Respon Kegalauan Prabowo Terhadap Serakahnomics

1 month ago 17

Oleh Prof Dr Andri Soemitra, MA

Di tengah kegelisahan nasional atas praktik ekonomi yang kian menjauh dari nilai-nilai etika dan keadilan sosial, Presiden Prabowo Subianto memperkenalkan istilah baru yang menggugah kesadaran publik: serakahnomics.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Istilah ini mencerminkan suatu pola ekonomi yang digerakkan oleh keserakahan murni, yaitu praktik bisnis dan aktivitas ekonomi yang hanya berorientasi pada keuntungan pribadi atau kelompok kecil, tanpa peduli pada hukum, nilai moral, maupun kepentingan bangsa secara luas.

Dalam beberapa pidatonya, presiden menyebut para pelaku serakahnomics ini sebagai “vampir-vampir ekonomi”, pihak-pihak yang menghisap darah rakyat melalui manipulasi harga, eksploitasi pasar, dan pengingkaran terhadap amanah sosial.

Fenomena ini bukanlah gejala baru dalam sejarah ekonomi manusia. Bahkan, sejak masa kenabian, Islam telah mengantisipasi munculnya ketimpangan dan ketidakadilan yang bersumber dari perilaku serakah dalam ekonomi.

Untuk itu, Islam menghadirkan sebuah institusi unik yang disebut al-Hisbah, yaitu sistem pengawasan pasar dan akhlak sosial yang berakar dari wahyu dan syariat.

Dalam konteks munculnya serakahnomics saat ini, nilai-nilai al-Hisbah sangat relevan sebagai tawaran solusi konseptual dan praktikal dari khazanah Islam guna menata ulang tata kelola ekonomi nasional yang berbasis keadilan, transparansi, dan akuntabilitas moral.

Al-Hisbah: Sistem Pengawasan Pasar yang Berakar pada Kemaslahatan Secara terminologis, al-Hisbah berasal dari akar kata hasaba–yahsubu–hisbah, yang berarti memperhitungkan atau mengawasi. Dalam kerangka syariat Islam, al-Hisbah merupakan lembaga atau mekanisme pengawasan pasar dan moral publik, yang bertujuan menegakkan prinsip amar ma’ruf nahi munkar di bidang muamalah.

Institusi ini bertugas memastikan bahwa setiap transaksi ekonomi berjalan dalam koridor syariah, yakni jujur, adil, dan tidak merugikan pihak manapun.

Al-Hisbah sudah ada sejak masa Nabi Muhammad SAW. Rasulullah sendiri menunjuk beberapa sahabat sebagai pengawas pasar di Madinah, seperti Said bin Said dan Umar bin al-Khattab, yang bertugas memastikan kesesuaian timbangan, kejujuran pedagang, sertamencegah praktik penimbunan (ihtikar) dan penipuan (tadlis).

Setelah itu, para Khulafa al-Rasyidun dan pemerintahan Islam klasik melanjutkan institusi ini secara lebih sistemik, menjadikannya sebagai salah satu perangkat utama dalam menjaga ketertiban dan keadilan
sosial-ekonomi.

Dalam praktiknya, seorang muhtasib atau pengawas pasar memiliki wewenang untuk masuk ke pasar, memeriksa barang dagangan, menegur pedagang curang, hingga memberikan sanksi atas pelanggaran. Al-Hisbah berperan sebagai jembatan antara hukum ekonomi dan etika bisnis, menciptakan ruang usaha yang tidak hanya efisien secara materiil, tetapi juga adil secara spiritual.

Relevansi Al-Hisbah terhadap Serakahnomics. Apa yang disampaikan Presiden Prabowo terkait para pengusaha nakal yang melakukan manipulasi harga, penipuan kualitas barang, hingga ketidakpatuhan terhadap aturan negara, menunjukkan bahwa telah terjadi kekosongan nilai dan kelemahan pengawasan moral dalam ekonomi kita.

Al-Hisbah, dalam hal ini, adalah institusi yang mampu mencegah kecurangan dan kerakusan dengan pendekatan integratif antara hukum, etika, dan pengawasan sosial.

Keserakahan dalam dunia bisnis, atau yang kini diistilahkan sebagai serakahnomics, merupakan bentuk ekstrem dari pelanggaran terhadap prinsip-prinsip dasar dalam ekonomi Islam, seperti ‘adl (keadilan), amanah (tanggung jawab), dan shiddiq (kejujuran). Islam menolak segala bentuk upaya mencari keuntungan yang menzalimi pihak lain, dan mendorong terciptanya sistem distribusi kekayaan yang adil dan berkelanjutan.

Serakahnomics justru memperparah ketimpangan sosial, memperlemah daya beli rakyat,dan merusak kepercayaan publik terhadap pasar dan negara. Manifestasi Al-Hisbah dalam Konteks Modern Meskipun al-Hisbah dalam bentuk klasiknya mungkin tidak lagi eksis secara struktural, nilai-nilainya masih hidup dan dapat diimplementasikan dalam berbagai bentuk lembaga pengawasan modern.

Di Indonesia, lembaga seperti Komisi Pengawas Persaingan
Usaha (KPPU), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), atau Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sejatinya memikul misi yang serupa dengan al-Hisbah, yaitu mengawasi agar pelaku usaha tidak melakukan praktik eksploitatif yang merugikan masyarakat.

Namun demikian, implementasi lembaga-lembaga tersebut kerap terbatas pada aspek regulasi teknis dan belum sepenuhnya mengintegrasikan nilai-nilai spiritual dan moral seperti yang diajarkan al-Hisbah.

Padahal, dalam Islam, pengawasan ekonomi bukan sekadar administratif, tetapi juga ibadah yang menuntut keikhlasan, kejujuran, dan tanggung jawab sosial. Bahkan di pasar-pasar tradisional, semangat al-Hisbah bisa ditemukan secara informal, seperti keterlibatan tokoh agama dan masyarakat dalam menjaga kestabilan harga dan kualitas barang.

Di beberapa negara Islam kontemporer, semangat ini direalisasikan melalui lembaga Pengawas yang mengawasi sistem keuangan dan bisnis agar tetap dalam batas halal dan etis. Ini membuktikan bahwa nilai-nilai al-Hisbah bisa diadaptasi dan dikembangkan sesuai kebutuhan zaman.

Landasan Filosofis dan Etika Ekonomi Islam

Filosofi al-Hisbah bertumpu pada konsep bahwa Allah SWT adalah al-Raqib, Dzat Yang Maha Mengawasi. Setiap pelaku ekonomi diyakini akan mempertanggungjawabkan setiap perbuatannya, tidak hanya di hadapan hukum negara, tetapi juga di hadapan Allah di akhirat kelak.

Kesadaran ini melahirkan budaya muhasabah al-nafs (evaluasi diri), yang menjadi benteng pertama dari perilaku curang dan tamak dalam bisnis.Islam tidak menolak kepemilikan pribadi atau perolehan kekayaan, tetapi menolak cara-cara yang bertentangan dengan etika dan keadilan.

Dalam sistem Islam, seorang pedagang dinilai bukan hanya dari seberapa besar omzet yang diperoleh, melainkan dari
seberapa besar manfaat dan keadilan yang ia ciptakan bagi masyarakat.

Menuju Ekonomi Berbasis Akhlak dan Tanggung Jawab.

Serakahnomics adalah hasil dari ekonomi yang kehilangan akhlak dan spiritualitas. Pasar yang dibiarkan berjalan tanpa pengawasan moral akan melahirkan predator, bukan pelaku usaha yang beretika. Maka, al-Hisbah bukan sekadar peringatan, tetapi juga Solusi bahwa kebebasan pasar harus dikawal oleh tanggung jawab sosial dan nilai-nilai keadilan.

Untuk itu, membangun kembali semangat al-Hisbah dalam format modern menjadi penting dan mendesak. Negara harus hadir bukan hanya sebagai regulator yang netral, tetapi juga sebagai pelindung rakyat dari eksploitasi.

Masyarakat sipil, akademisi, ulama, dan pelaku usaha perlu dilibatkan dalam membangun sistem pengawasan kolektif yang menjaga pasar tetap sehat, adil, dan berintegritas.

Semangat Al-Hisbah sebagai Pilar Melawan Serakahnomics. Kegalauan Presiden Prabowo terhadap praktik serakahnomics adalah cerminan dari krisis multidimensi: hukum, etika, dan keadilan sosial.

Islam telah lama menawarkan jawaban lewat institusi al-Hisbah—sebuah konsep yang memadukan pengawasan pasar, etika moral, dan tanggung jawab sosial dalam satu kesatuan sistem. Kini saatnya kita tidak hanya menegur para pelaku serakahnomics, tetapi juga membangun ekosistem ekonomi yang adil, transparan, dan berakhlak mulia. Al-Hisbah bukan sekadar nostalgia sejarah Islam, melainkan fondasi aktual yang harus diperkuat dalam sistem ekonomi nasional.

Karena pada akhirnya, serakahnomics hanya bisa dilawan dengan iman, akhlak, dan struktur pasar yang dikawal oleh nilai-nilai keadilan dan tanggung jawab. (Penulis Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UINSU)

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |