Paradoks Energi Hijau

19 hours ago 7

Oleh Dr Ir Dandi Bachtiar, M. Sc.

Raja Ampat adalah pengingat keras bahwa “energi hijau” tidak otomatis berarti “berkelanjutan” jika dilakukan tanpa etika dan keadilan

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Beberapa waktu lalu, publik dikejutkan oleh kontroversi pemberitaan eksploitasi tambang nikel di Kepulauan Raja Ampat, salah satu kawasan biodiversitas laut terkaya di dunia. Izin tambang yang sempat dikeluarkan di wilayah Papua Barat Daya itu diprotes luas karena mengancam ekosistem hutan tropis dan kehidupan masyarakat adat setempat. Yang ironis, hasil tambang ini bukan untuk energi kotor seperti batu bara, melainkan untuk energi hijau: bahan baku baterai kendaraan listrik.

Jadi tambang nikel yang semakin marak di kawasan hutan-hutan di wilayah Timur Indonesia memiliki misi ‘suci’ untuk mendukung pengembangan energi hijau, melalui ekstraksi nikel sebagai bahanbaku baterai untuk teknologi mobil listrik di masa depan. Pertanyaannya: mengapa atas nama “hijau”, kita rela merusak yang telah hijau sejak dahulu? Inilah yang disebut oleh banyak pakar sebagai paradoks energi hijau, sebuah kontradiksi yang semakin nyata di tengah gencarnya kampanye transisi energi global.

Transisi Energi

Karena krisis perubahan iklim global yang semakin mendesak, dunia kini menghadapi tantangan besar. Dekarbonisasi yaitu mengurangi sepenuhnya paparan karbon yang berdampak kepada pemanasan global dan krisis iklim menjadi agenda utama dunia. Dari sektor pemenuhan energi, persoalan energi global yang utama adalah transisi dari energi fosil yaitu migas dan batubara ke energi terbarukan. Transisi energi dari bahan bakar fosil ke energi terbarukan sudah menjadi sebuah keniscayaan.

Perubahan iklim, polusi, dan krisis ekologi global telah mendorong dunia beralih ke sumber daya yang lebih bersih seperti tenaga surya, angin, panas bumi, dan biomassa. Kendaraan listrik menjadi simbol zaman baru. Panel surya dan baterai litium disebut-sebut sebagai “penyelamat” planet ini. Namun, di balik narasi heroik itu, tersembunyi luka-luka baru yang mulai menganga.

Ironi Energi “Hijau”

Teknologi energi hijau ternyata bergantung pada sejumlah mineral kritis: litium, kobalt, nikel, mangan, hingga tanah jarang (rare earth). Untuk memproduksi baterai mobil listrik, satu unit bisa membutuhkan puluhan kilogram nikel. Ketika permintaan meningkat, maka ekspansi tambang pun tak terelakkan.

Sayangnya, sebagian besar cadangan mineral hijau dunia berada di kawasan tropis, savana, dan wilayah adat di negara berkembang—dari Congo hingga Indonesia. Alih-alih membawa kesejahteraan, eksploitasi ini sering menimbulkan dampak lingkungan, konflik sosial, hingga perpindahan paksa komunitas lokal. Raja Ampat hanyalah salah satu potret dari fenomena global yang lebih luas: saat energi hijau menjadi dalih baru bagi ekstraktivisme lama.

Paradoks Energi Hijau?

Paradoks energi hijau merujuk pada kontradiksi yang muncul saat teknologi yang bertujuan menyelamatkan lingkungan justru menyebabkan kerusakan lingkungan dan sosial baru.

Berbagai bentuk paradoks ini meliputi beberapa hal seperti berikut: Penambangan mineral hijau yang merusak ekosistem hutan, sungai, dan laut, bahkan mengorbankan hak-hak masyarakat adat.

Produksi teknologi hijau yang meninggalkan jejak karbon besar, terutama di fase penambangan, pemurnian, dan manufaktur. Sistem daur ulang yang belum siap, sehingga limbah baterai dan panel surya berpotensi menjadi bom waktu ekologis di masa depan. Serta, ketimpangan global. Yaitu, negara maju mendapat teknologi bersih, negara berkembang menanggung limbah dan kerusakan tambang. Transisi energi yang tidak adil ini disebut oleh para aktivis lingkungan sebagai bentuk baru dari “kolonialisme hijau.”

Pertanyaan yang tak boleh dihindari adalah: siapa yang diuntungkan dari revolusi hijau ini, dan siapa yang menanggung biayanya? Raksasa otomotif dan teknologi seperti Tesla, BYD, hingga Apple kini berlomba menyerap nikel, litium, dan kobalt dari selatan dunia. Di sisi lain, petani lokal, masyarakat adat, dan ekosistem alami menjadi korban dari ambisi “ramah lingkungan” yang tidak berpijak pada keadilan.

Kondisi ini diperparah oleh absennya sistem perlindungan yang kuat. Izin tambang bisa keluar dengan mudah. Komunitas lokal kerap tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Dan ketika konflik muncul, negara lebih sering berpihak pada investasi dibanding pada warganya sendiri.

Sayangnya, hingga kini dunia belum memiliki solusi konkret dan menyeluruh untuk menyelesaikan paradoks energi hijau. Ini antara lain disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, keterbatasan teknologi daur ulang yang masih mahal dan belum efisien secara skala industri. Kedua, logika ekonomi global yang tetap berorientasi pada pertumbuhan, bukan pengurangan konsumsi.

Ketiga, ketimpangan kekuasaan antara negara maju dan negara berkembang dalam menentukan arah transisi energi. Dan keempat; Kurangnya regulasi internasional soal ektraksi bahan mentah untuk energi terbarukan. Akibatnya, alih-alih memperbaiki dunia, transisi energi sering hanya mengganti satu bentuk kerusakan dengan bentuk lainnya.

Kita tak bisa menolak kebutuhan akan energi bersih. Tapi yang kita butuhkan bukan sekadar “energi hijau”, melainkan transisi yang adil — yang berpihak pada manusia, alam, dan masa depan bersama. Sehingga diperlukan langkah-langkah konkrit dan realistik untuk dapat mengurai sumbatan paradoks energi hijau. Langkah-langkah itu antara lain:

Reformasi tata kelola tambang: Stop izin tambang di kawasan konservasi dan tanah adat. Kaji ulang semua konsesi nikel dan litium berdasarkan prinsip lingkungan hidup dan hak asasi manusia. Perlu ada kehati-hatian dalam menerbitkan izin pertambangan nikel dan lainnya yang malah berdampak kerusakan lingkungan yang lebih besar.

Dorong ekonomi sirkular: Investasi serius dalam riset dan infrastruktur daur ulang untuk panel surya dan baterai. Prinsip-prinsip daur ulang perlu diterapkan untuk komponen-komponen mineral pembentuk teknologi hijau.

Kurangi konsumsi, bukan hanya ganti energi: Transisi tak cukup dengan “mengganti mesin”, tapi perlu mengubah pola hidup dan produksi. Kampanye hemat energi harus terus digalakkan. Karena perilaku boros energi, meskipun pada energi hijau akan memberi dampak negatif pada kualitas penggunaan energi. Perlu optimalisasi pada setiap pemanfaatan energi.

Desentralisasi energi: Bangun sistem energi terbarukan berbasis komunitas, bukan proyek raksasa yang eksploitatif. Mungkin upaya ini akan berimbas kepada efisiensi, namun akan lebih bersifat efektif dan tepat sasaran.

Alih teknologi ke negara berkembang: Agar negara-negara produsen bahan mentah juga bisa menikmati nilai tambah dan teknologi bersih.

Menghijaukan Dengan Luka

Raja Ampat adalah pengingat keras bahwa “energi hijau” tidak otomatis berarti “berkelanjutan” jika dilakukan tanpa etika dan keadilan. Kita tidak bisa menambang dengan dalih menyelamatkan iklim, tapi meninggalkan krisis kemanusiaan dan kehancuran ekologi di belakangnya. Hijau yang sejati adalah hijau yang adil. Transisi energi harus bukan hanya soal sumber daya, tapi juga tentang nilai, relasi kuasa, dan keberpihakan. Jika tidak, maka energi hijau hanya akan menjadi wajah baru dari luka lama.

Penulis adalah Dosen Departemen Teknik Mesin dan Industri – Universitas Syiah Kuala (USK).

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |