Jangan “Bayar Ulang” Prahara 1998

2 weeks ago 12
Editorial

1 September 20251 September 2025

Jangan “Bayar Ulang” Prahara 1998

Ukuran Font

Kecil Besar

14px

Akar murka publik bukan satu-dua hari. Ia menumpuk dari parade flexing anggota dewan dan pejabat negara.

Jakarta mengajar kita metafora getir: demokrasi yang dijanjikan berisi kesejahteraan, nyatanya diisi poster-poster glamor tunjangan. Percikan berasal dari keputusan tunjangan perumahan Rp50 juta per bulan bagi anggota DPR—sekitar US$3.000—yang meledak jadi gelombang protes dan gas air mata. Tragedinya memuncak saat Affan Kurniawan, pengemudi ojek daring, tewas dilindas kendaraan taktis Brimob dalam unjuk rasa di ibu kota; amarah pun beranak-pinak ke berbagai kota.

Di Makassar, gedung dewan terbakar dan nyawa melayang. Pemerintah merespons dengan janji memangkas privilese dan pernyataan keras soal aksi yang “mendekati makar.” Rumah Menteri Keuangan Sri Mulyani dijarah; sejumlah politisi ikut menjadi sasaran. Ini bukan kericuhan biasa. Ini mosi tidak percaya yang diteriakkan dengan api amarah dan dendam rakyat jelata.

Rentetan peristiwa berlangsung cepat: demonstrasi menolak allowance DPR memicu bentrok di Senayan; aparat menembakkan gas air mata; sopir ojol Affan Kurniawan tewas; kerusuhan merembet ke banyak provinsi. Pemerintah kemudian mengumumkan pemangkasan/penangguhan sejumlah privilese parlemen dan moratorium perjalanan dinas luar negeri—sebuah koreksi yang terlambat tetapi penting. Di Jakarta, rumah pejabat diserbu; rumah Sri Mulyani dijarah; polisi menangkap pelaku penjarahan di kediaman anggota DPR Uya Kuya. Di saat yang sama, komentar pongah seorang elite—Ahmad Sahroni—yang menyebut seruan “bubarkan DPR” sebagai “orang tolol sedunia” memperlebar jurang psikologis antara rakyat dan wakilnya.

Akar murka publik bukan satu-dua hari. Ia menumpuk dari parade flexing anggota dewan dan pejabat negara, ketimpangan yang terasa kasar, dan logika kebijakan yang tak empatik. Tunjangan perumahan Rp50 juta itu—hampir 10 kali UMP Jakarta—adalah simbol yang mudah dibenci di tengah lesunya daya beli. Ketika elite memperlakukan jabatan sebagai panggung personal, publik menjadikannya papan target. Tragedi Affan menjadi trigger moral; negara menjanjikan investigasi, tetapi warga ingat: janji tanpa transparansi adalah angin. Makassar yang terbakar mengingatkan kita pada memori kelam 1998: ketika krisis ekonomi, arogansi elite, dan represi bersilangan; spiral kekerasan mengantarkan negara ke tepi jurang. Bedanya, kini panggungnya digital—amplifikasi lebih cepat, koreksi harus lebih sigap.

Kita semua menolak romantisasi amuk. Kekerasan terhadap gedung publik sama buruknya dengan kekerasan simbolik lewat pamer kuasa. Tetapi tanggung jawab pertama tetap di pihak yang memegang kewenangan. Karena itu, pemerintah dan DPR perlu langkah korektif yang nyata, terukur, dan segera.

  1. Bekukan seluruh kenaikan dan privilese non-esensial pejabat hingga indikator kesejahteraan dasar membaik; keputusan rollback jangan sekadar retorika, tetapi dituangkan dalam keputusan resmi yang bisa diaudit publik.
  2. Buka total rincian remunerasi, fasilitas, dan konflik kepentingan—dalam format mudah dibaca, bukan PDF kabur.
  3. Etika anti-flexing: larang pamer kemewahan oleh pejabat di ruang publik/digital; jabatan adalah pelayanan, bukan branding.
  4. Usut tuntas kematian Affan melalui proses independen, transparan, dengan akuntabilitas institusional—bukan kambing hitam operasional.
  5. Partisipasi anggaran: sediakan kanal yang memungkinkan warga menggeser pos belanja tak masuk akal ke layanan dasar; jadikan APBN/D daerah sebagai dokumen hidup yang bisa dilacak warga real-time.
  6. Ritual minta maaf tak cukup: partai-partai harus menegakkan disiplin etik pada kader yang menyepelekan publik; biasakan koreksi, bukan justifikasi.

Republik ini bukan catwalk dan APBN bukan lampu sorot. Demokrasi adalah dapur: ukuran suksesnya bukan kilap kabinet, melainkan apakah lauknya cukup. Tahun 1998 mengajarkan: ketika kompas moral ditarik magnet kemewahan, negara tersesat, dan yang terbakar bukan hanya gedung—melainkan kepercayaan. Pelajaran prahara itu terlalu mahal; jangan “dibayar ulang” pada 2025 ini!

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |