
Ukuran Font
Kecil Besar
14px
Mengenang perjanjian damai Aceh pada 15 Agustus di Helsinki, kita tidak bisa melupakan peran para wartawan yang mempertaruhkan nyawa di tengah konflik bersenjata. Mereka hadir sebagai saksi, merekam setiap detik kejadian, dan menyampaikan informasi kepada dunia. Di antara desingan peluru dan ledakan bom, ada kisah-kisah heroik tentang bagaimana para jurnalis ini selamat dari maut, seolah ada kekuatan tak terlihat yang melindungi mereka.
Drama Rumah Dikepung
Scroll Untuk Lanjut Membaca
IKLAN
April 2004, Lhokseumawe. Belasan wartawan dari berbagai media cetak dan televisi bergerak menuju Panton Labu, Aceh Utara. Mereka hendak meliput pengepungan sebuah rumah oleh TNI/Polri.
Di tengah medan tempur yang ganas, jumlah mereka tak seberapa. Namun, semangat mereka membara demi menyampaikan kebenaran.
Zainuddin Abdullah (Waspada), Hamdani (Metro TV), Nasir dan Muhammadan (SCTV), Munir Noer dan Andy (RCTI), Armia Jamil (TPI), Muchtar (Trans 7), Zul Fikri (Trans TV), Armiadi (RRI), Ismail (Serambi Indonesia), Imran (Tempo), dan M. Jafar (TV7) adalah sebagian dari nama-nama yang hadir saat kontak tembak di rumah Kapolsek Seunuddon, Meunasah Panton.

Sejumlah anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) terjebak di dalam rumah itu. Mereka menolak menyerah, memberikan perlawanan sengit selama empat hari. Wartawan mencari posisi aman, menghindari peluru nyasar.
Di tengah baku tembak, seorang anggota GAM bernama Bereukah Ghulam tewas. Oknum Brimob dan TNI berebut barang bukti: senapan AK-47 dan tas berisi uang. Mereka bahkan sempat bentrok sebelum akhirnya berpencar, khawatir menjadi sasaran tembak.
Mukhtar dari Trans 7 mencoba merekam pertempuran dari jendela sebuah rumah kayu. Saat ia menunduk, peluru melintas di atas kepalanya. Keterlambatan sedikit saja bisa berakibat fatal.
Malam hari, pemandangan berubah menjadi adegan film perang. Tembakan senjata api tampak seperti bunga api atau laser yang terbang lurus. Aparat membakar rumah itu, memaksa seorang anggota GAM bernama Bule menyerah dengan kondisi kaki terluka parah.
Terungkap fakta bahwa aparat keamanan terkecoh. Mereka mengira sedang berperang dengan banyak pasukan GAM, padahal hanya satu orang yang menggunakan strategi berpindah-pindah posisi menembak.
Desa-desa Mati
Kisah lain terjadi pada masa darurat militer 2006. Informasi tentang situasi keamanan yang memburuk membuat sejumlah desa di Aceh Utara kosong tanpa penghuni. Leubok Kliet, Alue Rimbe, Seunubok Pidie, Buket Makarti, Blang Pante, Pante Tiro, adalah beberapa di antaranya.
Ribuan warga mengungsi, menyelamatkan diri dari eskalasi kekerasan aparat keamanan yang frustrasi memburu GAM.
Rombongan wartawan memasuki Simpang Parabola dan Blang Pante. Suasana sunyi dan angker terasa begitu kuat. Ratusan rumah, sekolah, tempat ibadah, dan perkantoran kosong.
Tiba-tiba, puluhan ibu-ibu menggendong bayi mendekati wartawan. Mereka ingin kembali ke desa, membersihkan rumah, dan mencari barang yang hilang.
Setelah memotret kondisi desa yang kosong, wartawan melihat gerakan mencurigakan di semak belukar. Orang-orang berpakaian loreng mengintai dengan senjata terbidik ke arah wartawan dan warga.
Wartawan mengajak warga meninggalkan desa sebelum malam tiba, tanpa memberi tahu tentang keberadaan orang bersenjata. Mereka khawatir akan terjadi kepanikan yang memicu tembakan. Syukurnya, warga menurut tanpa menyadari bahaya yang mengintai.
Perlindungan Ilahi
Dalam tugas jurnalistik di Aceh, para wartawan perang sering berada di tengah marabahaya. Namun, mereka selamat, merasakan adanya perlindungan dari Tuhan.
Zainuddin Abdullah
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.