MEDAN (Waspada.id): Farid Wajdi selaku Founder Ethics of Care/Anggota Komisi Yudisial 2015-2020, pada Selasa (4/11/2025) menyoroti kedaulatan negara tumbang di ruang digital.
Dipaparkannya, Delapan miliar dolar Amerika Serikat, setara Rp133 triliun, hilang setiap tahun dari perekonomian nasional akibat judi online. Angka itu bukan sekadar statistik; ia adalah simbol kebocoran kedaulatan, ketika negara gagal menguasai ruang digitalnya sendiri. Presiden Prabowo Subianto telah menyebutnya sebagai “kejahatan lintas batas” yang menggerogoti moral, ekonomi, dan wibawa bangsa.
Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN
Judi online telah bertransformasi dari sekadar pelanggaran moral menjadi industri kriminal global. Setiap situs ditutup, seratus domain baru lahir. Setiap rekening dibekukan, puluhan jalur transaksi digital dibuka lewat mata uang kripto, e-wallet, atau rekening perantara.
Bandarnya berpindah negara dalam hitungan menit. Sementara itu, sistem birokrasi penegakan hukum Indonesia masih berjalan dalam ritme administratif: lambat, sektoral, dan reaktif.
Kegagalan ini bersumber dari tiga hal: lemahnya sinergi kelembagaan, minimnya kedaulatan digital, dan absennya strategi global. Pemerintah menempatkan judi daring sebagai kejahatan moral, bukan sebagai ancaman ekonomi lintas negara.
Padahal di era digital, ancaman moral selalu bermuara pada disrupsi ekonomi. Koordinasi antara Kominfo, Kepolisian, OJK, dan Bank Indonesia belum menghasilkan mekanisme tunggal yang mampu melacak aliran dana secara real-time.
Sistem pemblokiran hanya mematikan pintu masuk, bukan memutus jaringan suplai. Negara-negara lain menunjukkan bahwa judi daring hanya bisa dikalahkan dengan tangan besi regulasi dan kecepatan digital.
Di Arab Saudi, perjudian tidak hanya dilarang keras, tetapi diburu dengan algoritma otomatis berbasis AI yang memindai konten daring 24 jam sehari. Pelaku tidak hanya dipidana, tetapi juga diblokir akses digital dan perbankannya.
Hasilnya, tingkat aktivitas perjudian daring di Saudi hampir nol, bukan karena moral semata, tetapi karena penegakan teknologinya menakutkan.
Singapura menerapkan model Remote Gambling Act 2014, yang memblokir setiap transaksi keuangan dan iklan judi daring melalui kerja sama lintas lembaga, polisi, otoritas moneter, dan penyedia internet.
Negara kota itu juga memiliki Digital Forensic Centre yang memantau pola transaksi digital lintas rekening, bukan sekadar situs web.
Korea Selatan bahkan menggabungkan algoritma kepolisian dengan data perbankan untuk menelusuri “pola kebiasaan taruhan” warga digital.
Pemerintahnya menindak bukan hanya bandar, tetapi juga jaringan teknologi yang mendukungnya, dari pembuat aplikasi hingga penyedia iklan daring. Indonesia memiliki perangkat hukum, tetapi kehilangan sense of urgency.
Kebijakan pemblokiran jutaan situs tidak menyentuh jantung masalah: uang dan jaringan. Aparat bergerak setelah fakta, bukan sebelum kejadian. Bahkan laporan publik sering kali lebih cepat dari respon kelembagaan.
Kerugian ekonomi akibat judi online tidak berhenti pada angka triliunan. Ia menimbulkan efek domino: penurunan produktivitas, peningkatan utang konsumtif, disintegrasi keluarga, dan krisis moral generasi muda. Laporan
Komdigi menyebutkan sebagian besar pelaku berasal dari usia produktif, termasuk ASN, pelajar dan mahasiswa. Mereka diseret oleh algoritma yang memanipulasi rasa ingin cepat kaya, sebuah candu sosial yang sulit disembuhkan.
Negara yang gagal menegakkan hukum di dunia digital pada akhirnya kehilangan legitimasi di dunia nyata.
Ketika publik melihat aparat sibuk mengumumkan jumlah situs yang diblokir sementara promosi judi terus bermunculan di media sosial, kepercayaan terhadap pemerintah ikut tergerus. Kekuasaan negara tampak besar di atas kertas, tetapi tak berdaya menghadapi musuh tanpa wajah.
Judi online bukan sekadar pelanggaran etika, melainkan ujian sejauh mana negara mampu menegakkan hukum di ruang yang tak berbatas. Kegagalannya menunjukkan birokrasi analog tak mampu menghadapi kejahatan algoritmik.
Tanpa kebijakan yang terintegrasi, teknologi yang cepat, regulasi yang tegas, dan kemauan politik yang kuat, negara hanya akan menjadi penonton di ruang digital yang seharusnya ia kuasai.
Kedaulatan sejati kini tak lagi diukur dari luas wilayah, melainkan dari kemampuan menjaga moral dan ekonomi warganya di dunia maya. Ironisnya dalam pertarungan itu, Indonesia masih jauh dari posisi menang.(id18)
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.




















































