Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Tentu kita semua miris dan sedih menyaksikan bencana banjir bandang dan tanah longsor yang melanda sejumlah daerah di Pulau Sumatra beberapa waktu lalu. Tagar #prayforsumatra menghiasi media sosial kita. Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat adalah daerah yang paling parah bencananya. Air bah dari atas membawa kayu-kayu gelondongan. Menghancurkan banyak hal. Sawah, ladang, pemukiman, dan infrastruktur lainnya.
Kalangan aktivis lingkungan menyalahkan praktik penebangan hutan. Memang, data menunjukkan bahwa alih fungsi kawasan hutan sangat masif terjadi. Hutan yang sedianya menjadi penyerap air dan tanah longsor, sudah menjadi kawasan terbuka akibat penebangan.
Tudingan tersebut tidak salah karena hal tersebut adalah penyebab langsung. Namun, ada yang lebih fundamental dari penebangan hutan dan alih fungsi lahan, yakni cara kita memandang sungai. Ya, sungai.
Sungai bukan hanya salah satu unsur penunjang ekosistem terestrial atau bentang alam suatu kawasan semata. Sungai adalah ekosistem itu sendiri dan juga yang lebih penting lagi adalah sungai merupakan urat nadi peradaban.
Veronica Strang dalam artikel terbarunya "Listening to the river: Representing non-human needs and interests in debates about water governance and management" membawa kita melihat sungai sebagai "makhluk hidup" yang memiliki kehendaknya sendiri. Di dalamnya berbagai komponen biota membentuk satuan ekosistem mikro tersendiri.
Penting "mendengarkan sungai" bukan saja karena terkait dengan kelestarian lingkungan dan keselamatan kehidupan manusia, tapi itu tadi, sungai adalah urat nadi peradaban. Fungsi sungai sebagai urat nadi peradaban tampaknya telah dilupakan oleh kita, bangsa Indonesia ini.
Mari sejenak kita "mengintip" sejarah bangsa ini. Hampir semua kerajaan di Nusantara menggunakan sungai sebagai penghubung dengan wilayah lainnya. Majapahit dengan Sungai Brantas. Pajajaran dengan Sungai Ciliwung dan Sungai Cisadane. Sriwijaya dengan Sungai Musi. Dharmasraya dengan Sungai Batanghari. Kutai dengan Sungai Mahakam. Demikian juga sungai-sungai lainnya.
Pada masa purba, seperti situs arkeologi di Sangiran yang menggunakan aliran Sungai Bengawan Solo purba sebagai jalurnya. Sungai Bantarwaru dan Kaliglagah adalah dua sungai yang bertemu dengan laut yang menjadi jalur manusia purba. Geosite Bumiayu menunjukkan hal tersebut.
Apakah tidak ada jalan darat? Tentu jalan darat sudah ada, tetapi belum sebagai jalur penting lalu lintas orang dan barang. Apalagi dengan skala yang besar.
Apakah sungai digunakan hanya di Indonesia? Hal ini juga tentu tidak. Peradaban-peradaban dunia dibangun di samping sungai. Mesir, Babilonia, India dan berbagai peradaban lainnya ada di dekat sungai.
Sebagai bangsa tropis yang memiliki laut dan gunung, bangsa kita tentu menggunakan sungai bukan semata sebagai jalur transportasi, melainkan dengan sungai, tidak saja bangsa kita bisa menjelajahi samudra, melainkan juga highland atau wilayah pegunungan.
Kemampuan navigasi laut dan pengetahuan ekosistem pegunungan sama baiknya. Wilayah pegunungan (tentu yang dimaksud bukan hanya gunung) ditanami berbagai tumbuhan untuk supply kebutuhan pangan. Hutan-hutan tetap dijaga karena menghasilkan barang-barang yang laku di pasaranan. Gaharu, kemenyan, kayu manis adalah berbagai jenis rempah adalah tumbuhan industri.
Dengan cara pandang demikian, masyarakat kita dahulu sangat penting menjaga ekosistem pendukung sungai. Mereka sadar, bahwa ketika lahan digarap untuk ladang dan sawah pada dasarnya adalah merusak dan menyakiti. Untuk itu mereka mengembangkan ritual seperti sedekah bumi, nadran, serentaun dan lain sebagainya.
Ritual tersebut tidak hanya ungkapan syukur melainkan juga permohonan maaf ke bumi yang telah "disakiti". Juga, pada masa lalu, setidaknya di kota-kota atau pemukiman bekas kerajaan, rumah-rumah menghadap sungai. Masyarakat membangun rumah dengan pintu depan mengarah ke sungai.
Tetapi sekarang, pemukiman banyak yang membelakangi sungai. Air pembuangan rumah tangga langsung diarahkan ke sungai. Demikian juga limbah industri banyak yang membuang ke sungai. Sungai Citarum adalah contoh nyata dari kondisi tersebut.
Sungai oleh orang kita tidak lagi dipandang sebagai urat nadi yang menggerakkan dan membangun peradaban, melainkan sebagai jalur pembuangan kita. Sungai mungkin sudah "menjerit" sangat lama, tetapi kitanya terlalu bebal untuk bisa mendengarkan "jeritan" dan "keluh-kesah" sungai.
Bisa juga karena kita sudah tidak menganggap sungai sebagai bagian penting dari kehidupan sehingga "beda frekuensi" yang menjadi sebab kita tidak bisa mendengarkan sungai. Akibatnya, sungai pun mengamuk dengan caranya.
Sambil terus membantu korban bencana dan berdoa, alangkah baiknya peristiwa baru-baru ini menjadi refleksi dan kontemplasi kita,. Belum terlambat bagi untuk kembali membangun hubungan yang "mesra" dengan sungai dan bentang alam lainnya, dengan cara mengubah cara pandang kita dalam melihat sungai, seperti yang diajarkan para leluhur kita.
(miq/miq)

1 hour ago
2

















































