Judol ASN Dan Retaknya Moral Birokrasi

4 hours ago 4

Oleh: Dr. H. Tumpal Panggabean, M.A. & Dr. Hendrizal, S.IP., M.Pd.

Beberapa hari terakhir, publik dibuat geleng-geleng kepala. Data dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menunjukkan ada 1.037 aparatur sipil negara (ASN) dan tenaga honorer di lingkungan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara yang terindikasi melakukan transaksi judi online (judol) dengan nilai lebih dari Rp2,1 miliar.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Seribu lebih! Jumlah itu bukan hanya besar, tapi juga memalukan. Apalagi kalau kita ingat, mereka ini adalah orang-orang yang digaji dari uang rakyat untuk melayani publik, bukan ikut main judi.

Sekilas, kasus ini mungkin tampak seperti berita sensasional biasa. Tapi kalau kita mau melihat lebih dalam, ini bukan sekadar cerita tentang orang yang kalah taruhan. Ini cermin dari kerusakan nilai, moral, dan sistem hukum yang mengatur birokrasi kita.

Dari kacamata sosiologi hukum, fenomena seperti ini adalah gejala sosial yang serius. Bukan cuma soal individu yang ‘khilaf’, tapi soal lingkungan sosial dan sistem yang memberi ruang untuk penyimpangan itu tumbuh.

Mari kita lihat datanya. PPATK menemukan 1.037 ASN dan tenaga honorer Pemprov Sumut terlibat transaksi judi daring senilai Rp2.188.550.182.

Dari jumlah itu, ada sekitar 26 orang yang bermain dengan nominal besar, di atas Rp10 juta. Tapi lebih banyak lagi yang melakukannya dalam jumlah kecil tapi rutin.

Kalau dijumlahkan secara nasional, perputaran uang judi online di Indonesia sudah luar biasa. Sejak 2017 hingga pertengahan 2025, nilainya hampir menembus Rp977 triliun.

Transaksi demi transaksi terjadi jutaan kali, dan banyak di antaranya melibatkan pegawai negeri.

Jadi, ini bukan kasus tunggal di Sumatera Utara. Ini fenomena nasional. Sumut hanya menjadi contoh yang kebetulan lebih terlihat.

Masalahnya, kita sudah punya hukum dan aturan yang tegas. PP Nomor 94 Tahun 2021 jelas melarang ASN berjudi, dengan ancaman hukuman mulai dari teguran hingga pemberhentian.

Tapi hukum di atas kertas sering kalah dari ‘hukum sosial’ di lapangan. Kalau di lingkungan kerja ada pembiaran, kalau atasan menutup mata, kalau teman-teman
kerja menganggap judi online cuma hiburan kecil, maka aturan formal itu kehilangan taringnya.

Inilah yang disebut oleh para sosiolog hukum sebagai kesenjangan antara hukum formal dan hukum sosial.

Artinya, meski aturan tertulisnya keras, tapi budaya di lingkungannya lembek. Hukum jadi seperti pajangan di dinding: ada, tapi tidak hidup.

Tak bisa dimungkiri, hidup jadi ASN, apalagi tenaga honorer, tidak mudah. Gaji yang paspasan, biaya hidup yang naik terus, dan beban sosial yang berat kadang membuat orang mencari ‘pelarian’ cepat.

Judi online menawarkan semuanya: hiburan, harapan menang besar, dan pelarian dari stres.

Dulu orang harus sembunyi-sembunyi ke tempat tertentu untuk berjudi. Sekarang, cukup dengan ponsel di tangan, semua bisa dilakukan. Cukup beberapa klik lewat e-wallet, transaksi pun selesai.

Tidak ada yang melihat, tidak ada yang menegur. Dunia digital membuka peluang sebesar-besarnya, tapi juga jebakan yang tak kalah besar.

Masalahnya, literasi digital ASN kita masih rendah, sementara kontrol internal di birokrasi belum siap menghadapi perubahan secepat ini. Ketika pengawasan longgar dan godaan mudah diakses, jatuh ke dalamnya tinggal soal waktu.

Dampak terbesar dari semua ini sebenarnya bukan cuma soal uang yang hilang, tapi runtuhnya kepercayaan publik. Birokrasi hidup dari kepercayaan rakyat. Begitu kepercayaan itu retak, maka pelayanan publik ikut lumpuh. Rakyat akan sinis terhadap aparatur negara.

Mereka akan berpikir, ‘Untuk apa patuh, kalau yang di atas juga melanggar?.’

Kerusakan moral ini jauh lebih berbahaya daripada kehilangan uang. Karena begitu moral publik rusak, hukum pun kehilangan maknanya.

Negara bisa punya seribu aturan, tapi kalau orang tak lagi percaya, hukum tak akan berjalan.

Lalu, apa yang bisa kita lakukan? Jawabannya bukan cuma soal memberi sanksi berat. Kita perlu pembenahan nilai dan sistem.

Pertama, penegakan disiplin harus tegas dan terbuka. Kalau ada ASN yang terbukti berjudi online, prosesnya harus cepat dan transparan. Publik berhak tahu bahwa negara serius membersihkan dirinya sendiri.

Kedua, pengawasan keuangan ASN harus berbasis data. Kolaborasi antara PPATK, BKN, dan Badan Kepegawaian Daerah harus diperkuat. Audit rutin berbasis digital bisa mendeteksi transaksi mencurigakan sejak dini.

Ketiga, pembinaan moral dan mental sangat penting. ASN yang terjerat judi online tidak semuanya jahat; sebagian adalah korban tekanan sosial dan godaan digital. Mereka perlu disadarkan, dibimbing, bahkan mungkin direhabilitasi.

Keempat, pengawasan terhadap fintech dan e-wallet perlu diperketat. Pemerintah harus bekerja sama dengan OJK dan penyedia layanan digital untuk menutup jalur pembayaran ke situs judi daring. Jangan sampai sistem keuangan kita malah menjadi pintu masuk bagi praktik ilegal.

Pada akhirnya, kasus ini harus dibaca sebagai cermin besar: birokrasi kita sedang krisis moral. ASN seharusnya menjadi teladan integritas. Tapi kalau justru mereka ikut berjudi, bagaimana rakyat bisa percaya bahwa negara dijalankan oleh orang-orang berintegritas?

Pemimpin birokrasi harus mulai dari diri sendiri. Keteladanan jauh lebih kuat daripada aturan. Ketika atasan hidup sederhana dan tegas menjaga integritas, bawahan akan ikut.

Tapi kalau pimpinan sendiri permisif, jangan berharap kejujuran tumbuh di bawahnya.

Kasus 1.037 ASN di Sumatera Utara ini memang memalukan, tapi ia juga membuka kesempatan. Kalau ditangani serius, ia bisa menjadi titik balik untuk reformasi nilai dalam birokrasi kita.

Tapi kalau dibiarkan berlalu seperti kabar angin, maka kita sedang menunggu waktu saja sampai kasus serupa muncul di provinsi lain, mungkin dengan angka yang lebih besar.

Negara ini tidak akan hancur karena kekurangan uang, tapi karena kehilangan moral. Dan kasus judi online ASN adalah bukti nyata bahwa keretakan moral itu sedang terjadi di depan mata kita.

Pertanyaannya tinggal satu: apakah kita mau membiarkannya terus membusuk, atau mulai memperbaikinya sekarang juga? Jujurlah!.

Penulis pertama: (Dr. H. Tumpal Panggabean, M.A.) adalah Ketua Presidium ICMI Muda Pusat

Penulis kedua: (Dr. Hendrizal, S.IP., M.Pd.) adalah Peneliti ICMI Muda dan Dosen Pascasarjana S2 Pendas-PGSD FKIP Universitas Bung Hatta, Padang.

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |