Oleh Dr. Andree Armilis, MA
Jakarta membara. Bandung berkobar, Jogja menyala, Makassar terbakar, lalu menyusul banyak daerah lainnya. Amarah menggelegak di jalanan, memantulkan jerit frustrasi dan kekecewaan. Tapi rentetan kekacauan ini terasa terlalu rapi untuk disebut spontan dan murni.
Sejauh ini, trigger terbesar terjadi saat seorang Affan Kurniawan, pemuda usia 21 tahun, pengemudi ojek online, meninggal tragis setelah dilindas kendaraan taktis polisi. Peristiwa itu menyentak banyak orang. Di negara mana pun, kematian anak muda biasa oleh alat kekuasaan selalu menjadi luka moral yang dalam. Dan seperti luka yang terbuka, kemarahan pun mengalir keluar dengan cepat, deras, liar. Namun, dari situlah keganjilan mulai muncul.
Biasanya, sebuah protes besar punya wajah. Ada tokoh yang bicara. Ada tuntutan yang bisa dirinci. Ada spanduk yang dibentangkan. Tapi kali ini, jalanan penuh tanpa pengenal. Tidak ada pemimpin. Tidak ada nama gerakan. Tidak ada pernyataan sikap resmi. Tidak ada siapa-siapa yang mengaku bertanggung jawab. Yang ada hanya gelombang emosi yang terus menyala, berpindah dari satu alasan ke alasan lain. Dari kematian Affan, isu berpindah ke kemuakan pada arogansi “wakil rakyat” Sahroni, joget Eko, dan mungkin ke siapa saja yang bisa dijadikan pemantik baru.
Lantas yang lebih mencurigakan bukan absennya pemimpin, melainkan kehadiran logistik yang tak putus. Massa ini, yang katanya spontan dan organik, ternyata datang dengan bensin, kembang api mahal, molotov, bahkan mesin las. Gerbang-gerbang kantor pemerintahan yang kuat dipotong dengan presisi. Rumah-rumah pejabat publik diserbu dengan cepat, seolah ada daftar target dan waktu tempuh. Ini bukan karakter massa yang bergerak karena dorongan hati semata. Ini malah mirip seperti orkestra besar yang berisik, tapi terstruktur.
Dalam sosiologi politik, ada satu istilah yang patut diajukan: “proxy mobilization.” Istilah ini menandai praktik ketika sekelompok elite yang sedang bertarung memanfaatkan massa sebagai alat tekanan. Mereka tidak muncul ke publik, tidak langsung mengangkat bendera. Mereka cukup menyulut satu pemantik kecil, dan membiarkan rakyat marah, sementara mereka sendiri menonton dari jauh, menunggu hasil dari kerusuhan yang mereka sponsori secara diam-diam.
Tanda-tandanya ada. Massa besar yang bukan berasal dari jaringan resmi seperti mahasiswa, buruh, atau kelompok keagamaan. Kita tahu simpul-simpul massa besar dengan pengikut jutaan semuanya menahan diri, tidak ambil bagian dari rentetan demonstrasi dan kerusuhan ini. Logistik yang ada juga terlalu canggih dan kontiniu untuk sebuah aksi liar. Mobilisasi sangat cepat ke lokasi-lokasi strategis. Dan yang paling penting: tidak ada upaya meredakan. Bahkan ketika keluarga Affan sudah memberikan pernyataan percaya pada jalur hukum, narasi baru tetap dimunculkan. Seolah kemarahan ini tidak boleh padam. Karena ketika amarah padam, maka agenda di baliknya kehilangan panggung.
Analisis lain yang bisa dikemukakan adalah terkait “framing theory”, yang menjelaskan bagaimana sebuah isu bisa dikemas dalam berbagai bentuk untuk menjaga resonansi emosi. Gugurnya Affan hanya satu frame. Ketika frame itu tak lagi kuat, maka frame baru dicari. Tujuannya bukan kebenaran, tetapi kesinambungan emosi publik. Dalam konteks ini, massa bukan lagi subjek perjuangan. Mereka adalah audiens, bahkan kadang hanya pion.
Tentu, tidak semua yang turun ke jalan adalah alat. Amat banyak dari mereka benar-benar marah. Sejatinya memang banyak rakyat yang kecewa dan tidak tahu harus berharap pada siapa. Mereka menyaksikan kehidupan makin sulit, institusi makin jauh, keadilan terasa asing. Rasa tidak percaya itulah yang menjadi bahan bakar paling efektif dalam mobilisasi semacam ini.
Tetapi harus kita akui dengan jujur: tidak semua amarah layak diperturutkan, dan pengrusakan tidak dama dengan perjuangan. Membakar kantor pemerintah bukan berarti sedang berjuang untuk keadilan. Merusak fasilitas umum —bahkan objek historis semacam gedung Grahadi Surabaya— bukan jalan untuk memperbaiki nasib rakyat. Saat kemarahan menjadi buta, maka ia bukan lagi kekuatan pembebasan, tapi hanya gelombang destruktif yang merugikan semua, termasuk rakyat itu sendiri.
Negara harus hadir, tapi bukan dengan gas air mata, peluru karet dan pentungan. Negara harus hadir dengan kepekaan. Dengan kecerdasan membaca situasi. Bahwa ini bukan soal keamanan saja. Ini soal politik. Soal perebutan narasi. Soal hilangnya kepercayaan. Dan yang paling rumit: soal bagaimana rakyat dimanfaatkan oleh kekuatan yang tidak terlihat.
Segera tangani hal yang sudah terlalu lama dibiarkan. Fokus dan prioritas pada tuntutan yang memang telah menjadi kegusaran kolektif dan menjadi akar ketidakpercayaan.
Di sisi lain, rakyat juga harus cerdas. Kita tidak bisa selamanya menjadi objek. Kita harus belajar membaca. Bahwa di balik kemarahan, ada yang mungkin sedang menjadikannya komoditas politik. Di balik kerusuhan, bisa saja ada proyek perebutan kekuasaan yang menjadikan penderitaan kita sebagai alat tawar-menawar.Jika benar ada kekuatan besar yang sedang bertarung menggunakan rakyat sebagai tameng, maka yang paling dirugikan adalah kita semua. Bukan hanya karena kerusakan material, mekainkan karena luka sosial yang akan sulit disembuhkan. Trauma, ketakpercayaan, dan keterbelahan akan menjadi warisan paling pahit dari permainan ini.
Oleh karena itu, mari kita jaga diri. Jangan membakar masa depan hanya karena dipancing oleh narasi yang kita sendiri tidak tahu ujungnya. Kita boleh marah. Kita memang sedang kecewa. Tapi kita juga harus tetap waras. Karena bangsa ini tidak bisa dibangun dengan kebencian terus-menerus. Kita butuh marah yang cerdas, bukan dendam yang dijadikan komoditas dan dimanfaatkan.
Kita butuh Indonesia yang damai. Bukan damai yang dipaksakan dengan represi dan pembungkaman, tapi damai yang lahir dari keadilan. Dari pemulihan kepercayaan. Dari negara yang hadir bukan sebagai musuh, tapi sebagai pelindung. Dan dari rakyat yang tidak hanya bergerak karena emosi, tapi karena kesadaran.
Mari pulihkan luka kita, sebelum amarah yang tidak kita miliki sepenuhnya ini, menghancurkan apa yang masih kita cintai bersama.
Penulis adalah Sosiolog & Analis Strategik
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.