Siapa “Bermain Api” Di Rumah Hakim Khamozaro Waruwu

3 hours ago 2
Editorial

5 November 20255 November 2025

Siapa “Bermain Api” Di Rumah Hakim Khamozaro Waruwu

Ukuran Font

Kecil Besar

14px

Dan di tengah asap itu, nama Bobby kembali mengapung—bersama para inisiator, broker, dan pengawal kepentingan yang dulu ikut meloloskan proyek tersebut.

Kebakaran pada pagi Selasa, 4 November 2025, yang melalap kamar utama kediaman Ketua Majelis Hakim Khamozaro Waruwu, memasung pertanyaan berat: apakah ini murni kecelakaan rumah tangga atau pesan berbahaya kepada penegak hukum yang sedang memimpin perkara berprofil tinggi? Fakta waktu—kobaran muncul saat rumah kosong dan hanya menyasar ruang tertentu—tidak bisa lagi dibaca sebagai kebetulan biasa; ia menuntut pembacaan forensik, bukan gosip.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Peristiwa itu terjadi hanya sehari sebelum sidang pembacaan tuntutan kasus korupsi proyek jalan yang menyeret mantan Kadis PUPR Sumut, Topan Obaja Putra Ginting, beserta jejaring kontraktornya. Di ruang sidang, Hakim Ketua Khamozaro Waruwu bahkan dengan tegas meminta Jaksa KPK menghadirkan Gubernur Bobby Nasution—tokoh yang berulang kali menggeser alokasi APBD Sumut demi proyek yang kini terkuak sebagai bancakan anggaran.

Bukan sekadar permintaan prosedural. Itu adalah panggilan langsung kepada pusat kendali politik daerah. Sebuah sinyal bahwa perkara ini tidak berhenti pada kaki-kaki birokrasi, melainkan merambat naik ke lingkar inti pengambil keputusan. Meski jaksa KPK terbaca “takut” menghadirkan menantu Jokowi itu ke ruang sidang.

Konteks inilah yang menggeser fokus publik: dari hanya kebakaran rumah seorang hakim menjadi gugatan terhadap sendi-sendi integritas peradilan itu sendiri. Api tersebut bukan hanya melahap bangunan; ia membakar ruang yang semestinya dihuni oleh ketenangan keluarga, jaminan perlindungan negara, dan rasa aman seorang penyelenggara keadilan.

Dan di tengah asap itu, nama Bobby kembali mengapung—bersama para inisiator, broker, dan pengawal kepentingan yang dulu ikut meloloskan proyek tersebut. Pusaran isu itu berputar cepat, membawa mereka masuk dalam sorotan yang tak bisa dihindari.

Tentu, tuduhan tak bisa berdiri tanpa bukti. Tetapi opini publik tak menunggu pembuktian lengkap. Ia bergerak kencang, membentuk tekanan. Dan sebelum bukti otentik hadir, pertanyaan yang lebih besar mendobrak logika publik: siapa yang diuntungkan dari kebakaran ini?

Mengurai sebab-akibatnya mudah untuk disampaikan sebagai hipotesis: bila kebakaran memang disengaja—apakah untuk mengintimidasi, menghancurkan dokumen, atau sekadar mengirim pesan teror—maka ia bukan hanya serangan terhadap rumah, tetapi upaya menggoyang pilar penegakan hukum. Jika kebakaran hanyalah hasil korsleting, publik juga berhak menuntut mengapa hanya satu kamar yang hangus sementara bagian lain utuh. Kejanggalan-kejanggalan semacam ini adalah lubang yang cepat diisi oleh kecurigaan publik karena negara belum memberikan jawaban memuaskan. Apalagi sebelumnya, telepon genggam Hakim Waruwu, berkali-kali “disatroni” nomor gelap dan misterius.

Ada aktor-aktor yang berkepentingan melihat keadaan ini dari jarak berbeda: terdakwa dan timnya yang berharap proses di meja hijau berjalan nyaman; pihak yang merasa terancam oleh kebenaran yang mungkin terbuka; masyarakat sipil yang menuntut akuntabilitas; dan tentu saja institusi negara yang berkewajiban menjaga keselamatan hakim. Suara lembaga advokasi dan pengawas—seperti LBH Medan dan Komisi Yudisial—langsung menyuarakan kecurigaan bahwa ini tidak semata musibah rumah tangga, melainkan potensi ancaman terhadap independensi peradilan. Seruan mereka bukan sensasionalisme; ini permintaan agar negara menunaikan fungsi dasarnya: melindungi aparat penegak hukum.

Tanggung jawab negara bukan retorika. Peraturan yang mengatur hak dan fasilitas hakim, termasuk mekanisme perlindungan, telah ada dalam aturan teknis—PP Nomor 94 Tahun 2012—namun implementasinya sering terbelah antara norma dan praktik. Bila protokol pengamanan, audit rumah, atau penyimpanan dokumen penting berjalan sesuai protap, kita tidak lagi mengeluh tentang “kebakaran yang mencurigakan”; kita akan membahas proses hukum tanpa nuansa teror. Sejauh ini, klausal-klausul hukum itu nampak lebih mirip janji administratif daripada perisai nyata di lapangan.

Karena itu, penyelidikan forensik harus dilakukan cepat, transparan, dan diawasi pihak independen—bukti fisik harus berbicara, bukan desas-desus. Kemudian, negara harus menunjukkan keseriusan melindungi para hakim yang menangani perkara berisiko tinggi; ini bukan bentuk kemewahan, melainkan prasyarat peradilan yang adil. Komponen-komponen ini adalah vaksinasi politik terhadap penularan ketakutan yang bisa merusak bawah tanah demokrasi.

Ironi terletak pada kenyataan sederhana: mereka yang mengaku cinta hukum sering kali paling pelit memberikan sumber daya untuk menjaganya. Jika aparat bertindak objektif, transparan, dan cepat, bara kecil itu akan padam sebagai insiden; jika tidak, bara itulah yang akan menjadi api besar—bukan lagi hanya memakan dinding rumah, melainkan memanggang kepercayaan publik terhadap penegakan hukum. Maka, kepada siapa pun yang merasa “bermain api”: hentikan. Biarkan ruang sidang menjadi medan adu argumentasi dan pembuktian, bukan medan teror. Biarkan hukum berbicara—tanpa bau asap penggertak dari geng perampok uang rakyat Sumatera Utara itu.

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |