Kurikulum Mulok Dalam Tuntutan Masa Depan

6 hours ago 3

Oleh Dr. Shafwan Hadi Umry

KURIKULUM dalam dunia pendidikan bukan sebagai instruksi, tetapi sebagai pedoman. Dalam UUSPN pasal 37 disebutkan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar-mengajar.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Ada tiga macam jenis kurikulum, yaitu kurikulum nasional, kurikulum muatan lokal dan kurikulum berciri khas satuan pendidikan termasuk di dalamnya pesantren, sekolah kesenian, sekolah wanita, seminari dan sebagainya.

Kurikulum muatan lokal (mulok) adalah milik daerah agar peserta didik tidak terasing dari lingkungannya sendiri.

Misalnya, para murid di Pematang Siantar perlu memahami secara detail tentang Danau Toba, namun anak yang ada di Papua cukup mengetahui lokasi Danau Toba.

Pemberlakuan kurikulum muatan lokal sudah berjalan di Indonesia termasuk di daerah Sumtera Utara. Sebelum pemberlakuan tersebut anak anak belajar berdasarkan kurikulum paket buku nasional dan belum muncul paket buku lokal.

Istilah ‘lokal’ mengacu pada geografis dan ekologi yang masing-masing berbeda karakter lingkungan. Ada lingkungan persawahan, padang rumput, ladang dan termasuk juga karakter manusianya dalam lingkup etnis Batak, Mandailing, Karo, Nias, Melayu dan suku Fakfak.

Berbagai macam khazanah budaya tradisi dan adat yang sudah dilakukan pada masa lampau patut di ketahui oleh peserta didik sebagai informasi budaya daerahnya.

Rencana masa depan

Sifat kurikulum itu bisa di kembangkan, dapat dilaksanakan, perlu dipantau dan di nilai/dikaji. Dengan sifat yang terdapat pada kurikulum itu maka pengembangan kurikulum adalah memiliki tujuan, isi (bahan kajian) termasuk pokok bahasan dan subpokok bahasan (apakah perlu ditambah atau dikurangi). Kemudian kurikulum mempunyai organisasi (sistem semester dan juga alokasi waktu). Lalu yang terakhir adanya pemantauan dan penilaian.

Pembangunan 25 tahun tahap I telah di laksanakan yang bertitik tolak pada pemerataan kesempatan belajar Pembangunan 25 tahun tahap II (1994-2019) mengacu pada meningkatkan mutu (titik beratnya ialah meningkatkan intelektualitas, sikap, disiplin dan usaha). Pembangunan tahap III (2019-2044).

Peningkatan sumber daya manusia ini mengacu pada keluarga yang maju, yakni keluarga yang mempunyai rencana masa depan. Tepat sekali sebuah ungkapan indah pantun Melayu: Apa tanda sarang penyengat/ia tergantung di ujung dahan/apa tanda orang pengingat/bijak menghitung masa hadapan.

Tahap lepas landas, yakni melakukan perubahan dari kehidupan agraria (pertanian) ke tahap ekonomi industri. Pola agraria termasuk bahan-bahan mentah: daging, kedele, cengkeh, karet, rotan, adang dan kepiting diolah dalam pola industri sekaligus dapat menguasai pasaran dalam negeri dan pasaran luar negeri.

Pekerjaan untuk bersaing dengan ekonomi global ini bukanlah perkara mudah. Dampak dan usaha bersaing itu barang-barang dan produksi Indonesia harus lebih murah dan bermutu.

Dalam merebut ipteks (ilmu pengetahuan, teknologi dan seni) tersebut harus ada persepsi yang sama antara sekolah, masyarakat dan pemerintah dan rumusan sistem nilai budaya dan kesenian bangsa tidak terlepas begitu saja.

Semakin berat

Sistem informasi global yang menembusi wilayah nusantara membawa sejumlah perangkat dan sarana berupa buku-buku, komik, video, parabola jaringan internet dan televisi. Dalam situasi dan posisi semacam ini kedudukan anak-anak jangan diisolasi agar ia bisa kebal dengan aneka pengetahuan.

Kita memiliki sejumlah khazanah budaya bangsa yang tersimpan dalam tradisi lisan, folklore (asal usul kerajaan, kekuasaan, kekuatan masyarakat lokal, supremasi negeri leluhur) Kemudian mitos dan legenda, catatan sejarah.

Kesadaran untuk meneropong pemalsuan sejarah masa lalu. Otentitas sejarah yang berlandaskan salinan asli harus ada, kemudian para saksi sejarah dan harus ada versi cerita.

Pada khazanah literasi (dunia tulis-enulis) kita juga memiliki Aksara Arab Melayu (tulisan Jawi) yang banyak dipakai pada buku dan surat raja-raja, syair Melayu, cerita hikayat dan termasuk tulisan pada akte tanah , makam dan kuburan serta bangunan.

Kemampuan peserta didik dalam menguasai dunia literasi masa lalu sangat rendah bahkan mereka kehilangan kemampuan membaca surat perjanjian tanah , sistem kosesi tanah kesultanan masa lampau yang ditulis dalam aksara Arab Melayu Indonesia.(AMI).

Lebih tragis lagi generasi peserta didik di bangku sekolah dasar dan madrasah kehilangan kemampuan membaca tulisan Jawi (AMI) tersebut
Dengan program wajib belajar Sembilan tahun dan keberhasilan kita meramu apa yang berlabel “nasional”, dan apa yang berlabel “universal” mengakibatkan melupakan literasi budaya lokal seperti Bahasa daerah, aksara Arab Melayu Indonesia, seni menulis pantun dan sebagai budaya lokal kita.

Namun dampak globalisasi ini sering orang tua harus menjadi polisi di rumah sendiri. Dunia iptek memang harus dikejar karena dia lari terus dan tidak ingin menunggu publik di tengah jalan.

Sebagian besar masyarakat belum memacu diri menuju perkembangan iptek. Banyak guru yang belum menatar diri dengan dunia digital berbasis kecerdasan buatan( (artificial intelligent).

Dalam pencarian dan penemuan identitas dan jati diri, kaum muda sering menemui hambatan, kendala, dan tantangan terlebih-lebih dalam dunia modern yang dikuasai teknologi informasi digital era milineal.

Mereka memerlukan pembantuan (asistensi) dari orang yang lebih tua termasuk ibu dan bapak di rumahnya. Hal ini tidak mudah, karena masyarakat informasi milineal mengakibatkan timbulnya apa yang disebut fatherless country — sebuah negeri yang kehilangan ayah sebagai pembimbing dan pengemban pendidikan di rumah Makna dan istilah ini lebih luas dapat dimaknai sebuah negara yang tidak memiliki pemimpin atau figur otoritas yang kuat dan efektif.

Kini guru memiliki tugas yang semakin berat. Kalau dulu guru tempat bertanya dan tidak mempunyai saingan, sekarang ini jauh berbeda.

Buktinya di kampung, orang yang berpengetahuan dan memiliki wibawa bukan hanya guru. Kaum guru dapat kehilangan pengaruh terlebih lagi dengan orang yang menguasai pengetahuan, kekayaan dan kekuasaan.

Prof. Moegiadi mantan Ka. Balitbang Depdikbud pernah berceramah di Medan antara lain mengatakan, menjadi guru memang sulit. Oleh karena sangat sulit dan berat, sehingga sedikit orang yang ingin menjadi guru.

Amerika pernah mengimpor guru-guru dari Jepang dan Malaysia juga pernah mengimpor guru dari Indonesia. Menjadi kebal terhadap berbagai serangan tidaklah gampang. Harus ada komitmen dalam bentuk kerja keras dan memiliki dedikasi yang tinggi, menjadikan peserta didik agar berkualitas dengan meningkatkan SDM-nya tercermin dari hasil lulus ujian sebagai salah satu indikator mutu murid.

Mutu dan SDM murid berkaitan dengan pengetahuan (epoleksosbud) yang diterimanya, peran kurikulum, proses kegiatan belajar-mengajar, buku, alat pendidikan, guru, kepala sekolah dan organisasi lainnya sangat menentukan dalam meningkatkan kualitas murid.

Prof. Moegiadi dalam cuplikan ceramahnya menjelaskan bahwa kepala sekolah yang baik bukan harus guru yang baik, akan tetapi ia harus memiliki kepemimpinan, menguasai manajemen dan mempunyai mobilitas yang tinggi.

Dengan demikian, untuk menjabarkan kurikulum muatan lokal (mulok) yang mempetsiapkan peserta didik untuk mengasai literasi lokalnya sendiri yang bermuara ke pada keterampilan menguasai aksara daerah dan aksara AMI di masa depan diperlukan seperangkat dukungan, kepala sekolah, pemangku kepentingan, guru dan sarana serta prasarana.

Sudah tentu diperlukan ketekunan dan kesungguhan. Seperti kata pepatah, ’elok kebun karena tekun, elok ladang karena cencang.’ (Penulis dosen dan budayawan)

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |