Rusuh Di Pati Dan Wabah Pemimpin “Japang” 

1 month ago 16
Opini

14 Agustus 202514 Agustus 2025

Rusuh Di Pati Dan Wabah Pemimpin “Japang” 

Ukuran Font

Kecil Besar

14px

Oleh Dr. Andree Armilis, MA 

Di republik ini, pemimpin “Japang” tumbuh subur seperti ilalang di lahan kosong: tak diharapkan tapi massif, sulit dicabut, dan merusak pemandangan. (Ja)hat, (P)andir, dan (Ang)kuh—tiga sifat yang jika bersatu dalam satu tubuh kekuasaan, akan menjadi racun bagi demokrasi dan akal sehat. Pemimpin model ini sekarang ada di setiap sudut: dari balai desa hingga kursi kementerian. Bedanya hanya ukuran kursi, kualitas watak nyaris serupa.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Perlawanan rakyat terhadap pemimpin “Japang” adalah keniscayaan. Itu bukan sekadar amarah spontan, tapi kurikulum politik darurat. Satu cara rakyat mengajari kembali pemimpinnya soal nurani dan keadilan. Ketika aspirasi tak kunjung digubris, jalanan menjadi ruang kuliah, dan spanduk menjelma jadi buku teks yang ditulis dengan tinta amarah.

Bupati Pati adalah studi kasus yang terlalu terang untuk diabaikan. Beredar luas video kampanye, saat ia berkata lantang bahwa kebijakan kenaikan pajak membebani rakyat. Saat menjabat, ia sendiri yang menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan hingga 250%. Itulah “jahat” dalam wujud paling jelas: mengkhianati kata-kata sendiri, menginjak janji yang pernah diucapkan di hadapan publik yang memberinya mandat.

Tapi kejahatan itu tak sendirian. Ia ditemani “pandir” . Kepandiran di sini bukan berarti tak bersekolah, mungkin ijazahnya asli dan gelarnya sah, tetapi ia tumpul dalam membaca realitas sosial. Saat anggaran daerah seret, pikirannya pun macet. Jalan pintasnya: bebankan ke rakyat yang sudah melarat. Tak ada inovasi pendapatan, tak ada diplomasi anggaran, tak ada gagasan kreatif memanfaatkan potensi daerah.

Kepandiran itu lebih ironis lagi karena lahir di tanah yang punya memori sejarah perlawanan terhadap pajak. Pati bertetangga dengan Blora, di deretan pegunungan Kendeng. Wilayah itu adalah rumah sejarah bagi kisah Samin Surosentiko, pemimpin gerakan sosial di akhir abad 19 yang menolak pajak sebagai simbol perlawanan terhadap ketidakadilan kolonial. Alih-alih belajar dari sejarah, ia justru mengulang peran para mandor Belanda yang dulu dilawan rakyatnya sendiri.

Lalu menjelma pula “angkuh”, sifat demokin yang paling jitu dalam memisahkan pemimpin dari rakyatnya. Menghadapi gelombang protes, ia berkata: “Jangan cuma lima ribu, lima puluh ribu orang saya tidak takut dan tidak akan mengubah pendirian.” Kalimat ini seperti deklarasi resmi bahwa ia tak lagi memimpin dengan telinga, melainkan hanya dengan busung dada. Ia lupa bahwa rakyatlah alasan ia duduk di kursi itu. Seorang pemimpin sejati menguji keberanian bukan dengan menantang jumlah massa, tapi dengan mendengar keluh kesah warganya.

Sudewo, sayangnya, tidak sendirian. Fenomena “japang” adalah wabah nasional. Di desa, kepala desa membangun kantor megah sementara warga mencari air bersih. Di kota, wali kota menggelar festival mahal saat pengangguran meroket. Di provinsi, gubernur sibuk merangkai slogan, tapi gagap mengeksekusi kebijakan. Di pusat, menteri memandang jabatan sebagai panggung pribadi, bukan amanat publik.

Secara sosiologis, “japang” tumbuh subur di tanah yang masih memuja budaya feodal. Pemimpin dipandang sebagai tuan yang memberi belas kasihan, bukan pelayan publik yang bekerja atas mandat rakyat. Kritik dianggap hinaan, bukan peringatan. Politik yang dijalankan pun berjangka pendek (political shortermism), dirancang untuk kepentingan masa jabatan, bukan masa depan rakyat keseluruhan. Di sisi lain, banyak pemimpin mengalami kebangkrutan imajinasi: pidato lebih panjang daripada daftar solusi, dan keberanian diukur dari kata-kata, bukan perbuatan nyata.

Pati adalah alarm. Kota kecil ini membuktikan bahwa letupan kemarahan rakyat bisa muncul di mana saja. Jika alarm ini diabaikan, suaranya akan bergema di kota-kota besar dengan volume yang lebih keras dan skala yang lebih luas.

Akhirnya, kekuasaan tanpa nurani akan selalu melahirkan para “japang”. Dan “japang” yang dibiarkan akan menggerogoti republik ini dari dalam, membuat kita perlahan kehilangan rasa keadilan, rasa malu, dan rasa takut kepada Tuhan.

Penulis adalah Sosiolog & Analis Stratejik 

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |