Oleh: Muhibbullah Azfa Manik
Ketika Firaun merasa tahtanya diguncang oleh seruan seorang nabi bernama Musa, ia tidak hanya mengandalkan kekuasaan militer atau kekayaan kerajaan. Ia juga memanggil salah satu orang terdekatnya—seorang teknokrat bernama Haman. Maka dimulailah proyek yang disebut dalam Al-Qur’an sebagai bangunan menjulang tinggi ke langit. Tujuannya? Agar sang penguasa bisa “melihat” Tuhan Musa, yang baginya hanyalah sebuah dusta.
Scroll Untuk Lanjut Membaca
IKLAN
“Hai Haman, bangunkanlah untukku sebuah bangunan yang tinggi supaya aku dapat mencapai pintu-pintu langit, agar aku dapat melihat Tuhan Musa. Sesungguhnya aku memandangnya sebagai seorang pendusta.”(QS. Al-Ghafir: 36–37)
Kisah ini bukan sekadar mitos atau alegori kosong. Dalam narasi Al-Qur’an, Haman menjadi simbol dari kelas teknokrat yang kehilangan etika. Ia tahu Musa bukan pembohong, ia tahu proyek Firaun adalah kesia-siaan, tetapi ia tetap patuh, menjadikan ilmu dan kemampuannya sebagai alat legitimasi kekuasaan yang menentang kebenaran. Dalam konteks kekinian, ini adalah kritik tajam terhadap praktik pembangunan yang mengabaikan nurani.
Proyek Tanpa Akal Sehat
Kisah menara Haman adalah ironi abadi tentang bagaimana kekuasaan bisa mengabaikan logika dan nilai, selama bisa memuaskan egonya. Dalam sejarah modern, kita sering menyaksikan ulang kisah serupa: proyek-proyek infrastruktur raksasa yang mengorbankan lingkungan dan masyarakat lokal, riset sains yang dimanipulasi demi kepentingan sponsor politik, atau revolusi digital yang melanggengkan pengawasan dan otoritarianisme.
Kita hidup di zaman ketika “pembangunan” nyaris menjadi dogma. Setiap kepala daerah atau pemimpin nasional ingin meninggalkan warisan dalam bentuk beton, baja, dan menara. Namun seberapa banyak dari proyek-proyek itu yang benar-benar menjawab kebutuhan rakyat? Apakah pembangunan itu inklusif, adil, dan berkelanjutan? Atau hanya simbol kesombongan baru yang menyimpan kemiskinan di bawah bayangannya?
Dalam dunia di mana kekuasaan sering kali bersekutu dengan ilmu tanpa etika, kita butuh refleksi serius: apakah teknokrasi yang kita bangun hari ini sedang menghidupkan kembali Haman
Teknokrasi Tanpa Nurani
Haman bukan sekadar arsitek atau kepala proyek. Ia adalah representasi dari ilmuwan, insinyur, ekonom, dan birokrat yang memiliki otoritas pengetahuan, tetapi memilih diam atau ikut serta dalam ketidakadilan. Ia tahu Musa tidak berdusta, namun ia tetap membantu Firaun untuk menindasnya. Ini adalah potret dari knowledge without conscience—pengetahuan tanpa kesadaran moral.
Kita hidup di tengah kemajuan teknologi yang luar biasa. Kecerdasan buatan, big data, hingga rekayasa genetika telah membuka peluang tak terbatas. Namun, bila semua itu dikendalikan oleh kekuasaan yang hanya mengejar dominasi, maka kita sebenarnya sedang membangun menara-menara baru—bukan menuju Tuhan, tetapi menjauh dari kemanusiaan.
Di sinilah pentingnya membangun tradisi keilmuan yang berpihak. Ilmu tidak boleh netral dalam menghadapi ketidakadilan. Kampus, lembaga riset, bahkan kementerian teknis harus berani mempertanyakan arah kebijakan. Apakah hasil riset kita akan memperkuat oligarki, atau justru memberdayakan yang lemah?
Peringatan Bagi Bangsa Pembangun
Indonesia sedang berada dalam fase pembangunan besar-besaran. Hilirisasi industri, pembangunan IKN, transformasi digital—semuanya adalah agenda strategis. Namun pertanyaan dasarnya tetap sama: apakah pembangunan ini dikerjakan dalam kerangka etika, keadilan, dan partisipasi rakyat?
Kita tidak kekurangan orang pintar. Namun sering kali mereka terjebak dalam struktur yang membuat mereka seperti Haman—berdiri di tengah sistem yang menolak kebenaran, namun tetap berjalan karena loyalitas pada kuasa, bukan kebenaran.
Menara Haman memang tidak pernah selesai, tetapi ia tetap menjadi pelajaran penting bagi bangsa mana pun yang ingin membangun, tetapi lupa bertanya: untuk siapa kita membangun?
Musa dan Jalan Pembebasan
Di sisi lain kisah ini, ada Musa. Seorang nabi, tanpa infrastruktur, tanpa kementerian, tanpa birokrasi. Ia datang dengan satu hal: kebenaran. Dan pada akhirnya, justru kebenaran itulah yang menang. Kekuasaan Firaun runtuh, menara Haman sirna. Tetapi pesan mereka abadi: jangan ulangi kesombongan yang sama.
Bangsa ini membutuhkan lebih banyak “Musa” dalam makna simboliknya—akademisi, aktivis, birokrat jujur, tokoh agama, dan rakyat biasa yang berani menyuarakan akal sehat. Yang tidak takut membongkar kebohongan sistemik, meski harus menghadapi “Firaun” di zamannya.
Dalam setiap kampus, laboratorium, dan ruang rapat kebijakan, pertarungan antara Musa dan Haman masih berlangsung. Yang satu membawa kebenaran, yang lain membawa kekuasaan yang pongah. Dan sejarah, dari zaman Mesir kuno hingga abad ke-21, selalu memihak pada mereka yang berani melawan arus kesesatan, meski tanpa menara.
Penulis adalah dosen Teknik dan Manajemen Industri Universitas Bung Hatta, Pemerhati Kebijakan Pembangunan
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.