
Ukuran Font
Kecil Besar
14px
MEDAN (Waspada.id): Seorang siswi SMA di Kota Medan menjadi korban penganiayaan setelah bertemu dengan teman yang baru dikenalnya lewat media sosial Facebook, belum lama ini.
Pertemuan yang awalnya dianggap biasa berujung pada tindak kekerasan fisik, membuat korban mengalami luka serta trauma psikologis.
Peristiwa itu terjadi di salah satu kos di kawasan Jalan Williem Iskandar/Pancing Medan. Korban dijemput oleh pelaku yang dikenalnya lewat Facebook dengan alasan ingin bertemu. Namun, korban justru diperlakukan kasar hingga mengalami memar di beberapa bagian tubuh.
Psikolog dari Fakuktas Psikologi, Universitas Sumatera Utara (USU), Prof. Raras Sutatminingsih, S.Psi.,M.Si.,Ph.D., Psikolog saat dimintai keterangannya pada Senin (25/8), menyatakan bahwa korban kekerasan sangat rentan mengalami Post Traumatic Stress Disorder (PTSD).
Trauma itu bisa muncul dalam bentuk kecemasan, depresi, dan ketakutan berlebihan terhadap situasi yang mirip dengan kejadian kekerasan.
Jika trauma tidak ditangani dengan baik, korban bisa menekan pengalaman tersebut ke alam bawah sadar dan mengembangkan mekanisme pertahanan diri yang maladaptif, seperti menghindar, curiga berlebihan, atau melampiaskan emosi pada orang lain. Dalam jangka panjang, hal ini dapat memperparah kondisi korban.
“PTSD juga bisa timbul karena korban mengaitkan pengalaman traumatis dengan hal-hal yang mirip pada saat kejadian, misalnya tempat, pelaku, suara, bahkan aroma tertentu. Akibatnya, korban memberikan respon negatif secara fisik maupun emosional saat menghadapi situasi serupa,” tegasnya.
Ia juga menjelaskan tindakan pelaku dapat dipicu oleh sejumlah faktor, antara lainn, pengalaman kekerasan di masa kecil yang memengaruhi perkembangan emosinya, meniru perilaku agresif dari lingkungan atau media tanpa adanya konsekuensi, distorsi kognitif berupa pandangan negatif terhadap perempuan karena pengalaman buruk sebelumnya dan penanaman nilai yang salah terkait relasi dengan lawan jenis.
Intervensi Psikologis
Ia menyebutkan bahwa para ahli menekankan perlunya pendampingan psikologis terhadap korban maupun pelaku:
Untuk Korban
Mendapatkan pendampingan emosional agar bisa meluapkan ketakutan.
Dilatih teknik relaksasi dan terapi systematic desensitization untuk menghadapi ketakutan secara bertahap.
Diberikan terapi untuk mengubah pikiran irasional menjadi rasional terkait pengalaman traumatis.
Dukungan sosial dari keluarga, guru, teman, dan lingkungan sangat penting dalam proses pemulihan.
Untuk Pelaku:
Harus mendapatkan konsekuensi hukum yang jelas sesuai perbuatannya.
Mengikuti terapi Cognitive Behavior Therapy (CBT) untuk memperbaiki pola pikir negatif terhadap perempuan.
Diberikan kesempatan untuk mengeksplorasi pengalaman traumatis masa kecil yang bisa jadi pemicu agresivitas.
Penanaman nilai moral dan agama oleh rohaniawan sebagai penguatan karakter.
“Kasus ini menjadi pengingat bagi orang tua agar lebih waspada terhadap pergaulan anak-anak, terutama dalam penggunaan media sosial. Pertemanan di dunia maya yang tampak sepele bisa berujung pada kejadian berbahaya di dunia nyata,” tandasnya.(id20).
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.