Ukuran Font
Kecil Besar
14px
Mantan penyidik KPK menilai lembaga itu sudah “tutup buku” soal Bobby sejak berkas awal dinyatakan lengkap.
Penangkapan Topan Obaja Putra Ginting—mantan Kadis PUPR Sumut, “bestie” nya Gubernur Bobby Nasution—sempat memantik optimisme. OTT KPK pada Juni 2025 membongkar suap proyek jalan Rp231,8 miliar di Paluta, termasuk janji commitment fee 10–20% (sekitar Rp46 miliar). Publik berharap kasus ini menjerat aktor utama di balik Topan. Namun perkembangan perkara justru meluruhkan harapan: langkah dan pernyataan KPK tampak plin-plan, memudar di tengah jalan.
Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN
Inkonsistensi paling mencolok adalah hilangnya isu “komisi 20%.” Hingga akhir persidangan tahap pertama, Bobby—yang diduga mengetahui aliran fee—tak pernah dihadirkan. Yang muncul hanya commitment fee 5% bagi pejabat teknis: Topan 4%, Rasuli 1%. Pertanyaan ke mana raibnya 15% sisanya tak pernah dijawab. Janji KPK menelusuri “dalang” yang memerintahkan Topan memungut suap pun senyap. Dua pekan pasca-OTT, wacana ini sempat marak, lalu padam tanpa penjelasan.
Wakil Ketua KPK Johanis Tanak pada 30 September menyatakan siap memanggil Bobby jika diperintahkan hakim. Faktanya, majelis hakim sudah memerintahkan JPU menghadirkan Bobby dan mantan Pj Sekda Effendy Pohan sejak 24 September. Namun perintah itu—hingga rumah Hakim Ketua Kamozaro Waruwu terbakar—seolah diabaikan. Sepanjang persidangan klaster pemberi suap, JPU tidak memanggil Bobby ataupun menelisik potensi fee 15% yang hilang dari BAP. Ketika desakan publik menguat, KPK berkelit dengan alasan administrasi dan waktu persidangan yang sempit. Dalih ini terdengar janggal, sebab justru sidang terbuka adalah momentum terbaik menggali peran tiap aktor.
Setelah dikritik keras oleh ICW, KPK baru menyatakan akan mempertimbangkan pemanggilan Bobby di tahap berikutnya. Sikap reaktif ini memperkuat dugaan publik bahwa KPK gentar menyentuh lingkaran keluarga presiden. Mantan penyidik KPK, Yudi Purnomo, bahkan menilai lembaga itu sudah “tutup buku” soal Bobby sejak berkas awal dinyatakan lengkap.
Mengapa KPK tampak loyo? Aroma intervensi politik terlalu kuat. Bobby bukan figur biasa: ia gubernur sekaligus menantu Presiden. KPK berdalih tak ada saksi yang menyebut namanya, namun sidang justru menunjukkan Topan hanyalah perantara. Dugaan perintah datang dari Gubernur Bobby sebagai atasan langsung Topan bersandar pada logika sederhana— proyek bernilai ratusan miliar tiba-tiba disulap masuk lewat enam kali Pergub perubahan anggaran.
Di balik keragu-raguan ini ada problem struktural. Revisi UU KPK 2019 menjadikan pegawai KPK ASN, menempatkan mereka dalam garis komando eksekutif. Independensi dan keberanian ikut tergerus. KPK tampak tegas pada pelaku menengah namun gamang saat harus menyentuh pejabat puncak. Polanya jelas: suap Rp4 miliar untuk dua proyek besar mustahil terjadi tanpa restu elite tertinggi, tetapi KPK tak menggali ke sana.
Mangkirnya saksi yang dekat dengan Bobby—Rektor USU Muryanto Amin dan sepupunya, Dedy Iskandar Rangkuti—semakin memperkeruh situasi. Mereka dua kali mangkir tanpa konsekuensi tegas. Padahal kesaksian mereka krusial untuk memahami alur perencanaan proyek. Hakim Ketua bahkan memerintahkan JPU membuka sprindik baru untuk menelusuri peran Effendy Pohan dan Dicky Panjaitan dalam pergeseran anggaran “ajaib” itu. Tetapi arahan hakim seperti masuk telinga kiri keluar telinga kanan: hingga kini, tak terdengar langkah konkret KPK.
Di sisi lain, masyarakat sipil dan ICW terus memberi tekanan. Aksi teatrikal “KPK Takut Sama Siapa?” menggambarkan kekecewaan publik. Respons KPK sebatas retorika: mengamati fakta sidang dan mempertimbangkan pemanggilan Bobby. Belum ada tindakan yang menandakan keberanian substantif.
Pada titik ini, KPK menghadapi ujian integritas yang menentukan. Publik tak butuh janji baru; mereka menagih nyali yang sejak awal menjadi fondasi lembaga ini. Jika KPK yakin Bobby tidak terlibat, panggil dan hadirkan ia di sidang agar terang. Jika sebaliknya, KPK wajib menyelidiki secara tuntas tanpa gentar. Mandat KPK adalah memeriksa siapapun, bukan “mengamankan” keluarga bekas presiden.
Kasus Topan Ginting telah menjadi barometer penting kredibilitas KPK. Bila hanya “ekor” yang digigit sementara “kepala” dibiarkan, maka pesan impunitas akan mengakar. Jika KPK mundur, ia menggali kuburnya sendiri: publik akan semakin apatis, konferensi pers dianggap basa-basi, dan semboyan “Berani Jujur, Hebat” tinggal slogan kosong.
KPK harus menunaikan janji sesuai sumpahnya, panggil semua saksi kunci, ungkap kemana perginya fee 15% yang hilang, dan jalankan perintah hakim membuka sprindik baru. Publik siap mendukung. Tetapi bila KPK terus berkelit, jangan salahkan bila lembaga ini hanya dikenang sebagai macan kertas yang jinak di hadapan para big fish. Kini saatnya membuktikan bahwa hukum tidak tunduk pada keluarga kekuasaan. Negeri ini bukan kepunyaan Bobby Nasution dan Jokowi—KPK harus berani, jangan jadi “banci”!
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.






















































