Pagi di Kecamatan Mane tidak pernah datang terburu-buru. Ia tiba perlahan, seakan menghormati keheningan bukit-bukit yang berdiri seperti dinding hijau yang menjaga kecamatan kecil ini sejak ratusan tahun lalu.
Kabut tipis sering menggantung di pucuk pepohonan, sementara suara sungai dari lembah membawa kesejukan yang menembus hingga jauh ke pemukiman.
Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN
Di sebuah sudut kantor kecamatan yang tidak besar dan tidak pula megah, Camat Mane Mukhtar Abdul Gani, Spd.I., M.Pd. duduk di balik meja kayu yang sederhana. Di hadapannya, lembaran-lembaran renjana, draft perencanaan, dan peta kecil kawasan Mane tersusun.
Namun lebih dari kertas, Mukhtar menatap ke luar jendela, ke arah bukit yang selalu mengajarinya untuk bermimpi lebih tinggi. “Potensi alam Mane ini luar biasa,” katanya, nada suaranya perlahan namun penuh tekad.
“Terlalu sayang kalau tidak kita kembangkan. Ini bisa menjadi ikon wisata, dan bisa memberi pendapatan ekonomi bagi warga.” tuturnya lembut. Sejak awal menjabat, Mukhtar melihat satu hal, Mane adalah keindahan yang terlalu lama dibiarkan diam.
Camat Kecamatan Mane, Kabupaten Pidie, Mukhtar, berpose di antara hamparan tanaman kopi di kawasan perbukitan Mane yang menjadi salah satu potensi agrowisata daerah tersebut. Waspada.id/IstAir, Batu, Dan Bunyi-bunyi Yang Menyimpan Janji
Jika seseorang datang ke Mane tanpa tergesa-gesa, ia akan menyadari bahwa kecamatan ini membangun pesonanya melalui hal-hal kecil yang tampak sepele: percikan air yang memantul dari bebatuan, suara daun bambu yang saling bersentuhan, atau jalan-jalan kecil yang menembus hutan dan ladang.
Di beberapa titik, sungai mengalir lebih deras—menciptakan jalur arung jeram yang selama ini diketahui hanya oleh anak-anak muda setempat. Airnya jernih, dingin, dan berkelok dengan ritme yang seolah tahu ke mana harus pergi. “Kita sebenarnya menjual alam,” ujar Mukhtar.
“Apa yang sudah ada, kita rawat. Kita tampilkan, kita pasarkan. Tapi tetap sesuai aturan di Aceh. Syariat tetap menjadi pagar.” tambahnya. Mane tidak perlu dibangun ulang. Ia hanya perlu diberi kesempatan untuk bercerita.
Mengundang Ahli Dari Negeri Jauh
Untuk mewujudkan mimpi itu, Mukhtar tidak berjalan sendirian. Ia menghubungi satu nama yang selama ini dianggap sebagai salah satu arsitek wisata alam terbaik di Indonesia: Prof. Nico Nicolas Leumunau, alumni Jerman, pakar tourism design yang karyanya banyak tersebar di berbagai provinsi dan negara.
“Saya sudah komunikasikan dengan beliau. Alhamdulillah, beliau bersedia membantu.” Mata Mukhtar mengerut sedikit, antara lega dan terharu.
Bagi Mukhtar, ini bukan sekadar mengundang orang hebat. Ini adalah upaya memastikan bahwa Mane tidak asal-asalan menata diri. Bahwa setiap jembatan kecil, jalur trekking, pondok wisata, hingga spot foto harus melalui kajian matang agar wisata tidak hanya indah dan ramai, tetapi juga berkelanjutan dan ramah warga. Prof. Nico, katanya, tidak hanya merancang wisata; ia merancang masa depan.
Ruang Diskusi, Ruang Harapan
Mukhtar sangat memahami bahwa membangun wisata bukan sebatas keputusan seorang camat. Ini adalah perjalanan bersama masyarakat.
Karena itu, ia merancang sebuah rencana awal: Forum Group Discussion (FGD). Sebuah forum yang akan mengumpulkan para tokoh masyarakat, pemuda, perangkat gampong, tokoh agama, pelaku ekonomi kreatif, hingga para penggiat alam.
“Kalau mereka setuju, kita buat FGD besar-besaran. Kita dengarkan suara semua pihak. Ini bukan rancangan saya pribadi. Ini rancangan kita bersama.” katanya.
FGD itu kelak akan menjadi ruang di mana cerita-cerita Mane dikumpulkan: tentang sungai yang dulu dipakai anak-anak mandi, tentang bukit yang jadi tempat berburu, tentang ladang yang harus tetap dijaga, dan tentang bagaimana wisata bisa tumbuh tanpa menyingkirkan identitas Mane sebagai daerah yang memegang teguh syariat.
Syariat Sebagai Fondasi
Di Aceh, membangun wisata tidak bisa dipisahkan dari aturan syariat. Tapi bagi Mukhtar, syariat bukan penghalang justru menjadi pagar yang memastikan wisata Mane tidak kehilangan arah.
Ia membayangkan tempat-tempat rekreasi keluarga, ruang edukasi alam, jalur arung jeram yang aman, pondok-pondok sederhana bergaya etnis, serta kawasan yang tetap menjaga adab dan nilai-nilai keislaman.
Di kepalanya, wisata bukan tentang hura-hura, tetapi tentang ketenangan. Tentang keluarga yang datang menikmati udara segar. Tentang pelajar yang mempelajari ekosistem sungai. Tentang anak muda yang mengembangkan usaha kuliner lokal. Tentang tamu luar yang datang membawa cerita pulang.
Seiring gagasan itu menyebar dari mulut ke mulut, warga Mane mulai berbicara Tentang peluang membuka warung kecil. Tentang membuat homestay berbasis keluarga.Tentang pelatihan pemandu wisata.
Tentang kerajinan tangan yang bisa dijual.Tentang anak-anak muda yang selama ini mencari kerja ke luar kota bisa kembali ke kampung halaman. Mane bukan sedang membangun wisata. Mane sedang membangun ekosistem sosial baru.
Di senja hari, ketika cahaya oranye menetes di atas bukit, Mukhtar sering berdiri di teras kecil kantornya. Di hadapannya, Kecamatan Mane terbentang seperti halaman kitab tua—penuh hikmah, penuh makna, penuh ruang untuk ditulis ulang.
Ia tahu, perjalanan ini tidak pendek. Tidak mudah.Tidak cepat. Tetapi ia juga tahu bahwa setiap mimpi besar selalu dimulai dari langkah kecil dan keberanian untuk menyampaikan gagasan.
“Kita ingin wisata yang bukan hanya memanjakan mata,” katanya pelan, “tetapi juga menghidupkan ekonomi, menjaga budaya, dan menegakkan syariat. Wisata yang membuat warga bangga menjadi bagian dari Mane.”
Dan di antara perbukitan yang berdiri kokoh itu, mimpi tersebut kini mulai tumbuh—pelan, namun pasti. Seperti aliran sungai Mane yang tidak pernah berhenti mencari jalan, harapan masyarakat pun terus melangkah, menata masa depan dengan keyakinan yang semakin bulat. MUHAMMAD RIZA.Waspada.id
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.




















































