Trump Ngamuk Soal Kedelai, Efeknya Bisa Sampai ke Tempe RI

3 hours ago 2

Jakarta, CNBC Indonesia- Ketika Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump kembali menggema dengan ancaman tarif baru terhadap China, komoditas kedelai ikut terguncang dalam pusaran.

Seperti diketahui, Trump mengatakan bahwa pemerintahannya sedang mempertimbangkan untuk menghentikan seluruh hubungan dagang dengan China terkait minyak goreng sebagai bentuk pembalasan (retribution) atas keputusan Beijing yang menolak membeli kedelai dari Amerika Serikat.

Dalam unggahan di Truth Social, Trump menuduh bahwa China melakukan "tindakan bermusuhan secara ekonomi" (Economically Hostile Act) dengan "sengaja tidak membeli kedelai dari AS dan menyebabkan kesulitan bagi para petani kedelai Amerika."

Trump menambahkan bahwa mengakhiri bisnis dengan China dalam perdagangan minyak goreng dan komoditas lain merupakan langkah pembalasan yang sedang dipertimbangkannya.

"Sebagai contoh, kita bisa dengan mudah memproduksi minyak goreng sendiri; kita tidak perlu membelinya dari China," tulis Trump.

China selama ini merupakan pembeli terbesar kedelai AS, dengan total impor sekitar 27 juta metrik ton senilai hampir US$12,8 miliar pada tahun 2024.

Namun, di tengah memanasnya perang dagang antara Washington dan Beijing, China belum membeli satu pun kedelai asal Amerika sejak bulan Mei.

Ancaman itu mungkin tampak jauh dari dapur-dapur di Indonesia, namun dalam rantai pasok global, efek kupu-kupu di Gedung Putih dapat bergaung hingga ke penggorengan tempe dan tahu di pasar tradisional Tanah Air.

Amerika Serikat merupakan salah satu eksportir kedelai terbesar di dunia dengan nilai ekspor mencapai sekitar US$24,47 miliar pada 2024.

Menurut USDA Foreign Agricultural Service (FAS), pembeli utama kedelai AS adalah China, Uni Eropa, Meksiko, Indonesia, Mesir, dan Jepang. China sendiri menyerap hampir separuh ekspor kedelai AS, menjadikannya pasar paling vital bagi petani Amerika.

Karena itu, setiap gesekan dagang antara Washington dan Beijing selalu membawa konsekuensi luas, terutama bagi negara-negara importir yang bergantung pada kestabilan harga global.

Jika perang dagang kembali memanas, China bisa saja mengurangi impor kedelai dari AS dan beralih ke pemasok lain seperti Brasil atau Argentina. Pola ini pernah terjadi pada periode perang dagang 2018-2019, ketika volume pembelian China dari AS anjlok dan pasar global mengalami fluktuasi tajam.

Akibatnya, stok menumpuk di Amerika, harga turun, dan pasar-pasar lain termasuk Indonesia dapat menikmati harga yang sedikit lebih rendah. Namun di sisi lain, volatilitas yang berlebihan justru membuat pelaku impor dan industri tahu-tempe kesulitan menetapkan kontrak jangka panjang.

Bagi Indonesia, ketergantungan terhadap impor kedelai memang sudah mengakar. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan produktivitas kedelai nasional pada 2022 hanya 15,43 kuintal per hektare atau sekitar 1,54 ton per hektare, dengan total produksi 301 ribu ton.
Kedelai adalah bahan utama tempe yang merupakan makanan pokok di Indonesia.

Padahal, kebutuhan domestik mencapai hampir 2,8 juta ton per tahun. Kekurangan itu ditutup melalui impor sekitar 2,5 juta ton setiap tahun, terutama dari Amerika Serikat dan Brasil. Pada 2023, volume impor bahkan naik menjadi 2,67 juta ton.

Dari sisi nilai, impor kedelai Indonesia terus menanjak dalam lima tahun terakhir: US$1,00 miliar pada 2020, US$1,48 miliar pada 2021, US$1,62 miliar pada 2022, sebelum turun sedikit menjadi US$1,47 miliar pada 2023 dan US$1,40 miliar pada 2024.

Angka-angka ini menunjukkan ketergantungan tinggi terhadap pasar global, di mana fluktuasi harga di Chicago Board of Trade (CBOT) bisa langsung berdampak pada harga bahan baku tahu dan tempe di pasar domestik.

Indonesia tercatat sebagai salah satu dari lima besar pembeli kedelai AS, dengan nilai impor sekitar US$1,24 miliar pada 2024 atau setara 5% dari total ekspor kedelai AS. Ketika pasokan ke China terganggu akibat kebijakan tarif, sebagian besar stok AS bisa dialihkan ke negara lain seperti Indonesia, membuka peluang harga impor lebih kompetitif.

Namun manfaat itu bersifat sementara-karena jika China melakukan aksi balasan dengan memborong kedelai dari Brasil, tekanan permintaan akan mengerek harga global kembali naik.

Dengan produktivitas dalam negeri yang stagnan dan lahan tanam yang terus menyusut, posisi Indonesia dalam rantai pasok kedelai dunia sangat rentan terhadap dinamika politik internasional.

CNBC Indonesia Research

(emb/emb)

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |