Dunia Waspada, Muncul Tiga "Bubble" Pembawa Petaka Global

2 hours ago 1

Jakarta, CNBC Indonesia - Dunia diminta waspada terhadap potensi terjadinya tiga gelembung (bubble) dalam ekonomi global.

Hal ini diutarakan oleh Presiden World Economic Forum (WEF) Borge Brende memperingatkan bahwa euforia pasar terhadap teknologi dan kebijakan fiskal pasca pandemi Covid-19 berpotensi menciptakan risiko baru terhadap dunia keuangan yang bisa mengguncang stabilitas di seluruh dunia.

Pernyataan itu disampaikan Brende dalam kunjungannya ke Sao Paolo, Brasil, di tengah koreksi tajam harga saham-saham teknologi global khusus nya di pasar saham Amerika Serikat (AS) yang sebelumnya mencatat rekor tertinggi akibat ekspektasi berlebih terhadap potensi kecerdasan buatan (AI).

"Kita bisa saja melihat terbentuknya bubble dalam waktu dekat. Pertama adalah kripto, kedua AI, dan ketiga utang," ujar Brende pada Rabu (5/11/2025) dikutip dari Reuters.

Bubble AI

Sektor teknologi di sepanjang 2025 telah menjadi pusat perhatian para pelaku pasar dan investor dari seluruh penjuru dunia.

Harapan bahwa teknologi kecerdasan buatan yang akan mengubah struktur ekonomi dunia telah mendorong valuasi saham perusahaan teknologi ke level yang dinilai terlalu tinggi oleh sejumlah analis.

Menurut Brende, optimisme yang berlebihan terhadap AI dapat menciptakan bubble baru jika tidak diimbangi dengan realisasi keuntungan nyata. Ia juga menyoroti dampak sosial dan tenaga kerja akibat gelombang otomasi yang terus meluas.

"Dalam skenario terburuk, bisa muncul 'Rust Belt' baru di kota-kota besar yang dipenuhi pekerja kantoran yang digantikan oleh AI," ujarnya, menyinggung gelombang pemangkasan tenaga kerja di perusahaan global seperti Amazon dan Nestlé.

Brende mengingatkan bahwa meski perubahan teknologi selalu membawa peningkatan produktivitas, transisi menuju ekonomi berbasis AI harus dikelola dengan hati-hati agar tidak menimbulkan ketimpangan sosial yang lebih dalam.

Sebagai tambahan informasi, data Companies Market Cap menunjukkan total kapitalisasi pasar 10 perusahaan AI terbesar di dunia mencapai US$20,5 triliun, dengan NVIDIA, Apple, dan Microsoft menduduki posisi tiga besar.

Berikut ini daftar perusahaan AI terbesar berdasarkan kapitalisasi pasar.

Kenaikan harga saham-saham AI di AS membuat kekhawatiran akan terjadinya bubble mulai muncul. Ketua The Federal Reserve, Jerome Powell, bahkan secara terbuka mengakui bahwa perekonomian Amerika Serikat saat ini sedang menyaksikan aktivitas ekonomi yang "luar biasa besar" dari gelombang pembangunan AI.

Goldman Sachs mencatat, belanja terkait AI menyumbang hampir seluruh kenaikan investasi korporasi sebesar 7% (yoy) pada musim semi lalu. Namun, di sisi lain, pasar tenaga kerja AS justru melemah: penambahan pekerjaan hanya 22 ribu pada Agustus, sementara tingkat pengangguran naik ke 4,3%.

Powell menyebut kondisi ini sebagai fase "PHK rendah, tapi perekrutan juga lesu" - yang bila dikombinasikan dengan ledakan belanja AI, dapat memperlebar ketimpangan sosial dan menyulitkan mandat The Fed dalam menjaga inflasi dan lapangan kerja.

Nada waspada juga datang dari para pelaku industri. CEO OpenAI, Sam Altman, menyebut bahwa saat ini memang ada potensi bubble di sektor AI.

"Ketika bubble terjadi, orang-orang biasanya terlalu bersemangat pada sedikit kebenaran. Apakah investor terlalu bersemangat pada AI? Ya. Apakah AI adalah hal terpenting dalam waktu yang sangat lama? Juga ya," ujarnya dikutip dari CNBC International.

Altman bahkan membandingkan kondisi saat ini dengan dot-com bubble di awal 2000-an, ketika indeks Nasdaq kehilangan hampir 80% nilainya karena banyak perusahaan internet gagal menghasilkan pendapatan maupun laba.

Bubble Kripto

Brende juga menempatkan pasar kripto sebagai salah satu kandidat utama gelembung berikutnya.

Setelah sempat anjlok dalam periode 2022-2023, nilai aset digital kembali melonjak sepanjang 2024-2025, dipicu oleh spekulasi investor dan dorongan institusi besar yang masuk ke aset digital.

Namun, kenaikan tersebut belum sepenuhnya ditopang oleh peningkatan utilitas nyata di dunia keuangan. Sebagian besar transaksi kripto masih bersifat spekulatif, sementara regulasi global belum sepenuhnya mampu mengimbangi kecepatan inovasinya.

Para analis menilai, kripto masih sangat rentan terhadap perubahan sentimen investor dan guncangan kebijakan moneter global. Lonjakan harga yang tidak didasari fundamental kuat membuat sektor ini rawan terhadap koreksi tajam mirip dengan pola yang terjadi pada gelembung aset teknologi dua dekade lalu.

Berdasarkan Data CoinMarketCap menunjukkan bahwa Bitcoin masih menjadi pemimpin pasar dengan kapitalisasi mencapai lebih dari US$2 triliun, disusul Ethereum dan Tether di posisi kedua dan ketiga.

Berikut daftar 10 besar aset kripto terbesar dunia:

Bubble Utang

Selain sektor teknologi dan kripto, Brende juga menyoroti lonjakan utang publik dunia yang kini berada di level tertinggi sejak akhir Perang Dunia II. Ia memperingatkan bahwa beban fiskal yang terus meningkat, ditambah suku bunga tinggi dan inflasi yang masih membandel, dapat memicu krisis utang di banyak negara.

"Pemerintah belum pernah menanggung beban utang sebesar ini sejak 1945," ujar Brende.

Berdasarkan laporan terbaru Institute of International Finance (IIF), total utang global pada akhir kuartal II-2025 telah mencapai US$337,7 triliun atau sekitar Rp 5.639 kuadriliun (kurs Rp 16.700/US$). Angka ini melonjak lebih dari US$21 triliun hanya dalam enam bulan, didorong oleh pelonggaran kondisi keuangan global, pelemahan dolar AS, serta kebijakan akomodatif bank sentral di sejumlah negara besar.

Kenaikan utang terbesar terjadi di China, Prancis, Amerika Serikat, Jerman, Inggris, dan Jepang. Bahkan, pasar negara berkembang kini mencatat rekor tertinggi dengan total utang melampaui US$109 triliun, terutama karena lonjakan tajam di China, Arab Saudi, Kanada, dan Polandia.

Secara keseluruhan, rasio utang terhadap output global berada di kisaran 324 %, sedangkan di pasar negara berkembang mencapai 242,4 %, tertinggi sejak revisi laporan terakhir IIF pada Mei 2025.

IIF juga memperingatkan tekanan fiskal yang semakin berat di negara-negara G7. Imbal hasil obligasi tenor 10 tahun kini mendekati level tertinggi sejak 2011, sementara di AS sekitar 20 % utang pemerintah berbentuk pinjaman jangka pendek, sebuah kondisi yang dapat menimbulkan risiko tambahan jika investor mulai meragukan keberlanjutan fiskal Negeri Paman Sam.

Kombinasi pertumbuhan yang melambat, biaya pinjaman yang meningkat, dan rasio utang yang membengkak memperkuat kekhawatiran akan terbentuknya debt bubble global.

CNBC INDONESIA RESEARCH 

[email protected]

(evw/luc)

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |