
Ukuran Font
Kecil Besar
14px
Pers harus berdiri sebagai watchdog demokrasi, bukan ternak yang digembalakan penguasa.
Ada kawat tipis yang direntangkan Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution kepada dunia pers. Kawat itu diberi nama manis: silaturahmi, superteam, keterbukaan informasi. Tapi, di ujung kawat yang lain, wartawan yang kritis justru merasakan arus listrik yang menyengat. Bukannya ruang publik yang sehat, yang terbangun adalah pagar kawat “cinta” untuk sekelompok jurnalis jinak yang sudah lama kenyang dengan suapan. Selebihnya, hanya penonton—atau lebih tepatnya, korban dari politik komunikasi yang setengah hati.
Perjamuan dengan seratusan pemimpin redaksi kemarin hanyalah seremoni murah. Bahasa Medannya, “daripada tidak”. Tak ada gagasan baru, apalagi mekanisme konkret yang bisa menjamin keterbukaan. Yang muncul hanyalah panggung akrab, ngopi pagi, menyeruput teh tarik, makan siang, menyimak pidato—monolog, tidak ada dialog—penuh jargon: kolaborasi, superteam, keterbukaan OPD, dilanjut bagi-bagi baju kaos dan notes bergambar Bobby. Padahal, di balik panggung itu, para wartawan tahu, telepon mereka kerap diabaikan, pesan WhatsApp hanya centang biru tanpa balasan. Seperti pintu kantor yang dibiarkan terbuka, tapi palang besi sesungguhnya sudah dipasang rapat-rapat.
Di Medan, para jurnalis mengenal istilah sinis: Terbob—ternak Bobby. Segelintir wartawan yang “dipelihara” untuk menebar wangi citra, menyapu bersih kritik, dan mengatur ruang gerak media lain. Mereka merasa paling berkuasa, seolah menjadi duta resmi istana. Sejak masa Bobby menjabat Wali Kota, bibit kultur ini sudah disemai. Kini, setelah kursinya naik lebih tinggi, pola yang sama dilanggengkan: komunikasi publik yang tidak dibangun atas prinsip transparansi, melainkan transaksi.
Relasi kekuasaan dan pers bukanlah hubungan tuan dan ternak. Wartawan bukan pendengung suara pemerintah. Fungsi utama jurnalisme adalah mengawasi, mengkritisi, dan memaksa transparansi. Ketika seorang gubernur hanya menyenangkan segelintir jurnalis, yang lahir bukan demokrasi sehat, melainkan oligarki informasi. Publik kehilangan haknya untuk mengetahui kebenaran, sementara pemimpin sibuk bercermin di kaca yang sudah dilap dengan minyak harum pujian.
Metafora “superteam” yang diulang-ulang Bobby hanyalah gimmick murahan jika tidak disertai penghormatan tulus kepada kebebasan pers. Tanpa ruang kritis, apa bedanya superteam dengan pasukan cheerleader? Mereka hanya bersorak di pinggir lapangan, sementara laporannya penuh angka-angka manis tanpa mengupas borok kebijakan. Publik berhak bertanya: bagaimana mungkin membangun Sumatera Utara dengan kokoh, bila fondasi komunikasinya keropos oleh ABS—asal bapak senang?
Kekuasaan selalu punya kecenderungan memelihara wartawan jinak. Tapi sejarah pers Indonesia juga menunjukkan: setiap upaya mengurung kebebasan selalu berakhir dengan pembangkangan. Dari era Orde Baru hingga hari ini, pers tumbuh justru karena keberanian menolak dikendalikan. Sumatera Utara, dengan sejarah panjang media nasionalnya, pantas menolak pola komunikasi yang menjinakkan ini.
Gubernur Bobby Nasution perlu diingatkan: keterbukaan bukanlah panggung makan siang dengan ratusan pemred. Ia harus dimulai dari sikap paling sederhana—merespons pertanyaan, menjawab konfirmasi, menghadapi kritik dengan argumentasi, bukan dengan diam atau memelihara juru tepuk tangan. Transparansi bukanlah jargon, melainkan tindakan nyata.
Kawat “cinta” yang dipasang untuk menjerat loyalitas wartawan hanyalah ilusi. Cepat atau lambat, kawat itu akan berkarat, dan publik akan melihat wajah asli kepemimpinan: apakah benar terbuka, atau hanya pandai mengatur sorot lampu. Dan, pers harus berdiri sebagai watchdog demokrasi, bukan ternak yang digembalakan penguasa.
Gubernur boleh merawat citra, tapi jangan sekali-kali mengurung pers dalam pagar kawat. Karena tanpa pers yang bebas, rakyat hanya akan melihat panggung kosong penuh tepuk tangan, tapi kehilangan kebenaran dan makna kepemimpinan—yang sejatinya [pura-pura] tidak korupsi.
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.