Eksperimen Parkir Berlangganan Di Medan Gagal, Kebijakan Publik Dipertanyakan

2 weeks ago 12
Medan

1 September 20251 September 2025

Eksperimen Parkir Berlangganan Di Medan Gagal, Kebijakan Publik Dipertanyakan Founder Ethics of Care sekaligus Anggota Komisi Yudisial 2015-2020, Farid Wajdi

Ukuran Font

Kecil Besar

14px

Untuk siapa sebenarnya kebijakan parkir ini dibuat—untuk kepentingan masyarakat luas atau sekadar melanggengkan kepentingan segelintir pihak?

MEDAN (Waspada.id): Sistem parkir berlangganan di Kota Medan dicabut setelah berjalan setahun, memicu pertanyaan tentang perencanaan kebijakan publik dan kepentingan yang bermain di balik layar. Pergantian sistem parkir dari berlangganan berbasis stiker ke sistem konvensional terjadi di tengah dinamika politik nasional.

Founder Ethics of Care sekaligus Anggota Komisi Yudisial 2015-2020, Farid Wajdi, menilai kebijakan ini sebagai cermin buruknya pengelolaan kebijakan publik. “Ini bukan sekadar soal teknis di lapangan. Ia adalah cermin buruk tentang bagaimana kebijakan publik sering kali lahir tergesa, dieksekusi setengah hati, lalu ditinggalkan begitu saja tanpa evaluasi menyeluruh,” ujarnya kepada Waspada.id, Senin (1/9).

Sistem parkir berlangganan yang diluncurkan pada Juli 2024 lalu, menawarkan solusi modern dengan tarif Rp90 ribu untuk motor, Rp130 ribu untuk mobil, dan Rp170 ribu untuk truk atau bus. Namun, implementasinya di lapangan justru menimbulkan masalah baru. Juru parkir tetap menagih bayaran, pengendara kebingungan menunjukkan stiker, dan konflik sosial tak terhindarkan.

DPRD Medan mendukung pencabutan sistem ini dengan alasan lebih praktis dan dapat mendongkrak PAD. Namun, publik mempertanyakan evaluasi mendalam terhadap kegagalan sistem sebelumnya. Apakah pencabutan ini karena konflik di lapangan atau ada kepentingan tertentu yang lebih nyaman dengan sistem konvensional?

Sistem parkir konvensional dinilai menguntungkan jukir dan birokrasi pengelola dalam jangka pendek. Jukir tetap bekerja dengan pola familiar, Dishub tidak direpotkan dengan administrasi stiker, dan PAD tetap mengalir meski dengan potensi kebocoran yang sulit diukur.

Data menunjukkan APBD Medan mengalokasikan Rp26 miliar pada 2024 dan Rp79 miliar pada 2025 untuk gaji jukir dan pencetakan stiker. Angka fantastis ini menimbulkan pertanyaan tentang efektivitas anggaran tersebut terhadap pemasukan daerah.

Farid Wajdi menambahkan, “Untuk siapa sebenarnya kebijakan parkir ini dibuat—untuk kepentingan masyarakat luas atau sekadar melanggengkan kepentingan segelintir pihak?”

Kegagalan ini harus menjadi pelajaran penting bagi Pemko Medan. Perencanaan matang, komunikasi publik yang jelas, dan kemauan politik untuk mengawal kebijakan hingga tuntas adalah kunci utama.

Untuk menjadikan sektor parkir sebagai sumber PAD dan layanan publik yang bermartabat, Farid Wajdi menekankan perlunya evaluasi menyeluruh berbasis data dan melibatkan publik dalam perumusan kebijakan. “Tanpa langkah itu, parkir Medan akan terus menjadi cerita tentang kebijakan yang datang dan pergi—tanpa pernah benar-benar memberi jawaban,” pungkasnya.(id31)

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |