Pengusaha Resah Lihat Tanda-Tanda Daya Beli Warga RI Masih Melempem

2 hours ago 2

Jakarta, CNBC Indonesia - Menurunnya daya beli masyarakat menjadi kegelisahan dunia usaha hingga kini. Menjelang akhir 2025, daya beli belum juga pulih. Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Olefin, Aromatik dan Plastik Indonesia (Inaplas) Fajar Budiono menyebut hal itu bukan hanya terjadi di pasar tradisional, namun juga di pasar modern yang kerap diasosiasikan dengan kalangan menengah ke atas.

"Daya beli sekarang itu lagi lemah-lemahnya. Kan kita dibagi dua, ada pasar modern sama tradisional. Pasar modern itu dari awal tahun sudah mulai turun-turun-turun terus. Yang menahan ini kan pasar tradisional, lebih banyak ke UMKM dan pasar becek. Nah, ini sudah mulai kena berimbas juga. Jadi omzet beberapa industri barang jadi plastik yang masuk ke dalam pasar ini sudah mulai agak turun-turun. Jadi, ini yang perlu kita pulihkan dulu," katanya kepada CNBC Indonesia, Senin (17/11/2025).

Karenanya perlu cara untuk memperbaiki daya beli masyarakat tersebut agar kembali pulih. Pasalnya industri pun kian lesu ketika permintaan turun terus-menerus.

"Yang menjadi PR utama, bagaimana kita mempertahankan daya belinya dulu. Nah, dengan adanya beberapa kebijakan-kebijakan Kementerian Keuangan untuk mengatur impor barang jadi, kemudian melindungi industri dalam negeri sehingga utilisasi-nya bisa naik. Mudah-mudahan ini nanti bisa menaikan daya belinya," sebut Fajar.

Ketua Umum HKI, Akhmad Ma'ruf Maulana juga mengakui tekanan konsumsi dan perlambatan permintaan cukup terasa di sektor industri. Selain itu kenaikan PPN menjadi 11% menjadi salah satu penyebab pelemahan ekonomi belakangan ini, selain itu ada Ia mengusulkan penurunan tarif PPN secara bertahap mulai tahun 2026 hingga 2028, yaitu 10% pada 2026, 9% pada 2027, dan 8% pada 2028.

"Kami melihat penjualan turun dan ekspansi tertunda di banyak sektor. Bukan karena satu faktor saja, tetapi PPN yang tinggi ikut memberi tekanan pada pasar. Penurunan tarif secara bertahap akan membantu memulihkan keyakinan konsumen dan menggerakkan kembali produksi," sebut Ma'ruf.

Dampak penurunan PPN tidak dapat dihitung secara statis hanya dari sisi penerimaan negara. Setiap penurunan 1% tarif PPN memang diproyeksikan mengurangi pendapatan sekitar Rp70 triliun, namun perhitungan tersebut tidak memasukkan efek peningkatan transaksi. Dengan target besar pemerintah untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8%. Rarget tersebut hanya bisa dicapai bila konsumsi rumah tangga kuat dan industri bergerak agresif.

"Ketika tarif turun, konsumsi naik, dan volume transaksi meningkat. Dalam banyak skenario, total penerimaan PPN justru bisa membaik karena basis pajaknya menjadi lebih besar. Tidak ada pertumbuhan 8% tanpa konsumsi yang pulih dan tidak ada industri yang tumbuh tanpa pasar yang hidup. Penurunan PPN adalah langkah nyata untuk mempercepat keduanya," kata Ma'ruf.


(dce)
[Gambas:Video CNBC]

Next Article Kantong Warga RI Sekarat, Ekonom Sarankan PPN Turun Jadi 8%

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |