
Ukuran Font
Kecil Besar
14px
Oleh Taufiq Abdul Rahim
Dalam perkembangan politik pasca Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 yang lalu, masih menyisakan berbagai persoalan, termasuk berbagai perilaku politik aktor yang sangat tidak rasional, juga ikut tercecer dalam pikiran seluruh rakyat.
Scroll Untuk Lanjut Membaca
IKLAN
Sejak dilaksanakan Pemilihan Umum (Pemilu) pada 14 Februari 2024, kemudian Pelantikan Presiden yang dimenangkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 21 Oktober 2024. Kemudian Presiden Republik Indonesia (RI) melaksanakan tugas kenegaraan sebagai hasil pengumuman dan kemenangan yang dipaksakan dan penuh dengan drama, transaksional politik, kecurangan, money politics, praktik pork barrel politics dan banyak lagi lainnya. Hal ini diasumsikan banyak masalah terhadap sistem demokrasi politik ideal dan normatif etika-moral negara. Sehingga praktik politik Pemilu Indonesia kemudian banyak menimbulkan dampak permasalahan mendasar secara politik, kebijakan politik, serta posisi kedaulatan dan kekuasaan politik tertinggi pada rakyat, ini ternyata pupus tidak memiliki nilai politik demokrasi modern yang dibanggakan.
Pada dasarnya, praktik politik dan Pemilu yang mesti melandasi aturan hukum, ketentuan serta etika-moral yang semestinya dijunjung tinggi dalam proses demokrasi dalam pergantian kepemimpinan serta elite politik secara bertanggung jawab. Demikian juga pejabat politik yang ditetapkan kekuasaan politik dapat bertanggungjawab untuk melaksanakan kebijakan politik untuk membela kepentingan rakyat. Kemudian semakin hari menjadi jauh dari tujuan keinginan politik menjadi penguasa dalam konstitusi negara yang demikian ketat dan bertanggung jawab sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan negara. Maka dalam praktik dan kebijakan politik suatu negara yang berdaulat serta merdeka, harus dilaksanakan secara bertanggung jawab untuk rakyat, bukan untuk kelompok elite politik dan kelompok tertentu, agar memperbaiki kehidupan, peningkatan kemakmuran serta kesejahteraan secara realistik. Maka dipertegas Pareto (1982) bahwa, memahami kehidupan masyarakat dengan segala macam aktivitas yang ada sebagai petunjuk kemampuan individu dalam setiap macam kehidupan dalam masyarakat.
Kemudian sebagai pemimpin kekuasaan politik mesti berfikir secara yang terpaksa ataupun tidak mesti adanya pengakuan rakyat. Karena proses kedudukan kekuasaan politik yang dipaksakan menjadi pemimpin, dikarenakan memiliki cita-citanya sebagai Presiden RI sebelum mati. Sehingga segala sesuatu dilakukan agar jabatan tersebut dapat diperoleh dengan melakukan niat, aktivitas serta ikhtiar segala cara agar tercapainya keinginan menjadi Presiden sebagai jabatan yang benar-benar diinginkan dengan siap menggadaikan integritasnya. Dimana fenomena ini hanya menjadi modal populisme untuk meraih kemenangan tanpa integritas, mengabaikan terhadap kepentingan politik rakyat. Menurut Robert Michels (1911), populisme yang bertransformasi menjadi bagian dari oligarki tidak dapat terelakkan sebagai bagian dari usaha taktis dan strategis dalam rangka mempertahankan kekuasaan. Hal ini akan berhadapan dengan kekuatan perlawan terhadap pengaruhnya dalam konteks realisme serta posisinya sebagai aktor politik negara, juga kemampuannya non-logika, tidak menjamin bahwa kekuasaannya tetap saja mendapatkan tantangan dari dalam kekuasaan tersebut.
Karena itu, konsistensi sikap, perilaku dan aktualisasi kebijakan politik menghendaki realitas nalar, juga pemahaman untuk melaksanakan kebijakan rasional yang dapat mempengaruhi keputusan politik realistis, terhadap kondisi kehidupan rakyat yang sesungguhnya. Ini mesti diselaraskan dengan janji-janji politik yang harus dipertanggung jawabkan dalam kerja-kerja nyata politik, bukan hanya sekedar lips services pada saat kampanye berlangsung sebelumnya. Sehingga dapat dipastikan tidak menimbulkan perlawanan yang masif dari rakyat dan dalam lingkaran kekuasaan itu sendiri. Termasuk oligarki yang ingin menikmati transaksional politik yang dijanjikan sebelumnya sebagai imbal- balas dari kekuasaan politik hasil rekayasa pemilihan umum (Pemilu) dalam konteks kepentingan politik dan ekonomi elite. Karena sifatnya transaksional politik, keuntungan dan manfaat yang diperoleh adalah, pemangku kekuasaan politik, partai politik, kelompok elite, para petinggi elite birokrasi, para pemangku kekuasaan kabinet, para pendukung, kelompok “hore dan buzzer”. Juga sebahagian aktor politik berperilaku ingin menikmati kekuasaan politik, dengan berbagai cara pendekatannya kepada elite kekuasaan, termasuk penjilat.
Dengan demikian pemimpin dan elite politik yang berkuasa saat ini hanya berfikir untuk kekuasaan dirinya sendiri, partai politik, koalisi partai politik pendukung, oligarki ekonomi-politik, serta para pendukung yang tergabung dalam penikmat kekuasaan di kabinet dan yang memanfaatkan kesempatan dapat nikmati kekuasaan. Sementara itu sekian banyak janji-janji politik dalam “paket gratis” yang pernah disampaikan pada saat proses kampanye Pemilu dan berbagai program yang seolah-olah pro-rakyat, semuanya hanya omon-omon atau omong kosong belaka. Presiden Omon-omon asik melakukan touring dan mencari investasi serta hutang baru, Wakilnya tidak memiliki arah kerja yang didukung oleh para pemangku kekuasaan di kabinet yang tidak memiki road map dalam mengatasi persoalan kehidupan dan perekonomian rakyat. Sebenarnya dalam praktik politik Pemilu, ini keterkaitan Pemilu dan demokrasi sebagaimana gambaran filosofis: “aku berdemokrasi, karenanya pemilu itu ada”, atau menggunakan istilah Rene Descartes (filsuf Perancis, 1596-1650) menyatakan: “cogito ergo sum” artinya “I think, therefore I am, aku berpikir, karenanya aku ada”. Maka pendapat ini digunakan untuk menggambarkan keterkaitan demokrasi dan pemilu. Kemudian Sigit Pamungkas (2009) menyatakan, bahkan untuk mengisi jabatan-jabatan politik, negara yang tidak demokratis pun turut mengadakan pemilu. Sangat membingungkan demokrasi munafik.
Dengan demikian tidak mengherankan bahwa jabatan politik yang dikuasi oleh orang yang tidak berkompeten secara politik untuk sebuah jabatan besar tersebut, karena tidak mampu menciptakan kondisi kemaslahatan kehidupan rakyat. Konon pula Presiden dibawah bayang-bayang intervensi kekuasaan sebelumnya, ini cukup kuat dalam rangka memenangkan kontestasi Pemilu lalu. Demikian juga menurut Denny Indrayana yaitu, Pemilu adalah urat nadi demokrasi, pemilih harus berhati-hati dalam menjatuhkan pilihan saat pemilu. Denny juga mengutip Abraham Lincoln (1856) menyatakan “The Ballot is stronger than the bullet” (surat suara lebih kuat dari peluru). Sehingga konsekwensi kesalahan pilihan Pemimpin dalam melakukan pemilihan dalam pesta demokrasi politik Pemilu dapat berakibat fatal, karena janji-janji politik tidak terlaksana sebagaimana diharapkan. Maka, semestinya implementasi kebijakan politik penguasa bagi rakyat tidak hanya omon-omon, bahkan semakin membebani rakyat dengan berbagai kebijakan paksaan pengutipan pajak serta penguasaan harta rakyat, kekuatiran ini nyata. Sehingga dipahami, demokrasi harus melahirkan Pemilu yang demokratis, akan tetapi jika Pemilu terselenggara secara tidak demokratis, demokrasi tidak eksis hakiki. Sebagai konsekwensi logisnya yaitu, apabila pemilu gagal, maka demokrasi mati sejatinya.
Maka implementasi yang berlaku saat ini bahwa, janji kampanye dari kandidat yang telah memenangkan pemilu dengan keterpaksaan menang, ibarat segalanya jauh panggang dari pada api. Hal ini didukung dengan agenda kebijakan politik yang sarat kepentingan, membuat pemerintah mendadak lupa akan janji-janji yang diucapkan saat pemilu. Hal ini hanya indah diucapkan, namun selalu sulit dilaksanakan oleh pemegang kekuasaan omon-omon atau omong kosong. Dalam hal menggunakan bahasa dalam berpolitik, praktik kebijakan politiknya bersifat sewenang-wenang, ganda, majemuk. Sehingga secara realitas politik yang ideal tidak ada satu kata pun yang mempunyai makna tunggal, sehingga semua ucapan janji tidak bersifat netral atau obyektif. Kini realitas berubah tanpa makna yang jelas serta konsisten antara janji dengan kekuasaan politik elite. Maka rakyat disuruh berfikir untuk dirinya sendiri agar tetap selamat dalam mempertahankan kehidupan, dan atau melawan terhadap kezhaliman yang hakiki di negara demokratis berbalut penjajahan kemanusiaan di tengah kemerdekaan semu. Sesungguhnya kemerdekaan adalah hak segala bangsa, maka segala bentuk penjajahan harus dihapus karena tidak sesuai dengan prikemanusiaan dan prikeadilan, rakyat hanya dapat janji manis kampanye demokrasi politik omon-omon atau omong kosong di tengah penderitaan.
Penulis adalah Dosen FE Unmuha dan Peneliti Senior PERC-Aceh
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.