APBN 2026: Antara Futuristik, Deterministik, Dan Responsif

3 weeks ago 14

Oleh: Dr. H. Ikhsan Lubis, S.H., SpN, M.Kn

Dalam konteks 2026, APBN tidak boleh hanya menjawab kebutuhan tahunan. Ia dituntut untuk futuristik—melihat jauh ke depan, deterministik—berlandaskan kepastian hukum dan perhitungan terukur, serta responsif—mampu menyesuaikan diri terhadap gejolak global yang makin kompleks.

Pendahuluan

APBN sebagai Peta Jalan Bangsa

Setiap tahun, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dibahas dengan intensitas yang seolah berulang: hitungan defisit, alokasi subsidi, target penerimaan, hingga prioritas belanja modal. Namun, kita kerap lupa bahwa APBN sejatinya bukan sekadar dokumen fiskal. Ia adalah peta jalan yang menentukan arah perjalanan bangsa.

Dalam konteks 2026, APBN tidak boleh hanya menjawab kebutuhan tahunan. Ia dituntut untuk futuristik—melihat jauh ke depan, deterministik—berlandaskan kepastian hukum dan perhitungan terukur, serta responsif—mampu menyesuaikan diri terhadap gejolak global yang makin kompleks.

Salah satu manifestasi nyata dari ketiga sifat itu adalah gagasan pendirian dan pengembangan 80.000 Koperasi Merah Putih Desa/Kelurahan di seluruh Indonesia. Sebuah inisiatif yang tampak sederhana, namun menyimpan potensi besar untuk mengubah wajah ekonomi rakyat, sekaligus meneguhkan kembali semangat gotong royong sebagai identitas bangsa.

I. Futuristik: Menyiapkan Ekonomi Rakyat untuk Masa Depan

Futuristik berarti berani melampaui kebutuhan sesaat. Jika pada masa lalu koperasi sering dipandang sebagai “sisa-sisa romantisme ekonomi rakyat”, kini justru koperasi yang harus menjadi motor transisi ekonomi masa depan.

Bayangkan, di tengah gelombang digitalisasi, desa-desa di Indonesia bisa menjadi pusat distribusi pangan dan energi terbarukan melalui koperasi modern yang terhubung ke platform nasional.

Koperasi Merah Putih dapat bergerak di berbagai sektor:

Pertanian dan pangan: koperasi desa menjadi agregator hasil panen, memastikan harga jual yang adil bagi petani.

Energi: koperasi mengelola panel surya, mikrohidro, atau biogas lokal untuk menyediakan listrik murah.

Digital ekonomi: koperasi menjadi gerbang UMKM desa ke marketplace global.

Pembiayaan mikro: koperasi simpan pinjam menyediakan akses kredit murah tanpa jerat rentenir.

Dengan itu, APBN 2026 tidak hanya mencatat angka belanja, melainkan menulis sejarah baru: ekonomi rakyat yang berakar di desa, namun berorientasi pada masa depan.

II. Deterministik: Kepastian Regulasi dan Akuntabilitas

Namun, mimpi besar akan runtuh bila tidak dibangun di atas kepastian. Deterministik berarti APBN 2026 harus menyiapkan regulasi yang jelas, sistem akuntabilitas yang kuat, serta standar operasional yang terukur.

Ada tiga lapis determinasi yang harus dijaga:

1. Regulasi Perkoperasian Modern


Undang-Undang Perkoperasian perlu diperbarui agar selaras dengan era digital dan ekonomi hijau. Koperasi tidak boleh dipandang sebagai “organisasi sosial tradisional”, melainkan sebagai entitas bisnis modern yang berorientasi profit, namun tetap menempatkan anggota sebagai pemilik utama.

2. Institusionalisasi di Tingkat Desa


APBN harus menyiapkan dana khusus untuk membiayai pelatihan manajemen koperasi, pendampingan hukum, dan sistem akuntansi digital. Audit tahunan koperasi harus dilaksanakan oleh lembaga independen agar akuntabilitas terjaga.

3. Akuntabilitas Anggaran


Setiap rupiah APBN untuk koperasi harus disertai indikator kinerja jelas: jumlah anggota, volume transaksi, perputaran modal, hingga kontribusi terhadap PDB daerah. Tanpa itu, koperasi hanya menjadi proyek politik tanpa nyawa.

III. Responsif: Menjawab Krisis dengan Ekonomi Gotong Royong

Responsif bukan berarti reaktif tanpa arah, tetapi tanggap terhadap perubahan tanpa kehilangan visi jangka panjang.

Koperasi Merah Putih dapat dirancang menjadi buffer system dalam menghadapi krisis. Contoh konkret:

Saat harga beras melonjak karena gejolak global, koperasi desa dapat mengatur distribusi dengan harga stabil.

Saat bencana alam melanda, koperasi berfungsi sebagai pusat logistik yang cepat tanggap.

Saat inflasi menggerus daya beli, koperasi simpan pinjam menyediakan akses modal murah untuk usaha mikro.

Dengan kata lain, koperasi adalah benteng responsif yang menyerap guncangan sebelum rakyat jatuh terlalu dalam.

IV. Tantangan Implementasi

Meski gagasan ini tampak indah, tantangan di lapangan tidak kecil. Ada setidaknya lima tantangan utama:

1. Mentalitas birokrasi: koperasi sering diperlakukan sekadar sebagai proyek. Banyak berdiri di atas kertas, namun mati suri di lapangan.

2. Kualitas SDM: manajemen koperasi masih lemah, belum siap menghadapi tuntutan digitalisasi.

3. Intervensi politik: koperasi kerap dijadikan alat mobilisasi, bukan instrumen ekonomi.

4. Akses pasar: koperasi desa kesulitan menembus rantai distribusi yang dikuasai oligopoli.

5. Kepastian hukum: regulasi koperasi masih tumpang tindih, sehingga membingungkan pelaku.

APBN 2026 harus menjawab tantangan ini dengan kebijakan terstruktur, bukan hanya retorika.

Di tengah derasnya arus globalisasi dan kompetisi pasar bebas, ekonomi rakyat sering kali menjadi korban. UMKM terpinggirkan, petani tidak mendapat harga layak, nelayan dipaksa menjual murah hasil tangkapannya, sementara rantai distribusi dikuasai segelintir kelompok besar. Pertanyaan yang terus menghantui kita: di manakah posisi rakyat kecil dalam pusaran ekonomi modern ini?

Jawabannya, boleh jadi, terletak pada satu kata yang sering disebut namun jarang diwujudkan secara serius: koperasi. Presiden Soekarno pernah berkata, koperasi adalah “soko guru perekonomian nasional.” Namun, dalam praktik, koperasi sering kali dipandang sebelah mata, sekadar formalitas organisasi, bahkan ada yang terjebak menjadi kedok rentenir baru.

Kini, saat negara sedang merancang APBN 2026, muncul satu gagasan yang menggugah: pendirian dan penguatan 80.000 Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih di seluruh Indonesia. Gagasan ini bukan sekadar angka statistik, melainkan sebuah strategi besar—upaya menjahit ulang jati diri bangsa melalui ekonomi gotong royong yang inklusif, adil, dan berkelanjutan.

1. Koperasi: Dari Romantisme ke Kebutuhan Mendesak


Koperasi di Indonesia kerap dipandang sebagai romantisme masa lalu. Di sekolah dasar, kita diajari semboyan “dari anggota, oleh anggota, untuk anggota”. Tetapi dalam praktik, banyak koperasi yang macet, tidak transparan, dan hanya hidup di atas kertas. Fenomena koperasi simpan pinjam bodong yang merugikan anggotanya menambah stigma negatif.

Namun, bila melihat lebih dalam, justru di tengah krisis dan gejolak pasar global, koperasi semakin relevan. Lihatlah bagaimana pandemi COVID-19 menunjukkan rapuhnya ketergantungan pada rantai pasok global. Negara-negara dengan basis ekonomi komunitas yang kuat, seperti Jepang dengan koperasi konsumen dan Korea Selatan dengan koperasi pertanian, terbukti lebih tangguh menghadapi guncangan.

Indonesia sejatinya memiliki modal sosial yang luar biasa: gotong royong, budaya musyawarah, serta ikatan kekerabatan yang kuat di desa. Bila semua ini dilembagakan secara modern melalui koperasi, ia bisa menjadi kekuatan ekonomi kerakyatan yang sejati.

2. Tantangan Nyata Pendirian 80.000 Koperasi


Namun, tentu saja, pendirian 80.000 koperasi baru bukan pekerjaan ringan. Ada beberapa tantangan besar yang harus diantisipasi:

1. Kualitas SDM dan Literasi Keuangan


Banyak pengurus koperasi di desa masih minim pengalaman manajerial. Tanpa pendidikan dan pendampingan, koperasi bisa jatuh menjadi formalitas administratif.

2. Modal Awal dan Akses Permodalan


Bank masih enggan memberi kredit kepada koperasi desa karena dianggap berisiko tinggi. Tanpa mekanisme pembiayaan yang inklusif, koperasi sulit berkembang.

3. Digitalisasi dan Transparansi


Dunia bergerak menuju ekonomi digital, sementara banyak koperasi desa masih berjalan manual. Tanpa transformasi digital, mereka akan kalah bersaing.

4. Budaya Korupsi dan Manipulasi


Tidak sedikit koperasi yang macet karena pengurusnya menyalahgunakan dana. Koperasi desa harus dibangun di atas sistem akuntabilitas yang jelas.

5. Pasar dan Rantai Distribusi


Koperasi sering kalah bersaing dengan perusahaan besar dalam mengakses pasar. Tanpa strategi distribusi kolektif, koperasi mudah tergilas.

V. Roadmap Implementasi Koperasi Merah Putih

Untuk menjawab tantangan itu, dibutuhkan sebuah roadmap implementasi nasional. Pendirian koperasi tidak boleh sekadar target angka, melainkan harus disertai rencana matang.

Tahap 1: Fondasi (2026–2027)

Sosialisasi nasional dan kampanye publik mengenai Koperasi Merah Putih.

Pembentukan unit pendampingan di tiap provinsi.

Penyiapan regulasi khusus yang memberi insentif fiskal bagi koperasi baru.

Pilot project di 500 desa untuk menguji model manajemen koperasi digital.

Tahap 2: Ekspansi (2027–2029)

Pendirian massal koperasi di desa/kelurahan dengan dukungan modal awal dari APBN.

Digitalisasi seluruh transaksi koperasi melalui platform nasional berbasis blockchain untuk menjamin transparansi.

Kolaborasi dengan BUMN pangan, energi, dan distribusi agar koperasi desa bisa langsung masuk ke rantai pasok nasional.

Tahap 3: Konsolidasi (2030–2032)

Integrasi koperasi desa dalam jaringan nasional berbasis federasi.

Penetapan koperasi unggulan per sektor (pertanian, perikanan, energi terbarukan, jasa keuangan mikro).

Pemberian insentif pajak dan akses prioritas tender pemerintah bagi koperasi sehat.

Tahap 4: Akselerasi (2033 ke atas)

Koperasi desa menjadi basis ekonomi nasional, menyumbang minimal 20% PDB.

Koperasi Indonesia masuk ke rantai pasok regional ASEAN.

Branding internasional: “Cooperative Indonesia” sebagai model ekonomi kerakyatan dunia.

4. Belajar dari Negara Lain

Indonesia bukan satu-satunya negara yang menjadikan koperasi sebagai tulang punggung ekonomi. Ada beberapa contoh inspiratif:

1. Korea Selatan (Nonghyup Cooperative)


Nonghyup menguasai lebih dari 50% distribusi produk pertanian di Korea. Ia bukan sekadar koperasi simpan pinjam, melainkan raksasa distribusi pangan.

2. Jepang (Japan Consumers’ Cooperative Union)


Anggotanya mencapai 28 juta rumah tangga. Koperasi konsumen di Jepang bahkan mengelola rumah sakit dan lembaga pendidikan.

3. Spanyol (Mondragon Corporation)


Salah satu koperasi terbesar di dunia dengan 80.000 pekerja. Mondragon membuktikan koperasi bisa bersaing di sektor industri teknologi tinggi.

4. Finlandia (S Group)


Menguasai ritel dan perhotelan. Hampir 60% rumah tangga Finlandia menjadi anggota koperasi ini.

Dari pengalaman itu, Indonesia bisa belajar bahwa koperasi bukan hanya urusan tabungan dan pinjaman, melainkan bisa menjadi pemain utama di sektor strategis: pangan, energi, pendidikan, bahkan teknologi.

5. Koperasi Merah Putih dan APBN 2026

Mengapa ide koperasi harus masuk dalam strategi APBN 2026? Karena tanpa dukungan fiskal negara, koperasi akan sulit berkembang. APBN harus memberi alokasi jelas:

Modal awal per koperasi desa (misalnya Rp250 juta–Rp500 juta).

Dana pendampingan dan pendidikan manajemen koperasi.

Subsidi digitalisasi koperasi melalui aplikasi nasional.

Skema jaminan kredit koperasi melalui Lembaga Penjamin Simpanan.

Dengan asumsi pendirian 80.000 koperasi, kebutuhan anggaran bisa mencapai Rp20–40 triliun. Angka ini terlihat besar, tetapi bila dibandingkan dengan potensi dampaknya bagi 60 juta rakyat desa, investasi ini justru relatif kecil.

6. Koperasi sebagai Jalan Menjahit Ulang Persatuan

Lebih jauh, gagasan Koperasi Merah Putih bukan sekadar soal ekonomi. Ia adalah proyek kebudayaan dan politik persatuan.

Ekonomi gotong royong akan mengurangi kesenjangan sosial.

Distribusi adil mencegah monopoli oleh oligarki.

Partisipasi komunitas memperkuat demokrasi dari akar rumput.

Dalam suasana politik yang kerap terpecah, koperasi bisa menjadi ruang bersama untuk mengikat kembali rasa kebangsaan. Ketika petani, buruh, nelayan, pedagang, dan guru duduk bersama dalam rapat anggota koperasi, di situlah demokrasi ekonomi hidup dalam bentuk paling murni.

Penutup: Mimpi yang Layak Diperjuangkan

Pendirian 80.000 Koperasi Merah Putih memang bukan pekerjaan mudah. Ia menuntut keberanian politik, komitmen fiskal, dan partisipasi rakyat yang luas. Tetapi di balik semua itu, tersimpan sebuah mimpi besar: menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang berdikari secara ekonomi, tanpa meninggalkan akar budaya gotong royongnya.

Mungkin sudah saatnya kita berhenti menunggu investor asing atau berharap pada trickle down effect dari korporasi besar. Jalan kemandirian sejati justru ada di desa, di warung kecil, di sawah, di perahu nelayan, dan di ruang rapat sederhana koperasi.

Koperasi Merah Putih bukan sekadar gagasan ekonomi. Ia adalah ikhtiar menjahit ulang jati diri bangsa, agar Indonesia tidak sekadar berdiri di atas sumber daya alamnya, tetapi juga di atas rasa persaudaraan, gotong royong, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya.

Penulis adalah Ketua Pengwil Ikatan Notaris Indonesia Sumatera Utara

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |