Ironis, DPR Soroti Dana Pemda Yang Mengendap

4 hours ago 1

JAKARTA (Waspada.id): Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Ahmad Doli Kurnia, menyoroti adanya dana pemerintah daerah sebesar Rp 234 triliun yang dilaporkan mengendap di perbankan merupakan kondisi ironis, mengingat banyak kepala daerah sebelumnya mengeluhkan keterbatasan anggaran untuk membiayai pembangunan di daerah.

“Negara menginginkan agar proses pembangunan di seluruh aspek dan wilayah berjalan berkesinambungan.,” kata Doli dalam diskusi Dialektika Demokrasi bertema “Dari Mengendap ke Berdampak: Optimalisasi Anggaran Pemda untuk Pembangunan’, di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (23/10).

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Namun ironinya, lanjut politik politisi Partai Golkar itu, beberapa hari lalu kita mendapat informasi dari Menteri Keuangan bahwa ada sekitar Rp 234 triliun anggaran daerah yang tidak terserap dan justru mengendap di bank. Menurut Doli, situasi ini menjadi kontradiktif karena di satu sisi pemerintah daerah menuntut tambahan dana transfer dari pusat, tetapi di sisi lain masih terdapat dana besar yang tidak termanfaatkan.

“Padahal, sekitar 80 persen pendapatan daerah selama ini masih bergantung pada transfer dari pemerintah pusat,” ungkapnya.

Sebelumnya, asosiasi gubernur seluruh Indonesia sempat menyampaikan keberatan kepada Menteri Keuangan atas rencana penurunan alokasi transfer ke daerah dalam Rancangan APBN 2026. Anggaran tersebut turun dari sekitar Rp 900 triliun pada 2025 menjadi Rp 600 triliun untuk tahun depan.

Doli menilai, pengurangan tersebut berpotensi menimbulkan kesulitan fiskal bagi banyak daerah, terutama yang masih sangat bergantung pada dana transfer. Karena itu, dia menekankan perlunya komunikasi yang lebih intens antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah agar kebijakan pengurangan tidak dilakukan secara mendadak.

“Kalau memang terjadi pengurangan, harus jelas aspek-aspek pembangunan apa saja yang terdampak. Pemerintah daerah jangan sampai kaget,” ujarnya.

Doli menegaskan pentingnya tata kelola keuangan daerah yang bersih dan transparan agar dana transfer benar-benar digunakan untuk mempercepat pembangunan yang dirasakan langsung oleh masyarakat.

Doli mengusulkan agar Kementerian Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri segera duduk bersama seluruh kepala daerah untuk mencari tahu penyebab dana daerah mengendap dalam jumlah besar.

“Harus dibuka secara jelas, apakah ini karena mismanagement, kurangnya koordinasi, atau kepala daerah bahkan tidak mengetahui adanya dana yang belum terserap. Ini penting disinkronkan agar tidak terjadi kebijakan yang kontra produktif,” ungkapnya.

Musibah Bagi Tata Kelola Pemerintahan

Pengamat politik Pangi Syarwi Chaniago menyoroti persoalan dana daerah yang belum terserap dan masih mengendap di perbankan daerah dengan nilai mencapai Rp 234 triliun menurut dia kondisi tersebut sebagai ironi, sekaligus musibah bagi tata kelola pemerintahan dan ekonomi nasional.

“Lucu sekali kalau negara sudah punya uang tapi tidak bisa membelanjakan. Ini bukan prestasi, tapi musibah,” ujar Pangi dalam dalam forum diskusi itu.

Menurut Direktur Eksekutif Voxpol Center itu, rendahnya serapan anggaran daerah menunjukkan lemahnya kreativitas dan inisiatif pemerintah daerah (pemda) dalam mengelola pembangunan. Dia mengingatkan bahwa dana publik bukan untuk ditabung, melainkan diputar agar memberi dampak pada pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.

“Purbaya (Ketua Komite Investasi Nasional) sudah benar ketika mengingatkan agar dana tidak disimpan di bank. Anggaran itu harus menghasilkan, bukan tidur di rekening,” tegasnya.

Pangi juga menyoroti potensi instabilitas di daerah akibat pemotongan dana transfer ke daerah yang sempat diberitakan turun dari Rp900 triliun menjadi sekitar Rp600 triliun. Kondisi ini, menurutnya, berpotensi mengganggu pembayaran gaji aparatur daerah, terutama bagi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK), tenaga harian lepas (THL), hingga pekerja paruh waktu.

“Kalau dana transfer terhambat, gaji pegawai bisa ikut macet. Ini tentu berdampak pada operasional dan citra pemerintah pusat di mata rakyat,” katanya.

Menurut Pangi, pemerintah pusat perlu berhati-hati agar kebijakan efisiensi dan pemotongan anggaran tidak justru menekan otonomi daerah. “Kita harus tetap percaya bahwa ada daerah-daerah yang kreatif, tapi ada juga yang masih belum mampu. Jangan semua disamaratakan seolah daerah tidak becus,” ujarnya.

Pangi mengingatkan adanya risiko manipulasi data anggaran di tengah tekanan untuk mempercepat penyerapan menjelang akhir tahun.
Menurutnya, kebiasaan mengejar “prestasi penyerapan” di penghujung tahun kerap melahirkan praktik akal-akalan.

“Ketika ada sanksi bagi daerah yang tidak menyerap anggaran, maka mereka bisa saja memanipulasi laporan. Di Indonesia, setiap ada aturan selalu ada akal,” sindirnya.

Pangi menyatakan. pemerintah seharusnya mengukur kinerja bukan dari seberapa cepat anggaran habis, melainkan dari seberapa besar manfaat yang diterima rakyat.

“Anggaran bukan untuk ditabung, bukan untuk dikejar demi prestasi administratif. Tapi untuk mendorong kesejahteraan rakyat dan pertumbuhan ekonomi daerah,” pungkas Pangi.(id89)

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |