MEDAN (Waspada) : Tawuran brutal di Medan kembali menelan korban jiwa. Seorang remaja tewas tertembak polisi. Di balik kekerasan jalanan itu, para ahli menyebut ini adalah tanda kegagalan sistemik yang makin mengakar.
Muhammad Syuhada, 16, meregang nyawa sehari usai tawuran, bukan karena senjata lawan, ia justru tewas usai badannya ditembus peluru aparat pelindung rakyat.
Scroll Untuk Lanjut Membaca
IKLAN
Syuhada tertembus peluru yang ditembakkan Kapolres Belawan AKBP Oloan Siahaan saat tawuran di pintu tol Belmera, Minggu (4/5) dini hari.
Oloan mengklaim dirinya diserang saat berusaha membubarkan tawuran yang meluas hingga jalan tol Medan-Belawan.
Akibat kejadian itu, Oloan telah dinonaktifkan untuk menjalani pemeriksaan. Kapolda Sumut Irjen Pol. Whisnu Hermawan Februanto kepada wartawan, Senin (5/5) mengatakan, untuk menyelidiki kasus itu pihaknya telah membentuk tim.
“Kami telah membentuk tim gabungan dipimpin Irwasda beranggotakan Ditkrimum, Propam dan Labfor untuk memastikan transparansinya penyidikan. Kami juga melibatkan Mabes Polri dan Kompolnas karena sifatnya melibatkan Kapolres. Untuk saat ini, sembari menjalani pemeriksaan dan sesuai arahan Mabes Polri, Kapolresnya dinonaktifkan agar pelayanan tidak terganggu di sana,” papar Whisnu.
Penonaktifan Kapolres jadi solusi sementara atas kejadian, namun ahli menganggap ini bukan jawaban dari permasalahan sosial yang telah mengakar.
Negara harus melihat akar masalah penyebab kerapnya bentrok masyarakat terjadi, khususnya tawuran di kalangan anak muda.
Pasca penembakan, tawuran kembali pecah di Belawan. Polisi yang datang bukan hanya menghadapi batu dan panah, tapi juga kemarahan sosial yang menumpuk.
Ini bukan yang pertama, Agustus tahun lalu, seorang pemuda 17 tahun juga tewas, dadanya ditembus anak panah.
Tawuran di Medan sudah seperti siklus tanpa akhir. Bukan hanya antar kelompok pemukiman, tapi juga melibatkan geng motor, bahkan pelajar.
Kegagalan Sistemik, Bukan Salah Anak Muda Semata
Sosiolog Universitas Syiah Kuala, Yuva Ayuning Anjar, menyebut tawuran di Medan bukan sekadar masalah kenakalan remaja.
“Tapi ini sudah sistemik, produk kegagalan sistem. Mulai dari yang paling dasar dalam keluarga, lingkungan hingga pemangku kebijakan harusnya sadar bahwa apa yang terjadi hari ini merupakan akumulasi dari kegagalan sistemik yang terjadi,” tegas Yuva, Jumat (9/5).
Bagi Yuva, tawuran adalah respons logis dari ketimpangan sosial yang makin lebar.
“Terlebih ruang kreatif bagi para pemuda untuk menyalurkan emosinya kepada hal-hal yang lebih positif,” tambahnya.
Otoritas yang Hilang, Kepercayaan yang Runtuh
Yuva menyebut, kini anak-anak kehilangan panutan, hilangnya figur otoritatif memperparah kondisi. Anak-anak mesti punya sosok yang hadir ketika ia mendapatkan masalah.
“Artinya ketika masyarakat tidak memiliki figur ini ataupun tidak mempercayai sosok ini, maka ikatan di antara warga menjadi buyar sehingga rentanlah terjadi kriminalitas,” cetusnya.
Tindakan represif aparat, menurutnya bukan jawaban.
“Yang diperdebatkan sebetulnya bukan soal berhasil atau tidak represifitas polisi. Melainkan, apakah mereka sudah menjalankan perannya sebagai figur otoritas legal sesuai amanat undang undang atau belum?,” sebut Yuva.
Solusi : Keluarga, Negara, dan Ruang Aman untuk Anak Muda
Bagi Yuva, akar masalah ini hanya bisa diselesaikan lewat sistem yang berpihak pada anak muda.
“Permudah akses pendidikan baik formal atau informal, sediakan lapangan kerja. Lalu kepolisian juga harus berbenah,” paparnya.
Ia menegaskan, kepercayaan masyarakat bisa kembali jika negara betul-betul hadir.
“Rakyat ini cuma sedang krisis kepercayaan dengan aparat dan pemerintah. Supaya percaya lagi gimana? Ya berbenah,” tutup Yuva.(Adn)
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.