
Ukuran Font
Kecil Besar
14px
JAKARTA (Waspada) : Institut Teknologi Bandung (ITB) telah berkoordinasi secara intensif dan bekerja sama dengan berbagai pihak atas penangkapan mahasiswi Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) SSS yang ditangkap dan ditahan kepolisian terkait pengunggahan meme Presiden Prabowo Subianto dan mantan presiden Joko Widodo berciuman dengan bantuan artificial intelligence (AI).
Direktur Komunikasi dan Hubungan Masyarakat ITB, Dr. N. Nurlaela Arief, MBA., IAPR, menanggapi pemberitaan mengenai penangkapan mahasiswi SSS terkait pengunggahan meme melalui media sosial.
Scroll Untuk Lanjut Membaca
IKLAN
“Dengan ini kami sampaikan,ITB telah berkoordinasi secara intensif dan bekerja sama dengan berbagai pihak. Pihak orang tua dari mahasiswi sudah datang ke ITB (Jumat, 9 Mei 2025), dan menyatakan permintaan maaf. Kami juga telah berkoordinasi dengan Ikatan Orang Tua Mahasiswa (IOM) dan pihak-pihak terkait lainny,” demikian sampaikan Nurlaela Arief dalam keterangan resminya, Jumat (9/5).
Sebelumnya, Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri menahan mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) berinisial SSS. Mahasiswa Fakultas Seni Rupa dan Desain tersebut merupakan pengunggah meme Presiden Prabowo Subianto dan mantan presiden Joko Widodo berciuman dengan bantuan artificial intelligence (AI).
Sebelumnya, Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Mabes Polri Komisaris Besar Erdi A. Chaniago mengonfirmasi penangkapan mahasiswa ITB tersebut. “Iya benar bahwa seorang perempuan berinisial SSS telah ditangkap dan diproses,” kata Erdi, Kamis (8/5).
Polisi menjerat SSS dengan Pasal 45 ayat (1) jo Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). “Saat ini masih dalam proses penyidikan,” kata dia
Kabar penahanan perempuan itu mulanya dicuit oleh akun X @MurtadhaOne1 pada Rabu, 7 Mei 2025. Akun itu menyebut perempuan itu mahasiswa ITB. Kabar penahanan pembuat meme Prabowo-Jokowi menggunakan artificial intelligence (AI) yang sempat viral di media sosial itu lantas jadi perbincangan di media sosial.
Amnesty Bebaskan Mahasiswi
Sementara, Amnesty Internasional Indonesia merespons penangkapan polisi atas seorang mahasiswi terkait penyebaran meme foto Presiden Prabowo dan Presiden RI ke-7 Jokowi.
“Penangkapan mahasiswi tersebut sekali lagi menunjukkan bahwa polisi terus melakukan praktik-praktik otoriter dalam merepresi kebebasan berekspresi di ruang digital. Kali ini dengan menggunakan argumen kesusilaan. Ekspresi damai seberapapun ofensif, baik melalui seni, termasuk satir dan meme politik, bukanlah merupakan tindak pidana. Respons Polri ini jelas merupakan bentuk kriminalisasi kebebasan berekspresi di ruang digital,” kata Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, dalam keterangan tertulisnya, diterima redaksi Sabtu (10/5).
Dikatakannya, penangkapan ini juga bertentangan dengan semangat putusan terbaru Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan bahwa keributan di media sosial tidak tergolong tindak pidana. Pembangkangan Polri atas putusan MK tersebut mencerminkan sikap otoriter aparat yang menerapkan respons yang represif di ruang publik.
“Kebebasan berpendapat adalah hak yang dilindungi baik dalam hukum HAM internasional dan nasional, termasuk UUD 1945,” terang Usman Hamid.
Meskipun kebebasan ini kata Usman Hamid dapat dibatasi untuk melindungi reputasi orang lain, standar gak asasi manusia (HAM) internasional menganjurkan agar hal tersebut tidak dilakukan melalui pemidanaan. Lembaga negara sendiri termasuk Presiden bukanlah suatu entitas yang dilindungi reputasinya oleh hukum hak asasi manusia.
“Kriminalisasi di ruang ekspresi semacam ini justru akan menciptakan iklim ketakutan di masyarakat dan merupakan bentuk taktik kejam untuk membungkam kritik di ruang publik,” tambahnya.
Polri harus segera membebaskan mahasiswi tersebut karena penangkapannya bertentangan dengan semangat putusan MK. Negara tidak boleh anti-kritik, apalagi menggunakan hukum sebagai alat pembungkaman. Penyalahgunaan UU ITE ini merupakan taktik yang tidak manusiawi untuk membungkam kritik.
“Kriminalisasi lewat UU ITE tidak hanya menghukum si korban tapi juga menimbulkan trauma psikologis keluarga mereka. Mereka dalam beberapa kasus harus terpisah dari keluarga ketika proses hukum berjalan akibat penahanan dan pemenjaraan. Ini merupakan taktik yang represif dan tidak adil,” ujar Usman Hamid.
Amnesty International Indonesia mencatat selama 2019-2024 setidaknya terdapat 530 kasus kriminalisasi kebebasan berekspresi dengan jerat UU ITE terhadap 563 korban. Pelaku kriminalisasi didominasi oleh patroli siber Polri (258 kasus dengan 271 korban) dan laporan Pemerintah Daerah (63 kasus dengan 68 korban). (j01)
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.