Dari Bencana Ke Muhasabah Bangsa

3 hours ago 1

Oleh Farid Wajdi

Bencana alam terus berulang di negeri ini. Banjir menenggelamkan permukiman, longsor menelan desa, gempa mengguncang wilayah padat penduduk.

Setiap peristiwa menghadirkan duka dan solidaritas, namun juga menyisakan pertanyaan mendasar: apakah bangsa ini sungguh belajar dari musibah, atau sekadar pandai berduka lalu lupa.

Media arus utama kerap menempatkan bencana sebagai kabar utama. Namun, setelah hitungan hari, perhatian publik berpindah. Pola lama kembali berjalan, pembangunan berlanjut tanpa koreksi berarti, dan risiko tetap dibiarkan menumpuk.

Siklus ini menunjukkan bencana belum sepenuhnya dimaknai sebagai peringatan kolektif.

Dalam perspektif keislaman, musibah tidak hadir sebagai peristiwa kosong. Ia mengandung pesan etis dan sosial. M. Quraish Shihab (2017) menegaskan musibah tidak layak dibaca sebagai hukuman Tuhan atas korban, melainkan panggilan refleksi bagi manusia secara kolektif.

Tafsir ini penting untuk menghindari sikap menyalahkan, sekaligus membuka ruang muhasabah yang lebih adil.

Sayangnya, refleksi sering berhenti pada tataran simbolik. Doa bersama, penggalangan donasi, dan empati publik berjalan cepat. Namun, koreksi kebijakan dan perubahan arah pembangunan berjalan lambat.

Zuly Qodir (2021) menilai kegagalan utama penanganan bencana di Indonesia terletak pada lemahnya pembelajaran struktural. Musibah diperlakukan sebagai insiden, bukan gejala persoalan sistemik.

Di titik inilah tanggung jawab kepemimpinan diuji. Pemimpin bangsa memegang mandat suara konstituen, amanah rakyat yang seharusnya dijaga dengan penuh tanggung jawab.

Dalam etika politik Islam, kekuasaan tidak pernah berdiri sebagai kehormatan, melainkan beban amanah. Setiap kebijakan publik memikul konsekuensi moral.

Rangkaian bencana semestinya menjadi momentum muhasabah bagi para pemegang kuasa: adakah kebijakan yang keliru, nilai apa yang diabaikan, dan koreksi apa yang perlu segera dilakukan.

Dimensi ekologis bencana semakin terang. Emil Salim (2018) sejak lama mengingatkan kerusakan lingkungan sebagai akibat langsung paradigma pembangunan yang eksploitatif.

Peringatan ini terasa relevan setiap kali banjir dan kebakaran hutan melanda. Dalam etika Islam, manusia berperan sebagai khalifah yang memikul amanah menjaga keseimbangan bumi, bukan sekadar memanfaatkannya tanpa batas.

Pandangan tersebut sejalan dengan kajian kebijakan lingkungan. Rachmat Witoelar (2019) menyebut krisis ekologis Indonesia sebagai buah dari kegagalan etika pembangunan.

Alam diposisikan sebagai objek ekonomi, sementara risiko ekologis dialihkan kepada masyarakat. Pada titik ini, muhasabah kepemimpinan menjadi keniscayaan.

Mandat konstituen tidak hanya ditagih saat pemilu, tetapi juga ketika kebijakan menimbulkan risiko bagi keselamatan publik.

Bencana juga membuka wajah ketimpangan sosial. Siti Zuhro (2021) mencatat korban terbesar hampir selalu kelompok rentan. Mereka hidup di kawasan rawan bukan karena pilihan bebas, melainkan tekanan ekonomi dan kebijakan tata ruang yang abai.

Dalam perspektif keadilan sosial Islam, kondisi ini menandakan kegagalan negara melindungi warga paling lemah. Pemimpin yang amanah semestinya mampu meletakkan telinga pada setiap detak jantung rakyatnya, mendengar kegelisahan yang sering tak sampai ke ruang rapat kekuasaan.

Relasi kekuasaan dan ekonomi tak dapat dilepaskan dari muhasabah bangsa. Faisal Basri (2020) mengkritik arah pembangunan yang menempatkan pertumbuhan ekonomi di atas perlindungan lingkungan dan keselamatan publik.

Kritik ini selaras dengan prinsip amanah dalam Islam. Kekuasaan bukan lisensi untuk melanggengkan kepentingan, melainkan tanggung jawab untuk melindungi kehidupan.

Taubat Kolektif

Dimensi hukum memperjelas tuntutan tersebut. Kerangka regulasi lingkungan telah tersedia, termasuk Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009.

Namun, laporan Tempo (2021) menunjukkan penegakan hukum kerap lemah, terutama dalam kasus kebakaran hutan dan pelanggaran izin.

Dalam etika Islam, hukum berfungsi menjaga kemaslahatan. Ketika hukum tidak ditegakkan secara konsisten, tanggung jawab pemimpin patut dipertanyakan.

Gagasan taubat kolektif sering muncul dalam khazanah keislaman. Ahmad Tafsir (2016) menjelaskan taubat menuntut perubahan sikap dan arah, bukan sekadar penyesalan. Dalam konteks kebangsaan, taubat kolektif berarti keberanian pemimpin dan masyarakat mengoreksi kebijakan, menata ulang prioritas pembangunan, serta memulihkan relasi dengan alam.

Islam juga mengenal prinsip mizan, keseimbangan. M. Amin Abdullah (2019) menekankan pentingnya integrasi nilai agama, ilmu pengetahuan, dan kebijakan publik.

Bencana menunjukkan kegagalan menjaga keseimbangan ini. Sains memberi peringatan, agama menawarkan nilai, sementara kebijakan sering tertinggal.

Filantropi Islam memainkan peran penting dalam fase darurat. Solidaritas sosial bergerak cepat. Namun, Didin Hafidhuddin (2018) mengingatkan filantropi tidak boleh menggantikan tanggung jawab negara dan pelaku usaha. Bantuan kemanusiaan kehilangan makna jika digunakan sebagai pengganti keadilan struktural.

Media dan kaum intelektual memikul peran strategis menjaga ingatan publik. Haryatmoko (2020) menekankan pentingnya nalar kritis agar bencana tidak direduksi menjadi tontonan emosional. Muhasabah bangsa memerlukan ruang diskusi jujur, berani, dan berkelanjutan.

Pada akhirnya, bencana menguji arah perjalanan bangsa. Ia menanyakan nilai yang dipilih, alam yang diperlakukan, dan manusia yang dilindungi.

Bagi para pemimpin, musibah adalah pengingat paling jujur tentang makna amanah. Mendengar rakyat bukan sekadar agenda politik, melainkan kewajiban moral.

Dari bencana ke muhasabah bangsa bukan sekadar wacana religius atau akademik. Ia adalah tuntutan etis dan konstitusional.

Tanpa refleksi yang berujung pada perbaikan nyata, musibah akan terus hadir sebagai peringatan yang diabaikan. Bangsa ini lalu terjebak dalam ritual duka tanpa transformasi, doa tanpa keadilan, dan kekuasaan tanpa tanggung jawab.

Penulis adalah Founder Ethics of Care, Anggota Komisi Yudisial 2015-2020, dan Dosen UMSU

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |