APBD Sumut 2026 Sangat Tidak Sehat, Tidak Efisien Dan Tidak Pro Masyarakat

3 hours ago 1

Oleh: Elfenda Ananda

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) seharusnya menjadi instrument utama untuk mewujudkan kesejahteraan publik dan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Namun, membaca data APBD 2026, yang mencakup sisi pendapatan dan belanja, terlihat jelas bahwa fiskal daerah masih belum berpihak kepada rakyat.

Data pendapatan daerah tahun anggaran 2026 sebesar Rp11,67 triliun berkurang sebesar Rp873,44 miliar (6,96%) dibanding tahun 2025 sebesar Rp12,54 triliun  menyingkap ironi meski Pendapatan Asli Daerah (PAD) tahun 2026 sebesar Rp6,97 triliun naik sebesar Rp550,13 miliar dibanding tahun 2025 sebesar Rp6,41 miliar, total pendapatan justru turun signifikan hingga 6,96 persen.

Angka ini memperlihatkan kerapuhan struktur fiscal daerah dan ketergantungan tinggi terhadap transfer pusat yang kini menurun tajam.

PAD Naik, Tapi Bukan Karena Inovasi Ekonomi

Secara nominal, PAD naik dari Rp6,41 triliun menjadi Rp6,97 triliun atau meningkat 8,57 persen. Namun, kenaikan ini bukan hasil terobosan ekonomi daerah, melainkan karena penyesuaian administrative khususnya dari target pajak daerah tahun 2026 sebesar Rp6,24 triliun naik sebesar Rp629,77 miliar (11,24%) disbanding tahun 2025 sebesar Rp5,60 triliun.

Dan retribusi daerah tahun 2026 sebesar Rp244,04 miliar (26,23%) naik sebesar Rp50,70 miliar dibanding tahun 2025 sebesar Rp193 miliar.

Di atas kertas terlihat positif, namun dua hal patut dicermati:
1. Pajak daerah melonjak karena kebijakan intensifikasi dan ekstensifikasi, bukan ekspansi basis ekonomi produktif.
➤Artinya, masyarakat dan pelaku usaha menanggung beban fiscal lebih berat, sementara kualitas layanan publik belum meningkat signifikan.
2. Retribusi daerah memang naik 26,23persen, tapi secara nominal hanya bertambah Rp50 miliar terlalu kecil untuk menunjukkan dampak structural terhadap kemandirian fiskal.

Kenaikan ini lebih tepat disebut “pertumbuhan nominal tanpa basis ekonomi”. PAD memang meningkat, tetapi belum menggambarkan pertumbuhan nyata sektor riil.

Penurunan Transfer Pusat: Sinyal Bahaya bagi Ketahanan Fiskal

Fakta paling mencolok adalah turunnya pendapatan transfer dari tahun 2025 Rp5,76 triliun menjadi Rp4,68 triliun pada tahun 2026 atau turun 18,69 persen.

Penurunan ini bisa berarti dua hal:

• Kebijakan fiskal pusat menekan ruang fiskal daerah dengan mengurangi DAU/DBH.
• Atau, penyerapan dan kinerja program daerah menurun, sehingga porsi transfer yang diterima ikut berkurang.

Keduanya sama-sama berisiko. Daerah dengan struktur pendapatan yang masih bergantung pada dana pusat akan menghadapi ketidakstabilan fiskal tinggi dan kerentanan terhadap perubahan kebijakan nasional.

Lain-lain Pendapatan Daerah Turun Drastis: Transparansi Dipertanyakan

Komponen lain-lain pendapatan daerah yang sah anjlok tajam dari Rp360,85 miliar menjadi hanya Rp14,8 miliar, turun sebesar Rp346,05 miliar atau 95,9 persen.

Bagian terbesar dari penurunan ini berasal dari pos lain-lain pendapatan sesuai ketentuan peraturan perundangan, yang amblas 97,6 persen.

Angka ini menimbulkan pertanyaan serius, Apakah terjadi pembersihan pos anggaran tidak jelas (non-tax revenue)?
Atau ada penurunan aktivitas kerjasama dan investasi daerah yang selama ini menjadi sumber tambahan?

Jika ini hasil perbaikan akuntabilitas, patut diapresiasi. Tapi jika karena lemahnya manajemen pendapatan, maka daerah sedang kehilangan salah satu sumber fleksibilitas fiskal terpenting.

Total Pendapatan Turun Rp873 Miliar: EfisiensiatauKrisis?

Penurunan total pendapatan dari Rp12,54 triliun menjadi Rp11,67 triliun menandakan kontraksi fiscal sebesar Rp873 miliar (−6,96%). Pertanyaannya,apakah ini hasil strategi Pemprovsu dalam rangka efisiensi, atau memang ada tanda-tanda krisis penerimaan daerah.

Melihat komposisi di atas, penurunan ini bukan efisiensi, melainkan hilangnya sumber dana eksternal (transfer dan lain-lain pendapatan sah) tanpa kompensasi peningkatan PAD yang memadai.

Artinya, daerah gagal mengantisipasi fluktuasi pendapatan pusat dan belum memiliki strategi diversifikasi sumber penerimaan jangka panjang.

Kemandirian Fiskal Semu

Dengan PAD sekitar Rp6,9 triliun dari total pendapatan Rp11,6 triliun, tingkat kemandirian fiskal hanya sekitar 59,7 persen. Namun, sebagian besar PAD tersebut bersumber dari pajak kendaraan, Bea Balik Nama, Pajak Bahan Bakar kenderaan bermotor, air permukaan dan sebagainya. Tanpa transformasi ekonomi daerah, angka ini tidak akan bertahan lama.

Angka-angka dalam APBD pendapatan daerah 2025–2026 bukan sekadar data fiskal, tetapi indicator arah politik anggaran daerah.

Pemerintah daerah tampak masih bergantung pada pusat, tanpa inovasi nyata untuk memperluas basis ekonomi dan menggali potensi pendapatan baru. Kenaikan pajak tanpa pertumbuhan ekonomi, disertai turunnya transfer pusat dan hilangnya pendapatan sah lainnya, adalah kombinasi berbahaya bagi stabilitas fiscal daerah.

Daerah harus berani keluar dari “zona nyaman” ketergantungan fiskal dan mulai membangun model kemandirian ekonomi yang berkelanjutan.

Belanja daerah tahun 2026 ditargetkan sebesar Rp11.67 triliun turun sebesar Rp834,43 miliar (-6,67%) disbanding tahun 2025 sebesar Rp12,5 triliun.

Turunnya belanja daerah ini berdampak negatif pada pelayanan publik kepada masyarakat secara umum. Bisa dilihat dalam tabel belanja fungsi:

1. Porsi Pelayanan Umum 69,53%  Sangat Tidak Wajar dan Mengindikasikan Distorsi Prioritas

Standar nasional mengharuskan komposisi belanja fungsi pelayanan umum berada pada kisaran 30–40%, bukan 70%. Ketika angkanya mencapai 69,53%, ini menunjukkan:

✔Belanja birokrasi sangat gemuk, termasuk belanja pegawai, administrasi umum, perjalanan dinas, operasional rutin SKPD.
✔Porsi untuk layanan public langsung—pendidikan, kesehatan, perlinungan sosial tertindih oleh biaya aparatur.
✔Tidak sesuai dengan prinsip money follow program (Permendagri 77/2020).

Ini adalah salah satu indikator ketidak efisienan struktural dalam APBD.

2. Fungsi Ekonomi 13,46% Masih Di Bawah Ideal

Fungsi ekonomi mencakup: pembangunan infrastruktur ekonomi, pemberdayaan usaha, ketahanan pangan, pertanian, UMKM, perdagangan, dan pasar.

Untuk daerah, porsi ideal fungsi ekonomi berkisar20–25%.

Dengan hanya13,46%, tabel ini menunjukkan: Rendahnya dukungan untuk pertumbuhan ekonomi jangka panjang.

Pembangunan produktif kalah dari belanja aparatur.
Efek multiplier ekonomi menjadi lemah.

3. Pendidikan 13,03% → Melanggar Mandat 20% (UU 20/2003)

UU Sistem Pendidikan Nasional mewajibkan 20% APBD dialokasikan untuk fungsi pendidikan. Dengan angka hanya 13,03%, maka: Ini melanggar ketentuan mandatory spending, Pemda dapat dianggap tidak mematuhi amanat konstitusi. Prioritas sektor pendidikan tampak tidak dihormati.

Walaupun sebagian belanja pegawai guru mungkin dicatat di bawah fungsi “Pelayanan Umum”, secara metodologis ini seharusnya dikelompokkan sebagai fungsi pendidikan.

Tidak sesuai dengan prioritas pertama pembangunan Sumut tahun 2026 yaitu: pemberian bantuan uang sekolah gratis kepada siswa SMA/SMK/SLB untuk mengurangi beban keluarga, pembangunan sekolah unggulan, rehabilitasi ruang sekolah dan sarana prasarana Pendidikan, Pembangunan ruang kelas baru dan pengadaan meubiler di SMA/SMK/SLB, Peningkatan kualitas guru, Peningkatan kualitas dan mutu kurikulum serta digitalisasi pembelajaran, Penyediaan fasilitas perpustakaan sekolah.

4. Kesehatan 2,88% → Jauh di Bawah Wajib 10%UU Kesehatan dan regulasi keuangan daerah menetapkan standar: ▶ Minimal 10% APBD (di luar gaji) untuk fungsi kesehatan. Dengan hanya2,88%, maka: Pemda melanggar mandatory spending kesehatan. Layanan dasar kesehatan dipastikan akan underfunded. Komitmen terhadap pelayanan publik sangat rendah.

Tidak sesuai dengan prioritas kedua Pembangunan penguatan universal health coverage (UHC), memastikan tidak ada masyarakat kurang mampu tidak dapat berobat karena biaya. Pemberian beasiswa ikatan dinas bagi dokter spesialis dan sebagainya.

5. Perlindungan Sosial 0,38% → Mengabaikan Kelompok Rentan

Anggaran perlinsos idealnya 3–5% APBD, terutama untuk: penyandang disabilitas, kemiskinan ekstrem, perlindungan anak & lansia, bantuan sosial daerah. Dengan hanya 0,38%, itu berarti: Daerah sangat tidak responsif terhadap kelompok rentan, Tidak ada intervensi memadai bagi kemiskinan dan keterpurukan sosial. Rentan dikritik secara moral dan politik.

6. Fungsi Lingkungan Hidup 0,18% → Mengindikasikan Krisis Governance Lingkungan

Standarnya 1–3% saja sudah dianggap rendah. Tapi 0,18%  itu ekstrem, dan mengindikasikan: Tidak ada perhatian pada persoalan tata ruang, air, polusi, tata ruang, dan perubahan iklim. Ketidaksiapan menghadapi banjir, longsor, dan risiko katastrofik lain.

7. Fungsi Perumahan dan Fasilitas Umum 0,19% → Hampir Nol

Sektor ini idealnya3–6% dari APBD, termasuk jalan permukiman, air minum, sanitasi, drainase. Dengan hanya 0,19%, berarti: Tidak ada komitmen pembangunan infrastruktur dasar warga miskin, Permukiman kumuh tidak akan berkurang bahkan kemungkinan bertambah. Akses air dan sanitasi akan stagnan.

8. Fungsi Pariwisata 0,23% → Tidak Sejalan dengan Narasi Pengembangan PAD

Jika daerah sering mengklaim pariwisata sebagai sector unggulan, angka ini sangat kecil, tidak proporsional, tidak akan mampu menghasilkan dampak ekonomi.

9. Distribusi Anggaran Sangat Tidak Seimbang dan Tidak Rasional

Ringkasan Belanja menurut Fungsi:

Secara  struktur, APBD ini tidak berorientasi pada pelayanan publik, melainkan sangat bias pada: belanja pegawai, belanja rutin, administrasi pemerintahan.

Kesimpulan Singkat: Tabel belanja menurut fungsi ini menunjukkan:

APBD 2026 sangat tidak sehat, tidak efisien, tidak pro-masyarakat, dan melanggar dua mandatory spending utama (pendidikan & kesehatan). Komposisi belanja didominasi hampir 70% untuk pelayanan umum level yang tidak lazim dan menunjukkan pemborosan aparatur.

Fungsi layanan publik dasar seperti kesehatan, pendidikan, lingkungan hidup, dan perlindungan sosial — justru menjadi korban pemangkasan ekstrem.

Penulis: Pendiri Suluh Muda Indonesia (SMI), Analis Anggaran FITRA Sumut

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |