Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) baru dibuka habis libur panjang lebaran langsung trading halt.
CNBC Indonesia memantau pada perdagangan Selasa hari ini (8/4/2025) pukul 09.00 WIB, IHSG jeblok 9,19% atau 598,56 poin ke posisi 5,912.06.
Sepanjang 11 hari libur hari raya Idul Fitri tahun ini, pasar saham di berbagai negara mengalami guncangan karena Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump bikin geger dengan menetapkan tarif resiprokal ke lebih dari 160 negara, termasuk Indonesia.
Hal itu membuat selama liburan, IHSG mengakumulasi sentimen negatif. Alhasil, pada perdagangan hari ini langsung jeblok dan mengalami trading halt atau penghentian pasar sementara.
Adapun, aturan terkait trading halt mengalami revisi, dari yang semula jika turun 5% dalam sehari enjadi 8% diberlakukan penghentian pasar selama 30 menit.
Lalu bila IHSG mengalami penurunan lanjutan hingga lebih dari 15% pada hari yang sama, trading halt akan kembali dilakukan selama 30 menit. Bursa akan melakukan suspensi pasar hingga akhir sesi atau lebih dari 1 sesi perdagangan bila penurunan berlanjut hingga lebih dari 20% pada hari yang sama.
Berikut beberapa sentimen yang terakumulasi menjadi alasan IHSG jeblok hari ini :
Tarif Resiprokal Trump Bikin Geger, Perang Dagang Dimulai
Era perdagangan bebas tampaknya sudah usai, setelah Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump menetapkan tarif resiprokal atau timbal balik ke 160 negara, termasuk Indonesia.
Seperti diketahui, AS akan memberlakukan tarif bea impor dengantarif dasar 10% pada semua impor ke AS dan bea masuk yang lebih tinggi pada puluhan negara lain.
Tarif impor ke China akan diberlakukan 34%, 20% untuk Uni Eropa, 25% untuk Korea Selatan, 24% untuk Jepang, dan 32% untuk Taiwan.
Selain itu, pemerintahan Trump juga memberlakukan tarif timbal balik khusus negara terhadap negara-negara yang dituduh melakukan praktik perdagangan tidak adil. Di antaranya termasuk India, Vietnam, dan Uni Eropa. Tarif ini disesuaikan sekitar setengah dari tarif yang negara-negara tersebut kenakan terhadap barang AS.
Karena itu, Kementerian Perdagangan China gerak cepat menyatakan pada Jumat (4/4/2025) bahwa mereka akan memberlakukan tarif sebesar 34% pada semua produk AS. Pernyataan ini mengecewakan para investor yang sebelumnya berharap kedua negara akan berunding terlebih dahulu sebelum mengambil langkah balasan.
Tarif timbal balik itu menandai bahwa saat ini dunia sudah berubah cenderung pada kebijakan proteksionisme. Hal ini menjadi tanda dimulai perang dagang yang bisa memicu pergolakan pada perdagangan dan pertumbuhan ekonomi dunia.
VIX Index Terbang Nyaris ke Level Pandemi Covid-19
Pada Senin kemarin (7/4/2025), VIX index, indikator fear untuk pasar saham AS sempat loncat sampai 100% dalam sehari dan sempat menguji ke atas level 60.
Pergerakan VIX indeks yang naik terlalu cepat menjadi tanda bahwa pelaku pasar khawatir akan dampak yang lebih luas dari tarif itu ke ekonomi global, mengingat hal itu akan mengerek harga barang lebih mahal, sehingga inflasi diproyeksi mengetat lagi, bahkan potensi bisa terjadi resesi sampai krisis lagi.
Patut dipahami, gerak ViX index itu berlawanan arah dengan pergerakan pasar saham. Jadi, ketika indeks itu semakin naik, maka peluang pasar saham semakin terkoreksi sangat memungkinkan masih bisa berlanjut.
Peluang Resesi AS Terbuka Lebar
Ekonomi global juga berisiko jatuh ke dalam resesi akibat kebijakan tarif impor baru yang diberlakukan oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.
Peringatan ini disampaikan oleh JPMorgan dalam laporan teranyar mereka pada Kamis (3/4/2025).
Jika tarif Trump benar-benar resmi diterapkan, tarif dasar 10% pada 5 April dan yang lebih tinggi ke beberapa negara per 9 April, risiko resesi global akan naik, dari perkiraan awal 40% menjadi 60% sebelum akhir tahun ini.
Catatan tersebut menyoroti kekhawatiran bahwa dampak ekonomi dapat diperburuk oleh potensi pembalasan, gangguan rantai pasokan, dan pukulan terhadap kepercayaan bisnis. JPMorgan juga memperingatkan bahwa pembatasan perdagangan yang sedang berlangsung dan pengurangan imigrasi dapat menyebabkan masalah sisi pasokan jangka panjang yang melemahkan pertumbuhan AS.
"Sepanjang tahun ini, kebijakan Amerika Serikat yang bersifat disruptif telah diakui sebagai risiko terbesar bagi prospek ekonomi global," tulis perusahaan tersebut dalam sebuah catatan pada hari Kamis, seraya menambahkan bahwa kebijakan perdagangan AS kini dianggap kurang ramah terhadap dunia usaha dibandingkan yang diperkirakan.
"Dampaknya kemungkinan akan diperbesar oleh tindakan balasan tarif, penurunan sentimen bisnis di AS, dan gangguan rantai pasokan."
Sementara itu, S&P Global juga menaikkan kemungkinan "subjektif" resesi di AS menjadi antara 30% hingga 35%, dari 25% pada Maret lalu.
Selain itu, sebelum pengumuman tarif pada 2 April waktu AS, Goldman Sachs juga menaikkan kemungkinan terjadinya resesi di Amerika Serikat menjadi 35% dari sebelumnya 20%, dengan catatan bahwa fundamental ekonomi tidak sekuat tahun-tahun sebelumnya.
HSBC pada hari Kamis menyatakan bahwa narasi resesi akan semakin menguat, meskipun sebagian dari risiko ini sudah "tercermin dalam harga pasar."
"Indikator probabilitas resesi berbasis pasar saham kami menunjukkan bahwa pasar ekuitas telah memperhitungkan sekitar 40% kemungkinan resesi terjadi pada akhir tahun," tambah analis HSBC.
Beberapa lembaga riset lainnya termasuk Barclays, BofA Global Research, Deutsche Bank, RBC Capital Markets, dan UBS Global Wealth Management juga memperingatkan bahwa ekonomi AS menghadapi risiko resesi yang lebih tinggi tahun ini jika tarif baru yang diberlakukan oleh Trump tetap berlaku.
Barclays dan UBS memperingatkan bahwa ekonomi Amerika Serikat berisiko memasuki fase kontraksi, sementara analis lainnya memperkirakan pertumbuhan ekonomi secara umum hanya akan berada di kisaran 0,1% hingga 1%.
Sejumlah perusahaan sekuritas seperti Barclays, Goldman Sachs, RBC, dan Capital Economics memangkas target akhir tahun mereka untuk saham-saham AS. UBS bahkan menurunkan rekomendasinya dari "menarik" menjadi "netral."
Rupiah Tembus Level Terlemah Sepanjang Masa
Berikutnya, pada pagi hari ini, rupiah juga ikut terperosok dalam melawan dolar AS ke level terpuruk sepanjang masa.
Melansir data Refinitiv, rupiah dalam melawan dolar AS melemah sampai 1,78% ke posisi Rp16.850/US$, melewati posisi paling parah sejak 1998 dan menandai level paling buruk dalam sejarah.
CNBC INDONESIA RESEARCH
Sanggahan : Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investor terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.(tsn/tsn)