Toba Terbakar, Nurani Kita pun Terpanggang

2 months ago 20
Editorial

Toba Terbakar, Nurani Kita pun Terpanggang

Ukuran Font

Kecil Besar

14px

Wisatawan ke Danau Toba bukan hanya karena panorama, melainkan karena harmoni antara manusia dan alam.

Kawasan perbukitan Danau Toba kembali terbakar. Kali ini, kobaran api menghanguskan lebih dari 100 hektare lahan di lereng Dolok Pesona dan Panorama Panoguan Solu, Kecamatan Lintongnihuta, Humbang Hasundutan. Seperti peristiwa-peristiwa serupa yang berulang nyaris saban tahun, penyebabnya masih saja “belum diketahui secara pasti”. Namun kita semua tahu, api tak mungkin menjalar dari langit. Ia selalu dimulai dari kerakusan manusia.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Kebakaran ini bukan semata bencana alam. Ini adalah bencana kebijakan, bencana pengawasan, dan bencana kesadaran. Perambahan hutan, praktik ladang berpindah, pembukaan lahan dengan api, hingga kelalaian membakar sampah di musim kemarau; semua ini bukan lagi mitos, melainkan fakta yang kita biarkan hidup bersama kita. Api-api ini tak hanya membakar hutan, tetapi juga nurani, logika, dan warisan ekologis Sumatera Utara yang mestinya dijaga mati-matian.

Danau Toba bukan danau sembarang. Ia bukan hanya objek wisata atau ikon Sumatera Utara. Ia adalah danau vulkanik terbesar di dunia, warisan geologis purba sekaligus sumber kehidupan ribuan warga di sekitarnya. Lereng-lereng yang kini hitam legam itu dulunya hijau, menjadi pelindung alami dari longsor dan erosi. Kini, pohon-pohon yang dulu menahan tanah dan menyimpan air, telah jadi arang dalam sekejap mata.

Pujian layak diberikan pada Bupati Oloan Nababan dan jajaran yang terjun langsung memadamkan api. Tapi keberanian di lapangan tak cukup jika tak diikuti keberanian di meja kebijakan. Perlu langkah lebih konkret: audit menyeluruh terhadap perambahan, penertiban pembukaan ladang liar, hingga penegakan hukum tanpa kompromi bagi pelaku pembakaran hutan, siapapun mereka.

Sudah saatnya pemerintah daerah, TNI-Polri, dan masyarakat mengubah pola pikir: jangan hanya reaktif saat api sudah menjalar, tapi preventif sebelum bara membara. Edukasi massif, patroli rutin di musim kemarau, dan sistem peringatan dini berbasis teknologi harus diprioritaskan. Kita tak bisa terus berharap pada keberuntungan angin atau kecepatan damkar di medan curam.

Kepada masyarakat, mari sadar: membakar hutan bukan hanya pelanggaran hukum, melainkan juga pengkhianatan pada generasi mendatang. Hutan adalah tameng, bukan musuh. Danau Toba tak butuh ritual atau promosi besar-besaran jika lingkungannya terus diabaikan. Sebab wisatawan datang bukan hanya karena panorama, melainkan karena harmoni antara manusia dan alam.

Kebakaran ini harus menjadi alarm keras. Bukan hanya bagi Humbahas, melainkan bagi seluruh kawasan Danau Toba. Api ini bukan insiden terisolasi; ini gambaran dari sistem yang rapuh. Jika tak ada perombakan besar-besaran dalam tata kelola lingkungan, percayalah, musim kemarau berikutnya akan membawa cerita yang sama, dengan duka yang lebih dalam.

Kita tak bisa menyiram api dengan air mata. Yang kita butuhkan adalah keberanian menyentuh akar persoalan. Sebab jika hutan terus terbakar, maka tak hanya tanah yang tandus—jiwa kita pun ikut kering.

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |