MEDAN (Waspada.id): Berita tentang terbakarnya rumah seorang hakim yang sebelumnya meminta jaksa KPK menghadirkan Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution, di persidangan kasus korupsi jalan Dinas PUPR Sumut mengguncang publik dan menimbulkan kegelisahan serius.
Insiden ini bukan hanya soal kebakaran semata, melainkan alarm keras bagi integritas sistem peradilan dan jaminan keamanan bagi para penegak hukum. Di tengah upaya memperkuat independensi yudisial, peristiwa ini menantang keseriusan negara dalam melindungi mereka yang berdiri di garda terdepan penegakan keadilan.
Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN
Hal itu ditegaskan Assoc Prof Dr Farid Wajdi, SH, MHum, founder Ethics of Care juga anggota Komisi Yudisial (KY) 2015-2020 kepada Waspada.id, Selasa (4/11/2025) malam.
Seperti diketahui pada Selasa pagi, rumah hakim Khamanzaro Waruwu yang meminta Jaksa menghadirkan Gubernur Sumut Bobby Nasution di Jl. Pasar 2, Komplek Taman Harapan Indah, Lingkungan 13, Kel. Tanjung Sari, Medan, terbakar.
Farid pun menyebut independensi hakim adalah jantung dari rule of law. Namun, kebebasan hakim dalam memutus perkara tidak akan pernah bermakna jika tidak disertai jaminan keamanan dan perlindungan yang efektif.
Ketika seorang hakim mengalami musibah yang mencurigakan setelah memerintahkan pemanggilan tokoh politik ternama, publik wajar bertanya: apakah ini sekadar kebetulan, atau sinyal adanya tekanan terhadap lembaga peradilan?
“Dalam konteks hukum Indonesia yang masih bergulat dengan bayang-bayang intervensi politik dan kekuasaan, kejadian seperti ini menimbulkan kekhawatiran ancaman terhadap hakim dapat menjadi cara halus untuk membungkam keberanian moral aparat hukum,” ungkapnya.
Farid menyebut situasi ini menunjukkan betapa rapuhnya sistem perlindungan terhadap hakim di Indonesia. Selama ini, fokus kebijakan lebih diarahkan pada pembenahan etik dan disiplin hakim, sementara aspek keselamatan personal dan fisik sering terabaikan.
Padahal, lanjutnya, ancaman tidak selalu berbentuk suap atau gratifikasi; ia juga bisa hadir dalam bentuk intimidasi, teror, bahkan kekerasan terhadap kehidupan pribadi aparat.
“Jika negara gagal menyediakan perlindungan menyeluruh, maka independensi peradilan akan tergerus oleh ketakutan, dan keadilan substantif akan tergantikan oleh kompromi,” cetusnya.
Farid menegaskan dalam konteks inilah Komisi Yudisial (KY) seharusnya memainkan peran strategis yang lebih proaktif.
Berdasarkan mandat konstitusionalnya, KY bukan hanya berfungsi mengusulkan pengangkatan hakim agung dan menjaga kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, tetapi juga memiliki fungsi perlindungan moral dan institusional terhadap hakim.
“Artinya, KY harus mampu menjadi buffer institution, lembaga penyangga antara hakim dan potensi tekanan dari pihak eksternal,” ujarnya.
KY seharusnya tidak hanya bergerak setelah ada pelanggaran etik, tetapi juga membangun sistem deteksi dini terhadap ancaman terhadap hakim, baik dalam bentuk tekanan politik, intervensi ekonomi, maupun ancaman fisik.
Melalui koordinasi dengan Mahkamah Agung, Polri, dan lembaga keamanan, KY dapat merumuskan protokol perlindungan yudisial, misalnya dengan mekanisme pengamanan residensial bagi hakim yang menangani kasus berisiko tinggi, sistem pelaporan ancaman secara cepat, hingga penyediaan bantuan hukum dan psikologis bagi keluarga hakim yang terancam.
Lebih jauh, kata Farid, KY juga harus berani mengambil peran advokatif di ruang publik, menjadi suara lembaga yudikatif ketika ada ancaman terhadap independensi hakim.
Ketika rumah hakim terbakar dalam konteks kasus sensitif, KY seharusnya segera membentuk tim investigasi independen untuk memastikan bahwa tidak ada unsur intimidasi yang dibiarkan tanpa penyelidikan.
“Ketiadaan sikap tegas dapat ditafsirkan sebagai pembiaran, yang pada akhirnya mengikis kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan,” ucapnya.
Kebakaran rumah hakim ini adalah ujian integritas dan kesiapan negara dalam menjamin tegaknya keadilan tanpa rasa takut.
Hakim, jaksa, dan aparat penegak hukum lainnya tidak boleh dibiarkan menghadapi ancaman sendirian.
Perlindungan mereka adalah bagian dari perlindungan terhadap keadilan itu sendiri.
Jika ke depan KY mampu mengaktualisasikan mandatnya secara berani, bukan sekadar pengawas etik, tetapi juga penjaga independensi dan keamanan hakim secara utuh, maka tragedi seperti ini bisa menjadi momentum reformasi kelembagaan yang berarti.
Pada akhirnya, kata Farid, api yang membakar rumah seorang hakim semestinya tidak membakar semangat penegakan hukum, tetapi justru menyalakan kesadaran keadilan tidak akan pernah tegak tanpa keberanian yang dilindungi negara.
“Di sinilah peran Komisi Yudisial, bersama seluruh instrumen hukum nasional, harus tampil sebagai benteng terakhir, memastikan setiap hakim dapat menegakkan hukum tanpa gentar, karena negara berdiri di belakangnya,” demikian Farid Wajdi. (id96)
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.




















































