Paradoks Fiskal Aceh Utara: Melepas Aset Emas, Bertaruh Pada Gas

3 hours ago 2
Opini

6 November 20256 November 2025

 Melepas Aset Emas, Bertaruh Pada Gas

Ukuran Font

Kecil Besar

14px

Oleh Marzuki

Ini bukanlah kemenangan mutlak. Ini adalah sebuah pertaruhan besar.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Euforia pemekaran dua daerah otonomi baru (DOB) dari Kabupaten Aceh Utara—Aceh Malaka dan Kota Panton Labu—seringkali mengaburkan analisis kritis terhadap nasib kabupaten induk. Di atas kertas, pemekaran adalah solusi untuk pemerataan dan percepatan pelayanan publik. Namun, sebuah stress test fiskal yang mendalam menunjukkan skenario yang jauh lebih kompleks dan berisiko bagi kabupaten induk yang tersisa (dikenal sebagai stub regency).

Pemekaran ini bukanlah pembagian aset yang proporsional. Kabupaten induk Aceh Utara akan mengalami tiga guncangan pendapatan (revenue shock) yang masif secara bersamaan.

Pertama, kabupaten induk akan kehilangan hampir seluruh basis Pendapatan Asli Daerah (PAD). Realisasi PAD Aceh Utara tahun 2023 yang mencapai Rp 253,1 miliar akan menguap. Mengapa? Karena dua mesin PAD utamanya diserahkan ke DOB. Mesin pertama adalah Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Arun di Kecamatan Dewantara, yang akan menjadi bagian dari Aceh Malaka. Mesin kedua adalah pusat komersial dan jasa di Kota Panton Labu (Kecamatan Tanah Jambo Aye), yang akan menjadi ibu kota DOB baru. Kabupaten induk akan tersisa dengan 16 kecamatan yang sebagian besar agraris, dengan basis PAD yang rendah dan statis.

Kedua, akan terjadi “jurang fiskal” (fiscal cliff) akibat anjloknya Dana Alokasi Umum (DAU). Formula DAU nasional sangat bergantung pada jumlah penduduk dan luas wilayah. Dengan melepaskan 11 kecamatan, termasuk Dewantara yang merupakan kecamatan terpadat, alokasi DAU untuk “stub regency” Aceh Utara akan dihitung ulang oleh Kementerian Keuangan dan dipastikan turun drastis.

Ketiga, Dana Bagi Hasil (DBH) Pajak akan runtuh. PPh 21 dari puluhan ribu potensi tenaga kerja di KEK Arun dan PBB dari aset industri bernilai triliunan di sana tidak akan lagi masuk ke kas kabupaten induk.

Melihat tiga guncangan ini, skenario kebangkrutan fiskal tampak di depan mata. Namun, di sinilah letak paradoksnya.

Analisis geo-ekonomi mengungkap fakta vital yang sering diabaikan: Aceh Utara ‘hanya’ menyerahkan aset hilir (pabrik pengolahan) di KEK Arun. Kabupaten induk, melalui Kecamatan Syamtalira Aron dan Lhoksukon, ternyata mempertahankan kepemilikan aset hulu (ladang gas).

Data menunjukkan bahwa lokasi sumur-sumur gas baru dan historis, seperti sumur A-55A dan dua titik eksplorasi baru PT Pema Global Energi (PGE), berada di Kecamatan Syamtalira Aron. Ladang gas Arun (Blok B) yang bersejarah pun secara geografis berada di wilayah Lhoksukon/Syamtalira Aron. Kedua kecamatan ini tidak termasuk dalam wilayah yang dimekarkan.

Secara hukum, DBH Migas dibayarkan berdasarkan lokasi sumur (daerah penghasil), bukan lokasi pabrik. Ini berarti, aliran pendapatan terbesar APBK Aceh Utara—yang saat ini menyumbang lebih dari 90% total anggaran —secara hukum akan tetap bertahan di kabupaten induk.

Ini bukanlah kemenangan mutlak. Ini adalah sebuah pertaruhan besar.

Kabupaten induk sedang menukar model fiskalnya secara radikal. Dari yang semula sangat bergantung pada DAU yang stabil dan dapat diprediksi (berbasis data populasi), kini menjadi ketergantungan ekstrem pada DBH Migas yang sangat volatil (berbasis harga komoditas global dan keberhasilan eksplorasi).

Masa depan fiskal “stub regency” Aceh Utara secara harfiah bergantung pada dua hal: keberhasilan PT PGE menemukan cadangan komersial baru di Syamtalira Aron dan stabilitas harga gas dunia. Jika salah satu dari dua variabel ini gagal, sementara DAU, PAD, dan DBH Pajak telah hilang, maka keruntuhan fiskal (fiscal insolvency) adalah skenario yang sangat mungkin terjadi.

Guncangan ini sedikit diredam oleh pelepasan belanja. Kabupaten induk tidak perlu lagi menanggung Belanja Pegawai untuk ribuan ASN (dari total 8.710 ASN yang bertugas di 11 kecamatan yang mekar. Namun, ini menyisakan masalah struktural baru: birokrasi pusat di Lhoksukon yang gemuk dan mahal, yang dirancang untuk mengelola 27 kecamatan, kini harus ditopang oleh pendapatan volatil untuk melayani 16 kecamatan. Ini adalah resep inefisiensi anggaran yang parah.

Pemekaran ini adalah pedang bermata dua. Kabupaten induk tidak akan langsung mati, tetapi akan hidup dalam ketidakpastian fiskal yang kronis.

Sebelum moratorium pemekaran nasional dicabut, Pemerintah Kabupaten Aceh Utara harus proaktif melakukan mitigasi. Prioritas utamanya adalah segera mendapatkan kepastian hukum dari Kementerian ESDM dan Kemenkeu mengenai status “daerah penghasil” DBH Migas untuk Blok B dan sumur-sumur baru. Kedua, cetak biru radikal untuk rightsizing (perampingan) birokrasi pusat harus disiapkan dari sekarang.

Tanpa langkah-langkah mitigasi tersebut, kita hanya akan menciptakan satu kabupaten induk yang rapuh secara fiskal, demi melahirkan dua DOB yang masa depannya juga belum tentu terjamin.

Penulis adalah Insinyur dan Pemerhati Kebijakan Publik

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |