengikuti nafsu duniawi, mengejar materi, melampiaskan ambisi, berjamaah dengan kroni untuk terus menumpuk kekayaan dan kemewahan serta mempertahankan kejayaan dengan korupsi sambil membangun dinasti. Itulah yang terjadi kemarin, hari ini, dan mungkin akan terus terjadi dengan ”memperdalam seni” untuk menguras uang dari kantong rakyat, “menari” di atas penderitaan rakyat dengan “iringan musik mengiris hati”, merespons keluhan rakyat dengan “retorika puitis” berisi ancaman yang membuat ngeri atau dalam bentuk “lukisan di atas kanvas berupa ilusi” yang melukai dan menyakiti. Jika sudah begini, “gemah ripah loh jinawi” hanya akan jadi mimpi di siang hari, jangan harap Indonesia Emas akan terealisasi, malahan mungkin Indonesia Cemas yang akan didapati.
Namun apapun itu, itu terserah mereka, mereka yang punya kuasa, biar saja mereka berbuat sesuka hati mereka, kita hanya sekedar menghimbau saja sambil berujar, “Duhai pemimpin kami, anda tidak akan hidup selamanya, nanti di akhirat anda akan mendapatkan balasannya, ada saatnya nanti anda merasakan akibatnya, tunggu saja di pengadilan yang sesungguhnya, ketika mulut anda tak bisa bicara, tangan dan kaki akan bicara memberi kesaksian tentang serakahnya anda, angkuhnya anda, sombongnya anda, bejatnya anda, zalimnya anda, dan kejamnya anda terhadap rakyat anda”.
Penulis adalah Guru Besar UMA
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.