Lelang itu bertentangan karena subjek hukum telah berubah dari termohon eksekusi menjadi ahli waris. Tanpa surat kuasa khusus baru, maka tindakan eksekusi itu berpotensi batal demi hukum. | Khalied Affandi, Kuasa Ahli Waris.
BANDA ACEH (Waspada.id): Polemik hukum terkait eksekusi aset milik almarhum dr. H. M. Saleh Suratno, mantan Direktur RS Teungku Fakinah, kembali mencuat setelah dua pihak—Pengadilan Negeri (PN) Banda Aceh dan kuasa ahli waris almarhum—menyampaikan pendapat yang berbeda.
Scroll Untuk Lanjut Membaca
IKLAN
PN Banda Aceh melalui Humas-nya, Jamaluddin, S.H., M.Hum, menegaskan bahwa seluruh proses eksekusi telah berjalan sesuai hukum dan berdasarkan putusan berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Namun, pihak ahli waris melalui kuasa hukumnya, Khalied Affandi, S.H., menilai pelaksanaan tersebut mengandung cacat formil, ketimpangan hukum, serta menimbulkan kesan adanya “peradilan sesat.”
PN Banda Aceh: Eksekusi Didasarkan pada Putusan Inkracht
Dalam keterangan tertulis yang diterima redaksi Minggu (19/10), Humas PN Banda Aceh, Jamaluddin, menyatakan bahwa eksekusi terhadap aset milik almarhum dr. H. M. Saleh Suratno merupakan tindak lanjut dari permohonan Yayasan Tengku Fakinah Banda Aceh sebagai pemohon eksekusi, berdasarkan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 2240 K/Pdt/2018 tanggal 8 Oktober 2018.
“Pelaksanaan eksekusi dilakukan bukan untuk pembayaran utang berdasarkan hak tanggungan, tetapi untuk memenuhi amar putusan perdata yang telah berkekuatan hukum tetap,” ujar Jamaluddin.
Ia menjelaskan, perkara perdata tersebut berawal dari gugatan Yayasan Tgk. Fakinah terhadap dr. H. M. Saleh Suratno yang telah diputus secara berjenjang—mulai dari PN Banda Aceh (Putusan Nomor 24/Pdt.G/2017/PN Bna), kemudian dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Banda Aceh (Nomor 17/PDT/2018/PT Bna), dan terakhir diputus oleh Mahkamah Agung melalui putusan kasasi dan peninjauan kembali (PK) yang semuanya menolak upaya hukum Saleh Suratno.
Setelah seluruh putusan berkekuatan tetap, PN Banda Aceh menerima permohonan eksekusi dari pihak Yayasan pada 27 Februari 2019 dengan register Nomor 1/Pdt.Eks/2019/PN Bna. Ketua PN kemudian menetapkan pemanggilan aanmaning pada 25 Maret 2019 dan melaksanakannya pada 4 April 2019.
“Proses aanmaning dilakukan sesuai ketentuan. Karena termohon eksekusi telah meninggal dunia, maka pemanggilan disampaikan kepada para ahli waris,” jelas Jamaluddin.

Ia menyebut, keenam ahli waris almarhum yang terdiri dari Zuraida Usman Bany, Alfiandri, Dina Andriana, Uyun Mufaza, dan M. Ridha Irfandi, bersama kuasa hukumnya Khalied Affandi, S.H., telah dipanggil resmi pada 30 September dan 4 November 2020. (Keterangan ini dibantah oleh ahli waris).
PN Banda Aceh juga menegaskan bahwa pelaksanaan eksekusi dilakukan setelah melalui tahapan hukum yang lengkap, mulai dari penetapan sita eksekusi, penunjukan appraisal, penetapan harga limit, hingga pengajuan lelang ke KPKNL Banda Aceh.
“Surat pengajuan ke KPKNL dikirim melalui surat Nomor W1.U1/3511/HK.02/VII/2022 tanggal 25 Juli 2022, dan lelang dilaksanakan pada 29 September 2022. Namun lelang saat itu tidak diminati peserta,” ungkap Jamaluddin.
Ia menambahkan, keberatan pihak ahli waris terhadap sita eksekusi telah diperiksa dalam gugatan perlawanan Nomor 36/Pdt.Bth/2021/PN Bna yang diputus pada 13 April 2022. Dalam amar putusannya, majelis hakim menyatakan gugatan perlawanan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
“Banding sempat diajukan, namun kemudian dicabut. Gugatan baru pun diajukan kembali oleh pihak ahli waris dengan register Nomor 19/Pdt.Bth/2022/PN Bna,” katanya.
Terkait tudingan adanya “peradilan sesat”, Jamaluddin menegaskan bahwa eksekusi tersebut dijalankan atas dasar hukum yang sah dan sesuai perintah undang-undang.
“Setiap warga negara berhak menilai, namun pelaksanaan eksekusi ini dilakukan berdasarkan putusan yang telah inkracht dan bukan atas dasar subjektivitas lembaga peradilan,” pungkasnya.
Kuasa Ahli Waris: Eksekusi Cacat Formil dan Tak Manusiawi
Di sisi lain, kuasa hukum ahli waris, Khalied Affandi, S.H., dalam surat klarifikasi tertanggal 20 Oktober 2025, menyampaikan bahwa pelaksanaan eksekusi oleh PN Banda Aceh tidak sepenuhnya sesuai ketentuan hukum acara. Ia menilai ada pelanggaran formil karena surat kuasa yang digunakan dalam proses eksekusi masih merujuk pada surat kuasa lama, bukan surat kuasa khusus baru atas nama ahli waris.
“Hal ini jelas bertentangan dengan prinsip hukum acara perdata, karena subjek hukum telah berubah dari termohon eksekusi menjadi ahli waris. Tanpa surat kuasa khusus baru, maka tindakan eksekusi itu berpotensi batal demi hukum,” tegas Khalied.
Khalied Affandi, Kuasa Ahli Waris
Ia juga menyoroti inkonsistensi antara putusan pidana dan perdata dalam perkara yang sama. Dalam perkara pidana Nomor 1426 K/PID/2016, dr. H. M. Saleh Suratno dinyatakan bersalah dan menyebabkan kerugian Yayasan Tgk. Fakinah sebesar Rp7,17 miliar. Namun, dalam perkara perdata Nomor 2240 K/Pdt/2018, Mahkamah Agung menetapkan nilai ganti rugi sebesar Rp14,51 miliar.
“Dengan adanya dua angka yang berbeda, muncul pertanyaan besar: apakah keadilan substantif telah benar-benar ditegakkan? Karena dalam hal ini, kebenaran materil dalam perkara pidana dikalahkan oleh kebenaran formil dalam perkara perdata,” jelas Khalied.
Lebih lanjut, ia mengungkapkan bahwa eksekusi terhadap empat bidang tanah milik keluarga almarhum dilakukan tanpa mempertimbangkan aspek kemanusiaan.
“Sebagian dari tanah yang dieksekusi merupakan tempat tinggal dan sumber penghidupan ahli waris. Tindakan itu tidak saja menimbulkan kerugian materiil, tetapi juga luka batin yang mendalam,” katanya.
Khalied membenarkan para ahli waris telah dipanggil untuk menghadap Ketua Pengadilan Negeri Banda Aceh pada tanggal 30 September 2020 dan 4 November 2020 melalui pemberitahuan resmi. “Namun, saudara Alfiandri tidak hadir karena berada di Jakarta, sehingga tidak benar seluruh ahli waris hadir,” tegasnya.
Khalied juga menekankan bahwa seluruh aset peninggalan almarhum merupakan harta bersama (gono-gini) selama masa perkawinan, yang seharusnya terlebih dahulu dibagi secara faraidh (waris Islam) sebelum dijadikan jaminan pelunasan kewajiban.
“Oleh karena itu, semestinya dilakukan verifikasi dan pembagian faraidh terlebih dahulu. Tanpa langkah itu, eksekusi atas seluruh aset dapat dianggap melanggar prinsip keadilan dan proporsionalitas,” tambahnya.
Dalam penutup suratnya, Khalied menyampaikan bahwa tanggapan tersebut disampaikan dalam koridor etika profesi advokat.
“Tujuan kami bukan untuk menyerang lembaga peradilan, tetapi mengingatkan bahwa hukum tidak boleh kehilangan hati nurani. Pelaksanaan keadilan sejati harus berpihak pada kebenaran dan kemanusiaan,” tulisnya.
Sengketa Hukum Masih Berlanjut
Kasus hukum almarhum dr. H. M. Saleh Suratno menjadi sorotan publik Aceh sejak awal, karena melibatkan tokoh medis ternama yang juga aktif dalam berbagai kegiatan sosial. Sengketa ini berawal dari dugaan penyalahgunaan keuangan Yayasan Tgk. Fakinah yang kemudian bergulir ke ranah pidana dan perdata.
Kini, setelah termohon eksekusi meninggal dunia, sengketa beralih ke tangan para ahli waris. Mereka masih memperjuangkan agar eksekusi terhadap aset keluarga dilakukan secara lebih proporsional dan adil.
Pengacara senior J Kamal Farza, yang pernah menjadi pengacara H Saleh Suratno, juga mengecam tindakan pengadilan yang semena-mena melelang aset harta bersama milik Alm Saleh Suratno. “ini tidak bisa dibiarkan dan harus dilawan,” tegasnya. Kamal Farza lantas mengutip Undang-Undang Perkawinan: Pasal 36 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa untuk melakukan tindakan atas harta bersama, diperlukan persetujuan kedua belah pihak.
J Kamal Farza, Pengacara Senior
Kamal Farza juga mengutip Kompilasi Hukum Islam (KHI): Pasal 92 KHI yang menegaskan bahwa suami atau istri tidak boleh menjual atau memindahkan harta bersama tanpa persetujuan pihak lain.
Kemudian landsan lain, katanya, Yurisprudensi Mahkamah Agung: Putusan Mahkamah Agung, seperti Putusan No. 701 K/PDT/1997, secara tegas menyatakan bahwa jual beli harta bersama tanpa persetujuan salah satu pihak adalah tidak sah dan batal demi hukum.
“Secara perdata, pihak yang merasa dirugikan dapat menggugat pembatalan jual beli dan meminta ganti kerugian. Sedangkan ditinjau dari hukum pidana: pihak yang menjual tanpa persetujuan dapat dilaporkan ke polisi dengan tuduhan penggelapan, sebagaimana diatur dalam Pasal 372 KUHP,” kata pengacara senior J Kamal Farza, kepada Waspada.id, Senin (20/10).
Sejauh ini, PN Banda Aceh tetap berpegang pada prinsip hukum positif bahwa setiap putusan pengadilan yang telah inkracht wajib dilaksanakan. Sementara pihak ahli waris masih membuka peluang untuk menempuh langkah hukum lanjutan, termasuk peninjauan kembali atau permohonan perlindungan hukum ke Mahkamah Agung RI.
Kasus ini menegaskan kompleksitas pelaksanaan hukum perdata di Indonesia, terutama ketika bersinggungan dengan aspek kemanusiaan, hak waris, dan keadilan substantif. Publik pun menantikan bagaimana pengadilan dan pihak terkait akan menyeimbangkan antara kepastian hukum dan rasa keadilan dalam perkara yang kini menjadi sorotan luas tersebut.(id03)
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.