MEDAN (Waspada): Tidak banyak orang menangkap peluang dari olahan tempe. Makanan tradisional Indonesia yang terbuat dari fermentasi kedelai ini umumnya masih dijajakan dalam bentuk segar.
Namun berbeda dengan Juliana, pemilik usaha dengan brand Segala Tempe, yang justru melirik peluang lain dan ingin membawanya naik kelas.
Scroll Untuk Lanjut Membaca
IKLAN
Ditemui di sela-sela gelaran Karya Kreatif Sumatera Utara (KKSU) 2025 di Delipark Medan, Sabtu (20/7), Nana—sapaan akrab Juliana—ingin membuktikan bahwa tempe itu kuat, bukan seperti anggapan banyak orang tentang “mental tempe” yang berarti lemah.
“Tapi saya justru ingin tunjukkan, tempe itu kuat. Tinggi protein, sehat, dan bisa tampil premium,” ujarnya.
Hal ini ia buktikan lewat produk tempe higienis berkualitas tinggi yang kini mulai menembus pasar ritel.
Lewat pendekatan modern tanpa meninggalkan akar tradisi, Nana membuktikan bahwa tempe bisa naik kelas dan tampil elegan di etalase mana pun.
Usaha yang dirintisnya sejak 2020 ini lahir dari “hikmah pandemi”. Ketika banyak orang kehilangan arah, Nana justru memulai langkah kecilnya berkat ajakan seorang ustaz yang juga Duta Tempe Sumatera Utara sekaligus pembina Rumah Tempe Indonesia (RTI).
Awalnya ia hanya membantu. Namun ketika pandemi mereda, suami dan sepupu yang semula ikut memproduksi tempe memutuskan mundur.
Nana tak gentar. Ia memilih terus melangkah dan mengambil alih sepenuhnya. Dari situ, tekadnya tumbuh. Ia mulai serius menekuni usaha tempe dan mengikuti berbagai pelatihan yang membekalinya dengan ilmu produksi higienis.
Bersama RTI Bogor, ia belajar memproduksi tempe press dengan pendekatan profesional. Salah satu hal yang ia tekankan sejak awal adalah pemilihan bahan baku berkualitas.
Ia menggunakan kedelai pilihan dan air RO (reverse osmosis), standar air bersih yang biasa digunakan dalam produksi makanan steril.
“Yang membedakan tempe enak itu airnya,” tegasnya.
Namun lebih dari sekadar kualitas rasa, Juliana punya misi pribadi: mengubah cara pandang masyarakat terhadap tempe.
“Selama ini tempe dianggap makanan darurat, padahal kandungan proteinnya tinggi. Saya ingin angkat derajat tempe,” ujarnya.
Dengan tekad itu, ia menciptakan produk tempe batangan higienis seberat 350 gram, yang dijual Rp10 ribu per bungkus—harga yang jauh lebih tinggi dibanding tempe pasar biasa, namun tetap dicari karena kualitasnya.
Langkahnya semakin mantap setelah bergabung dengan Forum Komunikasi Muslimah Indonesia (FKMI). Wadah ini, menurutnya, sangat berperan dalam perkembangan usahanya.
Lewat FKMI, Juliana tidak hanya mendapat tempat untuk promosi dan berjualan, tetapi juga diarahkan untuk melengkapi perizinan usaha, belajar strategi bisnis, hingga membentuk mindset pelaku UMKM yang siap naik kelas.
“Saya besar karena FKMI. Di sinilah rumah kedua kami,” katanya.
Perlahan tapi pasti, Segala Tempe masuk ke toko-toko ritel. Sebagian kerja sama bersifat berbayar, sebagian lainnya datang sendiri karena melihat kualitas dan kelengkapan dokumen produk.
Ia juga tak main-main soal legalitas: setiap produk yang dirilis harus lebih dulu mengantongi izin, mulai dari PIRT, halal, hingga NIB.
“Kalau nggak punya izin itu odong-odong. Itu yang saya ingat dari kata ibu Ketua FKMI,” celetuknya sambil tertawa.
Tak berhenti pada tempe segar, sejak 2023 Juliana mulai mengembangkan produk turunan.
Ia membuat keripik tempe original dan daun jeruk, tempe kerik yang gurih, hingga mendoan frozen lengkap dengan sambal kecap. Varian terbaru, mendoan fresh, kini juga telah tersedia di pasar ritel.
Semua produk tetap mengusung standar yang sama: higienis, bergizi, dan legal.
“Pokoknya semua harus siap izin dulu, baru saya jual,” tegasnya.
Puncak kejutan datang saat Juliana lolos kurasi KKSU 2025, ajang bergengsi yang digelar oleh Bank Indonesia. Ia sempat ragu karena usianya yang sudah 44 tahun.
“Biasanya acara BI itu untuk pelaku usaha di bawah umur 40. Tapi karena dorongan teman-teman FKMI, saya berani ikut,” katanya.
Tak hanya tampil di KKSU, ia juga membuka jalan baru agar produk tempenya dikenal lebih luas dan menjangkau pasar nasional.
Kini, dari rumah produksinya di Marendal II, aroma tempe segar buatan Juliana menyebar setiap hari.
Ia memproduksi sendiri dari dapur rumahan yang tertata bersih, lalu mendistribusikannya ke berbagai penjuru Kota Medan dan sekitarnya.
Juliana percaya, produk lokal bisa bersaing jika dibekali dengan niat, ilmu, dan kemasan yang meyakinkan. Dan dari balik bungkus tempe yang tampak sederhana itu, tersimpan pesan yang kuat dari seorang ibu rumah tangga yang ingin menggoyang stigma.
“Saya ingin buktikan, tempe itu bukan lauk kelas dua. Tempe bisa premium, bisa modern, bisa… Segala!” pungkasnya.(m22)
.
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.