Militerisme Dan Demokrasi

3 hours ago 1

Oleh Shohibul Anshor Siregar

Pelajaran dari Thailand, Mesir, dan Myanmar penting untuk ditelaah. Kudeta militer 2014 membekukan demokrasi selama lima tahun. Militer menguasai 20% kursi Senat, memastikan amendemen konstitusi sesuai kepentingan mereka (ICG, Thailand’s Military Rule, 2021)

Militerisme, sebagai ideologi yang menempatkan kekuatan bersenjata di jantung kekuasaan politik, telah menjadi ancaman laten bagi demokrasi sejak zaman kuno (Plutarch, Life of Lycurgus, 100 CE). Pola intervensi militer, baik melalui kudeta, kontrol ekonomi, atau infiltrasi budaya, identik ancaman universal terhadap tata kelola demokratis (Huntington, The Soldier and the State, 1957).

Militerisme tidak hanya melemahkan institusi sipil, tetapi juga mereproduksi ketidakadilan struktural yang mengikis legitimasi demokrasi (Galtung, Cultural Violence, 1990). Demokrasi hanya dapat diramalkan kebertahanannya melalui aliansi transnasional masyarakat sipil, reformasi hukum radikal, dan dekonstruksi narasi militeristik dalam budaya (Arendt, The Origins of Totalitarianism, 1951).

Sejak Plato dalam Republic (380 SM) membayangkan “penjaga” militer sebagai perisai negara ideal, hingga Presiden AS Dwight Eisenhower yang memperingatkan bahaya “kompleks industri-militer” pada 1961 (Eisenhower, 1961), ketegangan antara keamanan dan kebebasan telah menjadi paradoks abadi dalam peradaban manusia. Militerisme, sebagai manifestasi ekstrem dari paradoks ini, tidak hanya merujuk pada dominasi militer dalam politik, tetapi juga pada normalisasi kekerasan sebagai alat resolusi konflik—sebuah logika yang oleh Johan Galtung (Cultural Violence, 1990) disebut sebagai “kekerasan kultural.”

Gejala militerisasi yang kembali mengemuka, selalu mencerminkan dinamika global yang pernah menghancurkan demokrasi di berbagai belahan dunia termasuk Chile, Mesir, dan Myanmar (Valenzuela, Military Rule in Chile, 1986). Bagaimana militerisme, sebagai fenomena lintas zaman dan budaya, mengancam demokrasi abad ke-21, dan langkah apa yang harus diambil oleh pemimpin global untuk membendungnya?

Dari era Sparta ke Machiavelli, Militerisme teridentifikasi sebagai Fondasi Negara. Peradaban Sparta (abad ke-7 SM) menjadi prototipe awal militerisme, kehidupan sipil sepenuhnya tunduk pada kebutuhan dan kendali militer (Plutarch, Life of Lycurgus, 100 CE). Plutarch dalam Life of Lycurgus menggambarkan anak-anak Sparta diambil dari keluarga pada usia 7 tahun untuk menjalani pelatihan militer, sebuah sistem yang mengorbankan kebebasan individu demi “kebaikan kolektif.” Pola serupa terlihat dalam transisi Republik Romawi ke Kekaisaran di bawah Julius Caesar.

Legiun Romawi tidak hanya menjadi alat pertahanan, tetapi juga instrumen politik untuk mempertahankan kekuasaan (Tacitus, Annals, 98 M). Tacitus dalam Annals (98 M) mengkritik korupsi militer Romawi yang “mengubah senjata menjadi alat perampasan kekayaan, bukan pelindung warga”. Pada era Renaisans, Niccolò Machiavelli dalam The Prince (1532) merekomendasikan bahwa penguasa harus “mahir dalam seni perang sebelum seni lainnya,” karena “tanpa tentara yang loyal, tidak ada hukum yang bisa bertahan” (Machiavelli, The Prince, 1532).

Namun, Machiavelli juga memperingatkan bahaya tentara bayaran, sebuah pelajaran yang diabaikan oleh banyak rezim modern. Di Indonesia, warisan Machiavellian ini terlihat dalam dwifungsi ABRI era Soeharto, dengan peran militer yang tidak hanya bertugas di medan perang, tetapi juga mengontrol birokrasi, bisnis, dan bahkan lembaga pendidikan (Crouch, The Army and Politics in Indonesia, 1978).

Ekspansi kolonial Eropa abad ke-19 menjadi fase kritis dalam globalisasi militerisme (Said, Orientalism, 1978). Edward Said dalam Orientalism (1978) mengungkap bagaimana kekuatan militer Eropa dibenarkan melalui narasi “peradaban vs. Barbarisme.” Penduduk jajahan dianggap perlu “dijinakkan” melalui kekerasan.

Di India Britania, misalnya, Undang-Undang Rowlatt (1919) memberi militer Inggris kewenangan tak terbatas untuk menangkap tanpa proses hukum, kebijakan yang memicu pembantaian Amritsar dengan 379 korban jiwa (Sayer, The Rowlatt Acts and the Jallianwala Bagh Massacre, 1991). Pola serupa terlihat di Indonesia era kolonial. Koningklijk Nederlands-Indisch Leger (KNIL) menjadi alat represi menindas perlawanan pribumi (Ricklefs, A History of Modern Indonesia, 2001).

Abad ke-20 menyaksikan militerisasi mencapai puncaknya melalui Perang Dunia, rezim fasis, dan Perang Dingin (Arendt, The Origins of Totalitarianism, 1951). Hannah Arendt dalam The Origins of Totalitarianism (1951) menganalisis bagaimana Nazi Jerman dan Mussolini di Italia menggunakan militerisme untuk menghancurkan demokrasi, menggantikan hukum dengan kekerasan terinstitusionalisasi.

Di Amerika Latin, kudeta militer yang didukung AS seperti di Chile (1973) dan Argentina (1976) menunjukkan bagaimana “keamanan nasional” digunakan sebagai dalih untuk memberangus oposisi (Valenzuela, Military Rule in Chile, 1986). Ada fenomena kompleks industri-militer dan digitalisasi kekerasan. Militerisme telah berevolusi menjadi jaringan global yang menghubungkan pemerintah, korporasi, dan teknologi (Klein, The Shock Doctrine, 2007). Eisenhower telah memperingatkan pada 1961 tentang bahaya “kompleks industri-militer,” dengan industri senjata dan militer saling menguatkan untuk memengaruhi kebijakan luar negeri (Eisenhower, 1961).

Di AS, anggaran pertahanan tahun 2023 mencapai $816 miliar—lebih besar daripada gabungan anggaran 10 negara berikutnya—sementara 37 juta warganya hidup dalam kemiskinan (SIPRI, Trends in World Military Expenditure, 2023). Naomi Klein dalam The Shock Doctrine (2007) menunjukkan bagaimana krisis seperti serangan 9/11 dimanfaatkan untuk melegitimasi militerisasi, seperti pengesahan Patriot Act yang mengorbankan privasi warga.

Revolusi digital telah membuka babak baru dalam militerisme: pengawasan massal (Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism, 2019). Shoshana Zuboff dalam The Age of Surveillance Capitalism (2019) mengungkap kolaborasi rahasia antara militer AS dengan perusahaan teknologi seperti Palantir untuk memantau warga. Di Tiongkok, sistem Social Credit yang didukung AI digunakan untuk mengontrol perilaku masyarakat (Creemers, China’s Social Credit System, 2018).

Meskipun Reformasi 1998 secara formal mengakhiri dwifungsi ABRI, mantan perwira tetap tak sedikit mendominasi politik melalui kontrol atas sumber daya ekonomi dan jaringan oligarki. Edward Aspinall dalam Militant Democracy and Identity Politics in Indonesia (2019) mencatat bahwa 28% anggota DPR periode 2019-2024 memiliki latar belakang militer atau kepolisian, angka yang meningkat dari periode sebelumnya.

Konflik Papua menjadi cermin paling jelas dari kegagalan pendekatan militeristik (HRW, Indonesia: Military Abuses in Papua, 2022). Sejak integrasi 1969, militer Indonesia telah melakukan operasi keamanan yang menewaskan ribuan warga sipil. Laporan Human Rights Watch (2022) menyebutkan setidaknya 15 kasus eksekusi di luar hukum dalam dua tahun terakhir, sementara akses jurnalis asing diblokir melalui kebijakan “izin khusus.” Pendekatan ini mengabaikan akar konflik—ketimpangan ekonomi dan marginalisasi budaya—dan justru memperdalam siklus kekerasan (ICG, Konflik Papua dan Militerisasi, 2021).

Pelajaran dari Thailand, Mesir, dan Myanmar penting untuk ditelaah. Kudeta militer 2014 membekukan demokrasi selama lima tahun. Militer menguasai 20% kursi Senat, memastikan amendemen konstitusi sesuai kepentingan mereka (ICG, Thailand’s Military Rule, 2021).

Di bawah Presiden el-Sisi, militer mengontrol 60% ekonomi melalui bisnis properti, energi, dan pariwisata, sementara oposisi dipenjara dengan tuduhan “terorisme” (The Guardian, Egypt’s Military Economy, 2020). Junta militer menggunakan konflik etnis sebagai dalih untuk mempertahankan kekuasaan, sementara masyarakat sipil menghadapi kekerasan sistematis (International Crisis Group, Myanmar’s Military Regime, 2021).

Ada tiga hal yang menarik untuk didiskusikan dalam upaya mempertahankan demokrasi. Pertama, Reformasi Hukum Transnasional yang mungkin dapat berupa pembentukan traktat internasional yang melarang penjualan senjata ke negara dengan catatan pelanggaran HAM, seperti yang diusulkan oleh Koalisi Senjata Bertanggung Jawab (Amnesty International, Global Arms Trade, 2023).

Kedua, Pendanaan untuk Masyarakat Sipil. Alokasikan dana internasional untuk LSM yang mempromosikan pendidikan HAM dan pengawasan militer, seperti yang dilakukan Open Society Foundations di Asia Tenggara (OSF, Annual Report, 2022). Ketiga, Teknologi untuk Demokrasi. Kembangkan platform digital yang memantau anggaran militer secara real-time, menggunakan blockchain untuk memastikan transparansi (Transparency International, Militer dan Transparansi, 2023).

Militerisme bukanlah takdir sejarah, melainkan pilihan politik (Bermeo, Democratic Backsliding, 2016). Namun, sejarah juga menunjukkan bahwa demokrasi bisa bangkit ketika masyarakat sipil bersatu menolak otoritarianisme—seperti yang terjadi di Chile pasca-Pinochet atau Indonesia pasca-Soeharto (Aspinall, Democratization in Post-Suharto Indonesia, 2005). Tantangan bagi pemimpin dunia dan akademisi saat ini adalah memastikan bahwa abad ke-21 tidak menjadi era baru militerisme, tetapi era di mana demokrasi, keadilan, dan hak asasi manusia menjadi fondasi peradaban. Seperti kata filsuf Prancis Albert Camus, “Kebebasan tidak ada artinya tanpa perjuangan” (Camus, L’Homme Révolté, 1951).

Apa sebetulnya yang ingin dipersembahkan untuk Indonesia? HOS Tjokroaminoto mengkritik “penyakit yang menghisap darah rakyat” (Shiraishi, An Age in Motion, 1990). Sritua Arief menggugat pembangunan yang “mengorbankan rakyat demi utang dan investasi asing” (Arief, Pembangunan Tanpa Perasaan, 1983). Amartya Sen, peraih Nobel Ekonomi, mengingatkan bahwa “pembangunan sejati bukan tentang pertumbuhan ekonomi, tetapi kebebasan manusia” (Sen, Development as Freedom, 1999).

Penulis adalah Dosen Fisip UMSU, Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS).

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.

Militerisme Dan Demokrasi

Militerisme Dan Demokrasi

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |