Mau Semenderita Apa Warga Palestina

1 month ago 15

Oleh Dr Abrar M. Dawud Faza, S.Fil., M.A.

Siapa sebenarnya yang paling kehilangan kemanusiaan? Mereka yang dibom dan kelaparan, atau kita yang masih bisa makan, tidur, dan berbicara tapi memilih diam? Palestina hari ini adalah cermin paling jujur tentang kegagalan dunia dalam menjadi manusia

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Di penghujung tahun 2024 dan memasuki awal 2025 lalu, Jalur Gaza kembali menjadi panggung luka kemanusiaan yang memanggil nurani dunia. Lebih dari 2,5 juta jiwa terperangkap dalam wilayah yang kini menyerupai penjara terbuka, dihimpit kehancuran, kelaparan, dan kematian. Sejak serangan Israel pada Oktober 2023, lebih dari 59.600 orang warga Palestina telah tewas, mayoritas adalah perempuan dan anak-anak.

Kelaparan telah menjadi senjata baru dalam konflik ini. Blokade Israel yang diperketat sejak Oktober 2023 telah memutus akses bantuan pangan secara total. Menurut laporan Kantor Media Gaza pada Mei 2025, lebih dari 65.000 anak berada dalam kondisi kelaparan akut karena 39.000 truk bantuan kemanusiaan ditahan. Toko-toko roti telah tutup selama lebih dari 40 hari, dan dapur umum menjadi satu-satunya sumber makanan, tempat warga mengantre dengan panci kosong. Di Rafah, tenda-tenda pengungsian yang kumuh menjadi saksi hidup anak-anak yang menggigil menanti sepotong roti. Tak bisa dihitung lagi anak-anak kecil yang tubuhnya lemah akibat kelaparan, mereka tak lagi memiliki masa depan di tengah puing-puing Gaza yang luluh lantak.

Kondisi air bersih dan sanitasi juga memburuk drastis. Pasokan listrik diputus sepenuhnya sejak awal konflik, menjadikan Gaza gelap gulita. Pembangkit listrik utama kehabisan bahan bakar, dan generator cadangan tak berfungsi. Situasi ini memperparah krisis air bersih yang sudah kronis. Akibat buruknya sanitasi, wabah diare meluas, dan mempercepat kematian anak-anak akibat malnutrisi. Menurut WFP, pada Juli 2025, sekitar 90.000 perempuan dan anak-anak membutuhkan perawatan darurat karena kekurangan gizi. Harga bahan makanan pun melonjak drastis, sekantong tepung terigu kini mencapai lebih dari US$100, dan makanan bergizi seperti susu dan daging tak lagi tersedia.

Pendidikan juga hancur bersama reruntuhan bangunan. Sejak Oktober 2023, lebih dari 11.825 siswa meninggal dunia, dan 406 sekolah hancur total di Gaza. Sekitar 700.000 siswa kehilangan akses pendidikan, termasuk mahasiswa di universitas-universitas yang lumpuh total. Tak hanya di Gaza, Tepi Barat pun merasakan dampak serupa; 79 siswa dan 35 mahasiswa tewas, dan ratusan lainnya ditahan. Masa depan pendidikan generasi Palestina kini dirampas secara brutal.

Rumah sakit, yang seharusnya menjadi tempat perlindungan, justru menjadi ladang kematian. Pada Juli 2025, Direktur RS Shifa melaporkan 21 anak tewas akibat kelaparan hanya dalam 72 jam. Kamar jenazah tidak berfungsi karena kehabisan bahan bakar; jasad-jasad harus disimpan dalam truk es krim. Serangan terhadap fasilitas medis kian brutal, seperti pada RS Indonesia di Gaza yang diserang rudal dan menewaskan direktur rumah sakit. Pelanggaran terhadap Konvensi Jenewa semakin terang-terangan, seolah aturan kemanusiaan tak lagi relevan dalam konflik ini.

Sementara itu, di Tepi Barat dan Yerusalem Timur, ketegangan terus meningkat. Warga di wilayah ini mengalami penahanan massal, pembatasan gerak, dan pengusiran paksa. Pada 2024, 139 guru dan staf sekolah ditahan, serta 79 siswa terbunuh. Yerusalem yang seharusnya menjadi kota suci bagi tiga agama besar dunia berubah menjadi zona konflik. Di Gaza sendiri, pengungsian berulang menjadi rutinitas yang menyakitkan. UNRWA mencatat pada April 2025 bahwa sekitar 1,9 juta orang terpaksa mengungsi berulang kali karena serangan udara yang terus menerus.

Kondisi ekonomi Gaza benar-benar lumpuh. Blokade total menghentikan segala aktivitas ekonomi. Sektor perikanan dan pertanian, yang sebelumnya menjadi andalan rakyat Gaza, musnah akibat serangan dan pembatasan akses ke laut dan lahan subur. Bank-bank tutup, perputaran uang berhenti, dan masyarakat tak lagi memiliki sumber pendapatan. Menurut laporan Bank Dunia pada Juni 2025, tingkat pengangguran di Gaza mencapai 89%, dan lebih dari 96% penduduk hidup di bawah garis kemiskinan ekstrem, dengan penghasilan kurang dari US$1 per hari. Jutaan orang bertahan hidup dari bantuan kemanusiaan yang kian langka, bahkan distribusinya pun sering kali menjadi ajang pembantaian.

Tragedi bantuan pun terjadi. Sejak Mei 2025, sekitar 1.000 warga Palestina tewas saat berebut bantuan makanan di titik distribusi yang dijaga ketat militer Israel, dan 766 di antaranya justru ditembaki. Dunia internasional mulai angkat suara. Sekjen PBB, Antonio Guterres, pada Juli 2025 menyebut situasi di Gaza sebagai “krisis moral” yang paling mengerikan. Laporan UNRWA bahkan menyatakan bahwa kelaparan di Gaza adalah hasil “rekayasa politik dan militer,” bukan akibat bencana alam atau kelalaian logistik semata.

Kematian warga Palestina bukanlah sekadar angka. Mereka adalah manusia yang kehilangan rumah, masa depan, dan harapan. Penderitaan di Jalur Gaza bukan pula sekadar kisah pilu, ini adalah realitas harian yang nyaris tak bisa dipercaya oleh akal sehat. Bayangkan seorang ibu menyusui bayinya dengan air keruh karena tak ada pilihan lain, sementara tubuh anak itu mengering perlahan karena tubuh mungilnya tak lagi mengenal rasa kenyang.

Bayangkan anak-anak yang mengigau kelaparan dalam tidur, lalu terbangun bukan karena mimpi buruk, tapi karena suara ledakan yang meruntuhkan atap rumah mereka. Di tanah itu, manusia harus memilih antara kelaparan atau dibom, antara mati perlahan atau seketika. Mereka bertahan di antara tumpukan mayat, tanpa listrik, tanpa air, tanpa suara dunia yang sungguh mendengar.

Singkatnya, Gaza telah menjadi neraka dunia, karena kekejaman manusia dan kebungkaman global. Betapa tragisnya dunia ketika seorang ayah harus menggali makam anaknya dengan tangan sendiri, dan masih harus bertahan hidup esok harinya untuk mengulang luka yang sama. Di Palestina, kematian bukan akhir, tapi siklus penderitaan yang terus berputar. Dan yang paling memilukan: dunia tahu semua ini, melihatnya setiap hari, namun tetap menoleh ke arah lain.

Maka siapa sebenarnya yang paling kehilangan kemanusiaan? Mereka yang dibom dan kelaparan, atau kita yang masih bisa makan, tidur, dan berbicara tapi memilih diam? Palestina hari ini adalah cermin paling jujur tentang kegagalan dunia dalam menjadi manusia. Dan jika kita tak berdiri membela mereka, maka sejarah akan mencatat: kita ikut membiarkan kejahatan itu menang. Wallahu a’lam.

Penulis adalah Katib PW NU Sumatera Utara.

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |