Analogi Logika Terbalik Kemerdekaan

3 weeks ago 12

Oleh Taufiq Abdul Rahim

Merdeka berarti bebas dari penjajahan, bebas dari tahanan, bebas dari kekuasaan, bebas intimidasi, bebas tekanan, dari nilai dan budaya yang mengungkung diri kita.

Dalam pemahaman politik dan kekuasaan negara, terbentuknya sebuah negara merdeka menjadikan rakyat memiliki kekuasaan dan kedaulatan secara politik, dalam mengurus serta menjadikan kehidupan yang hakiki, juga absolut dalam kehidupan kemanusiaan yang bermartabat. Hal ini selaras dengan prinsip kemanusiaan yang paling mendasar bahwa, hak azasi manusia semakin dijunjung tinggi, dihargai serta menjadi manusia sebagai makhluk yang bermartabat serta bertanggung jawab. Dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, ekonomi, politik, hukum, budaya serta seluruh dimensi kehidupan yang berlaku dalam interaksi sosial. Dalam kondisi kehidupan kemerdekaan, sebuah bangsa akan memiliki penghargaan dan kehormatan kemanusiaan, ini berkaitan dengan hak azasi manusia yang mesti dijunjung tinggi, sebagai harkat dan martabat serta marwah sebagai manusia.

Kehidupan kemanusiaan yang merdeka merupakan suatu tuntutan yang sangat objektif dalam proses, interaksi serta koneksi antar manusia. Maka kata merdeka demikian krusial dipahami secara jelas, transparan tanpa diskriminasi antar manusia maupun negara, bahkan tidak memiliki kesan berlakunya penjajahan dalam kehidupan yang sesungguhnya. Berdasarkan rujukan KKBI (2025) adalah, merdeka berarti bebas dari penjajahan, bebas dari tahanan, bebas dari kekuasaan, bebas intimidasi, bebas tekanan, dari nilai dan budaya yang mengungkung diri kita. Kemerdekaan merupakan keadaan (hal) berdiri sendiri (bebas, lepas, tidak terjajah lagi, dan sebagainya); kebebasan: adalah hak segala bangsa. Karena itu, dalam praktik penjajahan pada kenyataannya biasa dilakukan pemaksaan, baik pekerjaan, kerja, pembayaran pungutan pajak dan lain sebagainya. Maka menurut Daliman (2012) yaitu, praktik ternyata pelaksanaan sistem tanam paksa sering menyimpang jauh dari ketentuan, sehingga bukan saja merugikan penduduk, namun juga sangat memberatkan beban penduduk. Di tengah adanya upaya paksa, biasanya juga diiringi dengan upaya paksa dari penjajah atau negara, baik dilakukan oleh suatu kekuasaan politik, aturan hukum, orang, kelompok dan keorganisasiaan politik, bahkan negara melakukan usaha paksa kepada penduduk atau rakyat.

Demikian juga disampaikan era politik kolonial liberalisme (1870-1900), Daliman menyatakan, yang menjanjikan perbaikan kesejahteraan bagi rakyat Hindia-Belanda dengan diberikannya kesempatan bagi kaum modal swasta untuk membuka industri-industri perkebunan swasta juga tidak menjadi kenyataan. Dalam kenyataannya bahkan sebaliknya, pada akhir abad XIX tingkat kesejahteraan rakyat Indonesia nampak semakin merosot/hancur. Demikian juga pasca kemerdekaan Republik Indonesia, ternyata praktik menjanjikan perubahan kehidupan lebih baik, makmur serta sejahtera tidak terwujud secara realistis. Hanya saja dalam pemahaman politik modern untuk menguasai suatu wilayah, daerah, negara dan bangsa praktik penjajahan janji politik kesejahteraan tetap tak membawa perbaikan bagi nasib rakyat. Dalam praktik politik transaksionalisme kolonial bahwa, politik balas budi dengan triloginya: irigasi, emigrasi (transmigrasi) dan edukasi ini lebih sebagai slogan dari pada kenyataan. Namun yang berkembang persis sama dari praktik kolonial zaman dahulu ditengah kehidupan rakyat/masyarakat untuk saling mempengaruhi persis sama yaitu, Devide et Impera adalah, suatu upaya kekuasaan politik yang digunakan untuk menguasai sebuah wilayah dan orang, dengan menggunakan cara adu domba antar rakyat dalam sebuah sistem pemerintahan.

Pada dasarnya kemerdekaan mesti mempu mengubah perilaku negara, perilaku politik serta kekuasaan yang mengelola kehidupan rakyat menjadi lebih baik, makmur serta sejahtera, ini selaras dengan cita-cita kemerdekaan yang dituntut oleh rakyat melalui perlawanan terhadap praktik penjajahan. Karena diyakini, dalam kondisi keterjajahan kehidupan rakyat sangat sengsara, terintimidasi, tertekan, tidak bebas berbuat untuk merubah kehidupannya menjadi lebih baik dan sejahtera, perampasan terhadap hak-haknya, baik materil, tanah, kekayaan, harta benda, bahkan nyawa sekalipun menjadi taruhannya apabila melakukan perlawanan dan tidak mematuhi keinginan penjajah yang sangat berkuasa. Maka menurut Sutrisno (2004) yaitu. kolonialisme berasal dari bahasa Latin, yaitu kata “Colonia (pertanian, pemukiman) yang berarti penaklukkan dan penguasaan atas tanah dan harta penduduk asli oleh kaum pendatang. Hal ini diperkuat dengan pernyataan menurut Hadiwijoyo (2013) kolonialisme adalah “suatu ajaran atau sistem yang berarti senang mengembangkan kekuasaan suatu negara diluar wilayah yang dimiliki negara tersebut”. Juga dinyatakan oleh Fatmah (2017) adalah, kolonialisme adalah “paham atau pandangan untuk melaksanakan penjajahan”. Ini klear kekuasaan penjajah.

Dengan merujuk kehidupan kemerdekaan, secara hakiki adanya kebebasan berpendapat, beropini, menyampaikan hasrat serta keinginan hidupnya tanpa adanya diskriminasi dan terlepas dari rasa ketidakadilan dalam kehidupan. Konon dalam bingkai negara merdeka menjelang 80 tahun masih tidak ideal serta realistis sesuai dengan cita-cita kemerdekaan. Dimana semestinya menghargai kemerdekaan, serta cita-cita kemerdekaan dari penjajahan, memiliki landasan pembukaan pada alinea pertama UUD 1945 dinilai sangat filosofis adalah; “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.” Sehingga hal ini sangat jelas pada alinea ini menegaskan hakikat kemerdekaan sebagai hak segala bangsa dan menolak segala bentuk penjajahan.

Dewasa ini perjuangan kehidupan rakyat yang berat di tengah ketidakpastian bangsa Indonesia yang serba sulit dan tertekan, jika dapat disebut terjajah dalam negeranya sendiri. Dengan tanpa sungkan dilakukan oleh para elite pemimpin negara, oligarki serta serta para pejabat Kabinet Negara Republik Indonesia, Merah Putih, atau para eksekutif, legislatif dan yudikatif (trias politica) yang berkuasa, dengan mudahnya dan semakin subur korupsi tanpa kejelasan hukum serta equal before the law. Hari ini setiap rakyat memikiki Hutang dipundaknya Rp 35.000.000,- perkapita/perjiwa/pernyawa yang hidup di negara yang katanya merdeka/kaya. Kemudian kebijakan politik dan ekonomi yang semakin menekan serta memberatkan seperti pengenaan pungutan pajak naik ratusan persen, janji-janji manis serba gratis yang tak kunjung nyata, kemiskinan yang meningkat sekitar 197 juta jiwa lebih, pengangguran terbuka yang meningkat dari janji politik menyediakan 19 juta lapangan kerja “omong kosong dan konyol”, data kependudukan dikuasai Amerika Serikat sebagai kompensasi impor perdagagan barang dan jasa. Kemudian ketidakadilan ekonomi, politik, hukum, sosial-budaya serta berbagai dimensi kehidupan yang semakin menjerat rakyat Indonesia, maka lengkaplah sudah kehidupan realitas rakyat semakin terjajah. Ini semuanya untuk kepentingan elite politik, penguasa, partai politik, oligarki dan koneksi keluarga serta kerabat, juga untuk membayar para buzzer, influencer dan pendukung horenya. Juga dinikmati oleh perndukung semu kekuasaan mendapatkan jatah Menteri/Wakil Menteri Kabinet serta Komisaris Badan Usaha Milik Negara/Daerah (BUMN/D) dengan bergaji tinggi.

Dengan demikian, analogi logika terbalik sebagai bentuk perlawanan dari keterjajahan, diskriminasi segala sektor dan dimensi kehidupan, biasanya aktivis, media dan pejuang anti KKN yang melawan akan dikriminalisasi dengan delik hukum yang dicari-cari. Dengan demikian, semua usaha serta upaya rakyat untuk memperbaiki hidupnya dinikmati serta dikuasai untuk kepentingan elite kekuasaan negara. Sementara, rakyat hidup dalam kesengsaraan, tertindas di negara sendiri, terdiskriminasi, terjajah, dengan berbagai kebijakan ekonomi-politik, hukum, politik, sosial-budaya dan lainnya. Maka melakukan perlawanan dengan coba berkreasi, tidak menggunakan cara anarkhis serta senjata. Karena dapat dikenakan yurisprudensi “makar”, sehingga negara dengan kekuasaan dimilikinya langsung memberikan stigma “makar atau pemberontak”. Dengan itu, dapat saja diselesaikan dengan cara sendiri yaitu, “tembak ditempat”. Maka perlawanan serta perjuangan paling terhormat, elegan, cerdas, intelektual adalah, mengibarkan bendera “One Piece” atau lainnya, sebagai simbol perlawanan perjuangan terinspirasi dari film animasi Jepang yang cukup popular abad ke-20. Hari-hari ini makna kemerdekaan dianalogikan terbalik, sebagai realitas kehidupan jiwa bangsa dan warga negara yang tidak merdeka, terjajah oleh kekuasaan negara sendiri, miskin dan tidak sejahtera.

Penulis adalah Dosen FE Unmuha dan Peneliti Senior PERC-Aceh

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |